Chereads / ADURA / Chapter 55 - Bab 53 — Rubah Merah

Chapter 55 - Bab 53 — Rubah Merah

Pelayan agak kikuk. Menyadari sang pangeran sedang tak ingin diganggu. Walau begitu, dirinya harus menyampaikan berita penting ini. "Sebenarnya saya ingin menyampaikannya sejak tadi, kalau balasan dari Tuan Syamsir sudah sampai. Gulungannya sudah berada di tangan Nyonya Chayra," jelasnya dalam sekali tarikan napas.

Seketika, sorot mata Harith terfokus pada pelayan. Yang awalnya bersikap santai, kini berubah menjadi penasaran. Harith menghadap pelayan itu seutuhnya dan bertanya lagi, "Kau serius?"

"Nyonya Chayra menyuruh saya untuk memberitahu Anda."

Baru kemarin Harith mengirim gulungan yang dibawa oleh elang pengirim, sore ini sudah kembali dengan gulungan balasan dari Syamsir. Senang sekaligus tak percaya, kira-kira apa isi gulungan tersebut?

Sebelum pergi ke tempat Nyonya Chayra, Harith pamit terlebih dahulu pada Kaila. Pelayan itu cukup mengerti mengapa sang pangeran memperlakukan Kaila tidak seperti pelayan lain. Karena memang, kedekatan mereka sudah terbentuk sejak masih kanak-kanak.

Si pelayan berjalan di depan, menunjukkan jalan menuju Nyonya Chayra. Yang ternyata ada di depan pintu lorong gua, tempat mereka keluar-masuk oase.

"Nyonya, gulungannya?" Bahkan saking penasaran, Harith tidak basa-basi seperti biasa.

Nyonya Chayra tampaknya mengerti, langsung menyerahkan gulungan paripus. Harith menerima gulungan itu dan segera membacanya.

______________________________________________

Teruntuk Pangeran Harith,

Pagi ini saya segera menulis balasan dari paripus yang Anda kirim. Tidak terlalu panjang, hanya ingin menjawab beberapa pertanyaan Anda secepatnya.

Pertama-tama, terima kasih sudah mengkhawatirkan saya. Di sini kebetulan, saya masih baik-baik saja. Rencana awal untuk melemahkan sebagian kekuatan Raja Firan dengan memisahkan beberapa unit pasukan perangnya berhasil. Kami menyandera mereka semua di sini.

Kedua, saya ingin menyampaikan bahwa eksekusi Pangeran Hazard diundur menjadi enam hari lagi dari sekarang. Saya tidak mendapatkan informasi mengapa eksekusi dimundurkan. Tapi berkat hal tersebut, saya dan pasukan Pangeran Asad memiliki waktu untuk bergabung dengan pasukan Anda.

Ketiga, yang paling terakhir dan yang terpenting. Berdasarkan kabar dari Tuan Tanpa Nama, Ratu Alea telah muncul di Istana Altair. Beliau menyamar sebagai Nyonya Senna, istri dari saudagar muda bernama Kazmer. Dan kini, mendekam dalam sel bersama Pangeran Hazard. Rencananya Ratu Alea juga akan dieksekusi bersama beliau.

______________________________________________

Harith sengaja tak membaca penutup gulungan. Tiga poin penting itu sudah sangat menggambarkan kondisi kerajaan saat ini.

Dia meremas paripus dan memandang Nyonya Chayra intens. "Kita harus lebih siap lagi, Nyonya."

"Baiklah, kalau begitu saya akan memerintahkan semua pelayan untuk menyiapkan perlengkapan perang dari sekarang."

Keduanya saling tersenyum bersamaan dengan Chayra yang mengangguk. Bergegas, Chayra pergi dari tempat tersebut, mencari kepala pelayan untuk memberi tugas tambahan.

Sementara Harith berpaling pada pelayan yang memanggilnya tadi. "Ngomong-ngomong, apa kau tahu di mana Syamsi sekarang?"

"Ah?! Tuan Syamsi? Saya tadi melihatnya sedang duduk di batu besar dekat danau."

"Begitu ... ya sudah, kau boleh pergi." Si pelayan pamit dan pergi dengan sopan.

Sesuai keterangan pelayan, Harith menemui Syamsi ke sisi danau dengan batu besar. Kala itu, Harith memergoki pengawalnya membidik seekor burung yang sedang terbang.

Burung terpanah tepat di sayap, sehingga langsung menukik dan jatuh mengenai tanah, hampir masuk ke danau. Syamsi lekas berlari dan berjongkok untuk mengambil burung tersebut. Dan terkejut ketika menoleh. Pangeran Harith lagi-lagi, sedang memperhatikannya dari jauh.

"Kau sedang apa di sini, Syamsi?" tanya sang pangeran dengan senyum mengembang.

Syamsi otomatis membungkuk ketika sang pangeran menghampirinya. Pangeran memandangi burung yang sudah mati di tangan Syamsi.

"Itu burung apa? Seperti berbeda dari yang biasa terlihat."

Syamsi mengedipkan mata sembari mengangkat burung di depan muka. Dalam penglihatannya, burung itu memiliki bulu berwarna biru dengan totol putih di tulang sayap. Ada pun, beberapa bulu putih dan kuning pada bulu ekornya.

"Saya kurang tahu ini jenis burung apa, tapi saya memang belum pernah melihat burung seperti ini. Baik di Negeri Aisty maupun di Negeri Alraml," jelas Syamsi terasa aneh dan mencurigakan.

Harith menyipitkan mata seraya melipat tangan, mencondongkan tubuh, mengamati dengan seksama burung mati tersebut.

Waktu mengamatinya, Harith baru menyadari. Bahwa, tempat yang mereka jadikan naungan bukanlah oase seperti biasanya. Ketika melihat sekeliling, pohon-pohon begitu rapat dan bukan hanya pohon kelapa saja yang ada. Membuatnya yakin, kalau mereka sudah tak berada di Negeri Alraml lagi.

"Kau sudah merasakan keanehan ini dari lama?" tanya Harith setelah berputar di tempat.

"Sebenarnya, sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini, saya sudah menyadarinya. Apalagi saat berburu, semua binatang yang muncul belum pernah terlihat ada di Negeri Aisty maupun Alraml. Saya menyimpulkan, kita telah berada di tempat yang sangat berbeda dari biasanya."

"Kau pernah mencoba menerobos jajaran pohon yang mengelilingi danau ini?"

"Belum pernah, dan saya sedikit ragu untuk melakukannya, Pangeran."

Harith termenung. Memikirkan penjelasan pengawalnya dengan hati-hati. Dia tiba-tiba teringat soal batu yang pernah dikeluarkan oleh Chayra. Batu itu sudah jelas, berasal dari tempat ini. Tapi yang mengherankan, dari mana Nyonya Chayra mendapatkan batu tersebut?

Dari penyamunkah? Atau sudah dia simpan sejak Harith masih bayi?

Berbagai pertanyaan dibenaknya membuat Harith harus meninggalkan Syamsi. Padahal Syamsi akan sangat bahagia, jika Harith mau bergabung bersamanya. Makan bersama ikan bakar yang telah Syamsi tangkap dan dibersihkan sebelumnya.

Akan tetapi, urusan yang mendadak ini lebih penting. Menyangkut keselamatan seluruh anggota rombongan.

Saat Harith sudah berbalik pergi dan Syamsi mulai menyalakan api unggun untuk membakar ikan. Perempuan bertelinga rubah segera masuk ke dalam hutan, setelah mengintip di balik semak. Ia adalah Anima Elve yang sudah berevolusi menjadi makhluk serupa manusia, tetapi memiliki telinga dan ekor layaknya Furo.

Rambut panjangnya melambai-lambai selagi berlari dengan kedua tangan dan kaki. Dia masuk lebih dalam, menginjak beberapa ranting kayu dan dedaunan.

Sampai di sebuah sungai. Di seberangnya ada gua tempat tinggal Furo. Gadis rubah lekas menyeberangi sungai yang cukup deras dan memasuki gua. Akan tetapi, Furo tidak berada di sana. Padahal dirinya ingin memberitahu Furo. Bahwa, ada manusia yang dapat masuk ke Middle Earth.

Dengan mengejutkan, muncul ada Furo di belakang gadis rubah itu. Menenteng buruannya, dua ekor kelinci hutan dengan ukuran lebih besar. Kelinci itu juga, memiliki motif garis dua dari matanya memanjang sampai ke pantat. Sangat berbeda dari kelinci di Human Earth.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Furo penasaran.

Si gadis berbalik, segera berlutut dan menunduk. "Guru, maafkan saya yang lancang."

Furo tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Dia mengajaknya untuk tinggal sebentar, menemaninya membakar kelinci.

Dengan sedikit terpaksa si gadis akhirnya mau, berjongkok berhadapan dengan Furo di depan gua. Sebuah api unggun di tengah-tengah mereka.

"Apa kau sudah makan?" tanya Furo sambil menjaga arang bekas pembakaran agar tetap menyala. Mengipasinya dengan daun jati yang memiliki tulang daun besar dan keras.

Telinga gadis rubah tampak bergerak-gerak dan menggeleng cepat. "Saya hanya ingin memberitahu Guru soal kabar yang sangat penting."

"Sepenting apa sampai kau tidak tertarik dengan kelinci yang sedang kubakar ini?"

Melihat kelinci yang mulai matang beserta wanginya, gadis rubah mendadak menelan ludah. "Sa-saya sudah makan."

Furo tertawa kecil. "Ya sudah kalau tidak mau."

Kelinci akhirnya matang. Furo langsung memadamkan api dengan memisahkan ranting-ranting yang sudah terbakar. Kemudian memindahkan dua ekor kelinci matang ke atas dedaunan bersih.

"Nah, sekarang ... coba beritahu, apa yang ingin kau sampaikan?"

Gadis itu tidak mendengar pertanyaan Furo. Maniknya tak bisa lepas dari daging kelinci yang terlihat nikmat. Air liur tampak menetes dari sudut bibirnya.

Furo yang melihat hal tersebut mendadak diam, lalu terbahak-bahak dengan keras. Ia sampai terduduk dan memegangi perut saking kerasnya. Tak lama, menjejali mulut gadis rubah dengan seekor kelinci bakar utuh.

Gadis itu hanya diam saja menggenggam batang kayu yang dibentuk menjadi penusuk daging. Furo mencoba berhenti tertawa agar lawan bicaranya tidak semakin malu. "Makan dulu," titahnya sambil cekikikan, sisa dari tawa yang lepas tadi.

Perempuan itu tersipu, telinganya ikut bergerak karena malu juga. Murid dan guru akhirnya makan malam dengan lahap sampai tersisa tulang belulangnya saja.

"Sebenarnya saya sempat melihat manusia." Si gadis mulai bicara sembari membersihkan daging yang masih menempel pada kerangka.

"Manusia memang menghuni hampir semua daratan yang ada di bumi."

"Bukan, maksud saya di sini."

"Di sini? Di mana?"

"Saya melihat manusia di sini, di Middle Earth."

"Mana mungkin ...."

"Saya menguping pembicaraan mereka juga."

Furo hanya memandangi kerangka kelinci yang sudah hampir bersih, jeroannya juga sudah dia makan. Ketika mendengar penuturan muridnya, perut yang tadinya masih lapar mendadak tak berselera.

"Mereka membicarakan apa?" Furo bertanya sambil membuang kerangka kelinci ke atas arang.

"Kalau dari obrolan kedua orang itu, mereka seperti tidak tahu telah berpindah ke dunia yang berbeda."

Tiba-tiba, Furo berdiri membuat perempuan rubah tersentak. Menatap menengadah gurunya.

"Gina, kau masih ingat tempat danau itu?" tanya Furo memandang lurus.

Gina si gadis rubah, lekas berdiri seraya mengangguk. "Ma-masih, sedikit agak jauh dari sini, Guru."

"Bawa aku ke sana, aku ingin memastikan."

Gina merasakan firasat buruk. Mungkin akan terjadi sedikit kekacauan jika gurunya nekat muncul di tengah-tengah mereka.

Segera, Gina mengangguk mengiyakan kemudian berlari setelah mengubah dirinya menjadi wujud asli. Rubah merah adalah Gina. Rubah Fennek dengan telinga panjang dibelakang Gina adalah Furo.

Selama perjalanan Gina terus berdoa kepada Dewa Freyr, agar diselamatkan dari marabahaya. Apapun itu yang akan dihadapinya nanti.