"Tenang, Nak! Kau harus berpikir jernih. Pikirkan dengan otakmu yang besar itu, pasti ada celah yang tidak terlihat. Jangan putus asa!"
Sekelebat ingatan tentang ayahnya muncul begitu saja. Eden termenung. Sekejap dia menggeleng dan berbalik. Kemudian duduk dengan kaki ditekuk bersama kedua tangan ditempatkan di lutut. Kepalanya pun menunduk, membiarkan algojo melaksanakan tugas dengan baik.
Tak ada suara erangan di sana. Dan tak ada jeritan kesakitan pula. Karena eksekusi tersebut berlangsung begitu cepat dan bersih. Yang terdengar hanya ambruknya tubuh saat kepala sudah terlepas dari badan.
Sekujur tubuh Eden bergetar hebat. Ingatan terburuk tentang kedua orang tua terus berdesakan, memangsa otaknya untuk mengingat semua kenangan pahit.
Sampai Raja Firan dan yang lainnya pergi dari tempat ini. Eden tak kunjung bergerak sedikitpun dari tempat semula. Dirinya seperti seseorang yang kehilangan arah.
Namun, ternyata. Hal tersebut hanyalah bayangan saja. Eden tersadar, menggelengkan kepala. Dia berusaha mengintip dari celah semak. Ternyata yang menghalangi algojo membunuh wanita itu adalah sang Ratu sendiri. Beliau memeluk wanita itu, erat. Sampai menangis sejadi-jadinya.
Yang Mulia Ratu mengungkapkan semua kejahatan suaminya, kekejaman suaminya yang membunuh adiknya sendiri, dan tentang penyesalan seumur hidupnya. Semua ini membuat sang Raja geram bukan main. Lalu menampar ratunya sendiri hingga tersungkur dan berdarah pada sudut bibir.
Raja yang tengah emosi, langsung angkat kaki dari sana. Meninggalkan kedua wanita yang bersimpuh di lantai batu. Leah tidak suka melihat sang Raja mengabaikannya. Dia melampiaskannya dengan menatap remeh sang Ratu. Namun, tidak berani untuk menyakiti.
Leah dan Sameer lekas pergi, mengekor Raja Firan. Dua pengawal menyusul sambil melepas paksa wanita itu dari pelukan ratu. Begitu pun dengan algojo, dia pulang dengan tangan hampa.
Saat ingin pergi dari semak. Tak sengaja Eden menginjak ranting sampai terdengar bunyi kretek.
Sameer menoleh semak dan menyipitkan mata. Dirinya kontan berlari, menebas semak-semak menggunakan pedang yang diberikan raja. Beruntung, Eden sudah pindah ke pagar tamanan yang ada di belakang semak. Sehingga dirinya bisa bernapas lega, dan lekas pergi dari sana. Sementara Sameer menyarungkan kembali pedangnya, meskipun masih merasa curiga dan bertanya-tanya.
***
Setelah menyaksikan drama rumah tangga keluarga kerajaan dan hampir tertangkap basah, Eden berkunjung ke bar. Menghabiskan malamnya bersama beberapa kendi berisi khmar.
Sebetulnya Eden tidak terlalu peduli mengenai nyawa perempuan itu, atau kesedihan sang Ratu mengetahui rajanya yang semakin bengis dan otoriter. Karena dirinya juga tidak jauh beda.
Eden hanya peduli pada diri sendiri dan Yena, sahabat masa kecilnya. Rencana pernikahan Yena dan sang Raja sudah didengarnya lebih dulu sebelum semua orang tahu, benar-benar membuat hatinya hancur. Malangnya dia tak bisa marah ataupun protes atas keputusan raja. Hal ini membuat Eden berkali-kali lebih keji ketika berhadapan dengan musuh dari kerajaan lain. Ia tak segan membantai keluarga kerajaan yang tak bersalah sekalipun.
Sedangkan malam ini, alasan kenapa dirinya berada di bar, akibat luka masa lalu yang tiba-tiba terbuka lagi. Hingga sulit untuk dikubur kembali seperti sebelumnya.
"Eden, kau tidak tidur, kan?" Seorang bartender berpenampilan laki-laki mengguncangkan punggung Eden. Namun, Eden terlalu mabuk untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Bartender menghela napas ketika mengetahui pelanggan terakhirnya tertidur pulas dalam kondisi duduk dengan kepala menempel di meja.
Laki-laki itu dengan lantang, memanggil dua penjaga bar yang ada di luar. Dia meminta keduanya untuk memindahkan Eden ke kamar tamu yang ada di sana. Setelah proses pemindahan selesai. Ia membayar upah pada dua penjaga bar sebelum akhirnya menutup dan mengunci pintu bar.
Hingga pagi menjelang, rupanya Eden masih pulas di atas ranjang kayu. Menggulung tubuh dengan selimut layaknya bayi baru lahir.
Melihat hal tersebut bartender kontan mengeplak kepala Eden hingga pemiliknya mengaduh sakit. Dan bergulung bagai keong. Laki-laki itu sangat geram, dia menarik selimut dan melemparnya ke lantai.
"Kau akan terus begini, Eden? Bangkitlah! Jangan jadi lemah! Cepat bangun!"
Hasilnya, Eden sedikitpun tidak menggubris. Teriakan dari seorang lelaki dewasa tidak mampu membuat Eden menurut.
Rasanya kepala sebentar lagi pecah. Laki-laki itu memijat pelipis sambil menolak pinggang. Lebih memilih keluar dari pada terus melihat gumpalan tubuh seorang pemuda yang sedang bersusah hati. Segera, ia menutup pintu kamar dan mulai mengelap semua perlengkapan gelas kayu dan besi yang ada di rak. Untuk digunakan ketika malam tiba.
"Hoy, Emran! Apa kabar?" Seorang lelaki seusianya menyapa. Kemudian duduk di depan meja yang melingkar.
Bartender itu yang ternyata bernama Emran, tersenyum sembari menyodorkan segelas khmar.
"Oh, tidak, tidak. Aku sedang tidak ingin."
"Lalu, mau apa kau kemari, Xavier?" Emran mencondongkan badan sambil terus mengelap gelas. Gelas itu disimpan dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi yang membuat Xavier terperanjat dan menelan ludah.
"Ja-jangan marah seperti itu dong! Kita 'kan teman."
Emran tak peduli. Dia kembali menyibukkan diri dengan gelas-gelas yang sebenarnya sudah bersih.
"Oh ya, bagaimana dengan keponakanmu? Dia masih lajang?"
Emran terdiam sejenak. Mengingat Eden baru saja mengalami goncangan hebat beberapa minggu ini akibat cinta yang tak bisa terbalaskan. Ditambah lagi, tadi malam trauma masa kecil muncul kembali dari ingatannya. Hal tersebut sedikit membuat Emran kewalahan dan kasian secara bersamaan.
"Memangnya kenapa kalau masih lajang?" tanya Emran akhirnya mulai tertarik.
"Wah, kebetulan! Aku ada kenalan gadis cantik!"
Seketika kegeraman Emran bertambah besar. Kain lap diremas sampai berbentuk. Dia ingin menendang manusia yang ada dihadapannya hingga ke negeri lain. Namun, Emran mencoba sabar. Bernapas panjang kemudian dihembuskan. "Kau ingin menjodohkan keponakanku dengan gadis itu? Memangnya siapa?"
Xavier celingak-celinguk. Mengisyaratkan Emran untuk mendekat. "Jadi, orang yang menghutangiku ingin menjodohkan anak gadisnya dengan laki-laki yang bekerja ke istana. Kebetulan keponakanmu kerja di sana, pasti—"
Pukulan telak seketika melayang dengan keras di kepala. Berkali-kali dengan kain lap, sampai Xavier mengaduh dan melindungi kepalanya mengunakan kedua tangan. Emran sudah terlanjur kesal, sehingga tak bisa mengontrol amarahnya lagi.
"Sint*ng kau Emran! Pantas saja tidak ada wanita yang mau menikah dengan laki-laki macam kau!" teriak Xavier dari bibir pintu.
Emran membalas hinaan Xavier dengan melempar gelas kayu ukuran jumbo, tepat mengenai kepalanya. Xavier pun keluar dengan langkah sempoyongan dan langsung kabur. Tidak lupa makian mengiringi kepergiannya.
Tapi Emran tidak peduli. Yang penting sudah mengusir satu benalu yang membuat kehidupannya kian menyebalkan.
Emran terlihat tersenyum-senyum sendiri saat mengambil kembali gelas jumbonya. "Bodoh! Buat apa aku mencari wanita," gumamnya sambil berusaha membersihkan gelas yang sempat kotor.
"Tante, ada siapa tadi?"
Emran pun tersenyum melihat keponakannya baru keluar dari kamar. "Bukan apa-apa, hanya seekor tikus pengganggu."
Ya, tentu saja karena aku seorang wanita, ungkap Emran dalam hati. Yang sebenarnya bernama Eriana.