Emran terlihat senyum-senyum sendiri saat mengambil kembali gelas jumbonya. "Bodoh! Buat apa aku mencari wanita," gumamnya sambil berusaha membersihkan gelas yang sempat kotor.
"Tante, ada siapa tadi?"
Senyum Emran merekah ketika melihat keponakannya baru keluar dari kamar. "Bukan siapa-siapa, cuma seekor tikus pengganggu."
Ya, tentu saja karena aku seorang wanita, ungkap Emran dalam hati. Yang sebenarnya bernama Eriana.
Laki-laki itu ... ah bukan. Maksudnya Eriana sudah lama menyembunyikan identitas setelah kakak laki-laki dan kakak ipar perempuannya meninggal dunia. Mereka meninggalkan satu rumah dan bar ini yang sebelumnya hanya seonggok bangunan reot. Eriana berhasil membesarkan Eden dengan sangat baik. Pun tidak lupa memperbarui fungsi bangunan menjadi lebih berguna seperti sekarang.
Alasannya berpenampilan layaknya laki-laki, supaya tidak ada yang mengganggu atau menggodanya ketika sedang bekerja. Sebab Eriana bekerja sendiri. Dan memulai usahanya ketika Eden sudah berumur tujuh belas tahun. Eriana berhenti dari pekerjaan lamanya, sebagai pelayan Kerajaan Altair.
Tiba-tiba Eden sudah duduk di depan Eriana. Ia meraih gelas berisi khmar yang awalnya dibuat untuk Xavier.
Eriana mencengkeram gelas tersebut. Juga menatap tajam keponakannya.
"Cuma satu gelas," mohon Eden.
"Tidak!"
"Ayolah ...."
"Aku bilang tidak ya tidak!" pekik Eriana merebut paksa gelas, diganti dengan air putih. Dan menaruhnya kembali dengan agak kasar. "Minum ini saja."
Eden menopang pipinya, malas. Dia mengambil gelas berisi air dengan ogah-ogahan dan meneguknya hingga habis.
Melihat Eden yang bengong terus setelah menenggak habis air, Eriana makin jengkel. Dia mengalihkan emosinya dengan cara menyapu seluruh lantai yang ada di bar ini.
Sedikitpun, Eden tak tergerak untuk membantu. Dia justru hanya duduk sambil terkantuk-kantuk. Keningnya sempat mencium meja sampai mengalami pening sejenak.
"Eden, kau akan seperti itu terus, hm?"
Pertanyaan yang tepat di telinga membuat Eden terperanjat. Alisnya mengernyit tak suka. "Memangnya kenapa?!"
Seketika kening Eden ditoyor. "Kamu itu jadi tidak sopan ya sekarang, bikin jengkel terus."
Manik delima Eden berkilat-kilat, jemari ikut mengepal erat hingga buku-bukunya memutih.
Eden marah, sangat marah! Mengapa Eriana mudah sekali berlaku kasar padanya? Namun begitu melihat peluh di leher dan kening Eriana, emosinya padam dalam sekejap. Helaan napas pun keluar, Eden melengos menuju pintu ruang tamu.
Sebelum masuk langkahnya terhenti sembari menoleh ke belakang. "Oh ya, sebenarnya rumor ini sudah lama. Tapi aku hanya ingin mengatakan, sudah banyak yang curiga soal identitas aslimu."
Eriana menoleh seketika. "Mereka curiga?" Lalu hilang semangat saat Eden hanya membalas pertanyaannya dengan sorot mata yang datar. Eriana duduk dekat meja seraya menghela napas.
"Tantemu ini sudah mengorbankan banyak hal. Kamu gak ada niatan untuk membantu?"
"Lah? Kenapa jadi aku yang dimintai bantuan?"
"Kamu 'kan sekarang sudah jadi 'orang'. Masa tidak bisa bantu tante barang sedikit saja?"
Eden tak habis pikir dengan permintaan tantenya. Jelas-jelas itu kesalahanya sendiri, tapi mengapa malah membebankan tanggungjawab pada keponakannya? Eden saja baru tahu orang yang selalu dipanggil 'Om' ternyata berbeda jenis kelamin dengan dirinya.
Waktu itu, paginya setelah minum-minum dengan Syamsir, Eden sengaja masuk ke kamar Emran. Ingin mengambil pakaian sehari-hari yang dipinjam. Dia berpikir tak masalah untuk masuk ke kamar omnya. Santai-santai saja membuka pintu karena mereka tinggal serumah, tanpa meminta izin ataupun mengetuk dulu. Saat itulah Eden melihat dengan jelas, gunung kembar milik seorang wanita. Sedang berusaha disembunyikan menggunakan kain panjang yang sengaja dililitkan.
Ketika naik ke atas, melihat wajah, Eden syok. Terpampang wajah Emran yang sama kagetnya. Ternyata garis wajah lembut omnya bukan bawaan lahir. Melainkan, karena Emran adalah seorang wanita dewasa.
Mata Eden tampak bergulir malas tatkala mengingat kejadian yang sangat memalukan beberapa minggu lalu. Dia memutuskan untuk mengenakan judah resminya yang ada di kamar lalu pergi dari bar tanpa kata. Sementara Eriana terus memanggil-manggil. Tapi Eden tak peduli. Lagi pula, perasaannya saja masih perlu perbaikan. Mana sempat memikirkan urusan tantenya. Tujuannya pagi ini, ingin langsung menemui sang Raja.
***
Di lain tempat, sebelum matahari terbit dengan sempurna. Harith dan rombongannya sudah hampir sampai ke kota Reda. Mereka mengambil jalur belakang agar tidak terdeteksi oleh orang-orang dari kerajaan.
Menurut Syamsir, dari dua paripus terbaru yang di kirim langsung pada Harith secara bertahap, Hazard akan dieksekusi lebih cepat dari jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya. Selain itu, Syamsir mendapat informasi langsung dari kerajaan, bahwa Ratu Alea telah ditemukan dan akhirnya tertangkap saat ingin membebaskan Hazard bersama mantan Pengawal Pribadi Raja. Yang beberapa hari lagi akan menikah dengan Sang Raja setelah eksekusi Hazard.
Tentu, Harith jadi sedikit cemas. Karena persiapannya masih setengah beres. Mereka belum membeli/membuat baju zirah yang kualitasnya sangat baik untuk melawan pasukan Kerajaan Altair yang perlengkapan perangnya sudah sangat sempurna. Begitu juga dengan senjata yang masih kurang.
Namun, paragraf terakhir yang ditulis oleh Syamsir mengatakan, "Pangeran tidak perlu khawatir. Saya sudah menyusun rencana, agar prajurit dari Kerajaan Altair, tinggal setengahnya yang menetap."
Harith yang ada di depan rombongan berhenti sejenak. Diikuti orang-orang di belakangnya. Kubah emas Kerajaan Altair sudah tampak mencuat dari belakang. Bangunan-bangunan yang mengitarinya begitu banyak. Saking luasnya wilayah kerajaan tersebut. Harith takjub, melihat betapa besarnya Istana Kerajaan Altair. Hanya bagian atas saja sudah sangat terlihat jelas dari posisinya saat ini. Membuat dirinya tertegun tanpa kata.
"Kota di depan adalah kota kelahiran Anda yang sesungguhnya, Pangeran."
Harith langsung menoleh. Cukup terkejut melihat Chayra yang mengenakan judah bertudung tiba-tiba ada di sampingnya. Beliau turun dari unta sendirian. Para Pelayan dan prajurit dibelakangnya terlihat khawatir. Salah satu pelayan meminta Chayra untuk naik lagi, tapi Chayra menolak dengan sopan.
"Nyonya Chayra, mengapa Anda turun?" Harith.
Chayra justru tersenyum. "Tunggu dan lihat." Kemudian sedikit melangkah kedepan dengan mengeluarkan sebuah batu di balik jubah. Batu tersebut memiliki ukiran simetris layaknya kunci.
Perlahan batu itu bercahaya biru. Lalu semakin silau ketika Chayra mengikuti arah kedipannya. Saat menemukan tempat yang cocok, dengan lugas Chayra berucap, "Wahai pintu yang memiliki kekuatan. Aku si pemegang kunci, sedang memanggilmu! Maka muncullah sekarang! Tunjukkan lokasimu pada kami."
Cahaya biru yang awalnya hanya berkedip, kini menyelimuti lengan Chayra. Sinar biru itu seketika memancar membentuk sebuah pintu kayu tua yang sekelilingnya dipenuhi bebatuan.
Melihat keajaiban tersebut, semua orang yang ada di tempat seketika terperangah. Tak terkecuali Harith sendiri. Ia baru tahu, Nyonya Chayra menyembunyikan kekuatan yang begitu menakjubkan.
"Bagaimana bisa Nyonya melakukan hal seperti itu?" tanya Harith masih dengan raut terkejutnya.
Chayra menahan tawa. Pintu kayu dibuka begitu mudah, menampilkan lorong gelap penuh obor yang apinya berwarna biru. "Ayo masuk, nanti saya jelaskan di dalam."