#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_24
#NomorAbsen_144
Jumlah kata : 875 kata
Judul : Sweet Revenge
Isi :
Di sudut kamar, aku duduk meringkuk seorang diri. Tidak kupedulikan hari telah semakin larut seiring detik yang tanpa kusadari berjalan cepat. Mendung tebal yang terlihat dari jendela kamar berubah menjadi rintik hujan yang perlahan turun seolah mewakili kepedihan hati ini.
Sosok wanita bergaun putih kumal muncul secara tiba-tiba. Kali ini tidak kupedulikan dia. Biasanya kami mengobrol dan bercanda hingga jauh malam. Ia berdecak saat melihat diriku.
"Kamu kenapa?" tegurnya.
"Biasanya selalu ceria dan banyak bicara, kenapa sekarang seperti ini?"
Aku menggeleng dan menggigit bibir bawahku untuk menahan isakan. Akan tetapi, air mata turun tanpa bisa tertahan lagi. Wanita yang berdiri tidak jauh itu segera menghampiri. Wajah pucatnya tampak cemas.
"Kamu benar-benar membuatku khawatir. Ceritakan padaku kalau kamu punya masalah. Meski kita berbeda alam, tapi aku pasti akan membantumu," ujarnya.
Benar. Kami memang berbeda alam. Wanita tersebut adalah sosok makhluk astral, sedang aku adalah manusia normal. Namaku Nana dan aku adalah orang yang memiliki kemampuan indera keenam.
Dulu, sewaktu masih kecil, aku hanya anak biasa yang tidak memiliki teman. Kesepian karena orang tua yang juga selalu sibuk bekerja. Mereka tidak pernah memperhatikan atau meluangkan waktu. Setelah itu, terjadilah kecelakaan yang menimpa diriku.
Aku berjalan kaki pulang dari sekolah. Tiba-tiba sebuah sepeda motor menyerempetku. Aku terjatuh dengan kepala terbentur aspal. Saat bangun, semua telah berubah. Aku mulai melihat sosok-sosok tidak kasat mata itu. Meski awalnya ketakutan, tetapi ternyata mereka tidak semua jahat. Sejak itu, aku tidak pernah kesepian.
Wanita yang masih berdiri di depanku itu kupanggil dengan nama Kuntilini. Semenjak kecil, ia selalu menemani aku bermain. Dibanding teman-teman hantu yang lain, dia yang paling penyabar. Tidak pernah marah. Bahkan selalu membantu di saat para hantu lain hendak berbuat iseng.
"Kamu baik-baik saja, 'kan?" tanyanya lagi. Aku mengangguk karena tidak ingin dia terus merasa khawatir.
"Kamu menangis. Pasti ada sebabnya, bukan? Ceritakan padaku. Aku pasti akan membantumu."
Kuhela napas panjang dan mulai bercerita. Tentang pengkhianatan yang dilakukan Doni, kekasihku. Tadi siang, saat hendak menemui Doni di rumahnya untuk memberi kejutan ulang tahun, justru aku melihat pria yang kucintai itu bercumbu mesra dengan seorang gadis jelita.
***
"Ini tidak bisa dibiarkan. Kau harus membalasnya!" seru Gendriwo dengan penuh semangat. Kuntilini telah memanggil teman-teman yang lain, yaitu Gendriwo genderuwo, Dela si sundel bolong penunggu rumah tetangga, Poci pocong, juga Tuyulita yang selalu merasa dirinya paling imut.
"Lalu apa yang harus kita lakukan biar dia kapok?" tanya Kuntilini.
"Aku akan mengancam dia untuk menanam pohon beringin besar. Kalau tidak bakal kutakuti seumur hidup," jawab Gendriwo penuh semangat. Yang lain sontak menggeleng.
"Aku akan melompat-lompat di depan dia," jawab Poci. Aku mengerutkan kening menatap Poci. Yang lain melotot padanya. Poci tampak ketakutan kemudian menggeleng.
"Kalau gitu, kusuruh dia beli baju baru buat aku dan melepas ikatanku, aku 'kan bosan pakai kain kafan ini terus dan nggak bisa bergerak bebas. Kainnya juga udah kumal lagi," ujar Poci lagi.
"Kalau aku, bakal meminta sate seribu tusuk darinya," sambar Dela.
"Aku minta daster baru yang penuh warna," sahut Kuntilini nggak mau kalah. Aku berdehem mendengar ucapan teman-temanku yang makin ngawur dan nggak jelas. Mereka semua segera diam.
"Menurutku, kita curi saja uangnya biar tahu rasa. Lagipula kalau dia melarat, cewek penggoda itu pasti bakal kabur," ucap Tuyulita. Aku mengangguk-angguk. Kurasa dari semua, usul Tuyulita yang paling masuk akal. Yang lainpun mengangguk setuju, bahkan dengan antusias menawarkan diri untuk ikut membantu aksi pencurian.
"Tidak. Tidak bisa. Poci, kau terlalu lambat. Bisa-bisa orang menangkapmu, karena kau melompat-lompat cukup lama. Gendriwo, kau juga terlalu besar. Kuntilini dan Dela juga, bau melatinya saja sudah tercium duluan. Cuma aku yang bisa melakukan ini," ucap Tuyulita sombong. Semua menatap tajam ke arah Tuyulita yang hanya cengar-cengir salah tingkah.
"Sudah, sudah, kita jangan bertengkar," ucapku berusaha meredakan suasana yang berubah tegang.
"Kita ikuti saja kata-kata Tuyulita."
Yang lain beralih melotot padaku. Hanya Tuyulita yang masih tersenyum manis.
"Biar Tuyulita yang melakukannya. Kalau uangnya kita dapat, nanti bisa buat beli semua yang kita mau," bujukku agar mereka tidak marah lagi. Semua mengangguk setuju.
"Baiklah, tapi untuk membeli pohon beringin besar, sate seribu tusuk, serta baju baru, kurasa kita tidak bisa hanya mencuri uang saja," ucap Gendriwo sambil menatap kami satu per satu. Dia benar-benar memahami keinginan teman-temannya.
"Kau juga harus mencuri mobil dia kalau begitu," lanjutnya lagi.
Tuyulita langsung menggeleng.
"Mana bisa aku melakukannya?"
"Begini saja," ucapku menengahi saat melihat hendak kembali marah pada Tuyulita.
"Tuyulita biar mengambil uang dan barang-barang berharga. Doni itu kaya-raya. Barang-barang bermerek miliknya pasti sudah cukup untuk membeli semua yang kalian inginkan."
Rencana tersebut segera dijalankan. Tuyulita benar-benar luar biasa. Ia mengambil semua emas batangan dan uang yang tersimpan di brankas Doni. Sesuai janji, kubelikan semua yang teman-teman hantuku inginkan.
***
Hari selanjutnya, aku sengaja lewat di depan di rumah Doni untuk melihat kondisi dia. Kulihat dia duduk menangis di halaman rumahnya yang kosong. Ada tanda tulisan rumah dijual tidak jauh darinya. Aku terkejut saat melihat Doni kemudian bangkit dari duduknya dan tertawa terbahak-bahak. Tidak lama, sebuah kendaraan datang dan beberapa orang berseragam putih segera membawa Doni yang masih terus tertawa masuk ke dalam mobil dan membawa dia pergi.
Tulisan rumah sakit jiwa Melati yang tertera di bagian samping mobil membuatku sadar di mana Doni kini berakhir.
"Apa kau sudah puas?" tanya Kuntilini. Ia tiba-tiba muncul bersama yang lain. Aku mengangguk sambil tersenyum. Kami kemudian bergegas pergi dari tempat itu dengan perasaan gembira.
Tamat