#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_27
#NomorAbsen_144
Jumlah kata : 820 kata
Judul : Revenge Promise
Isi :
Tanah tersebut tidak lagi merah. Rumput liar tampak mulai tumbuh tidak beraturan meski telah sering dibersihkan. Taburan bunga tidak lagi berwarna cerah. Mereka mulai menguning.
Kiara menggenggam tangan erat. Air mata tampak membasahi netra bulatnya. Sebentar lagi. Tubin nanti maka semua akan selesai. Segala kemarahan dan kebencian yang selama ini bergolak akan usai.
'Tunggu aku. Aku akan membuat mereka membayar semua ini,' gumamnya dalam hati.
***
Kiara mempersiapkan segalanya. Segala rasa sakit yang selama ini dia rasakan tentu harus terbayar lunas. Dulu ia hanya gadis biasa bermimpi tentang cinta dan masa depan, hingga takdir merenggut nyawa orang tuanya dengan cara yang keji.
Sahabat lama yang begitu dipercaya oleh orang tuanya ternyata menyimpan rencana busuk untuk menghabisi mereka.
'Semua dilakukan hanya demi masalah bisnis,' gumam gadis itu lagi. Matanya menatap tajam dari balik kemudi. Mengawasi sosok yang begitu dibencinya.
'Tunggu saja, tubin nanti aku pasti akan membawamu berlutut di depan makam orang tuaku.'
***
Lelaki paruh baya itu membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sakit. Tadi ia masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba seseorang memukul dan menyuntik dia dari belakang.
"Kau sudah bangun rupanya," ucap suara yang dikenalnya. Ia segera membuka mata dan bertemu pandang dengan Kiara.
"Apa yang terjadi? Apa yang kaulakukan?" tanya pria itu.
"Kiara, kenapa kau melakukan ini? Apa kau lupa akulah yang merawatmu selama ini setelah orang tuamu meninggal? Bukankah kau bilang kau menganggapku seperti ayahmu sendiri?"
"Itu dulu. Aku begitu bodoh hingga tertipu olehmu. Aku tidak pernah tahu ternyata kau adalah orang kejam yang tidak berperasaan. Bagaimana bisa kau membunuh orang tuaku dan berpura-pura baik padaku?"
"Aku tidak tahu kau dengar semua kebohongan itu dari siapa, tapi percayalah padaku, Kiara, aku tidak bersalah."
"Dia tidak akan percaya padamu, Pak Hendrawan," cetus seorang pemuda yang baru saja tiba.
"Kau … kau …."
"Benar, Ayah. Ini aku. Sekarang lihat di hadapanmu, itu adalah makam orang tua Kiara. Sekarang katakan di depan nisan mereka bahwa kau tidak bersalah. Bahwa kau tidak merencanakan siasat keji untuk menghabisi mereka!"
***
Kiara menatap tajam pemuda di sampingnya itu.
"Ada apa ini, Wahyu? Ternyata dia adalah ayahmu. Apa kau hanya memanfaatkan aku untuk membalas rasa sakit hatimu?"
Lelaki muda bertubuh kurus tersebut menggeleng sambil tersenyum.
"Kita sama-sama telah disakiti oleh lelaki keji ini. Dia tidak pernah mengakuiku sebagai anak. Jadi aku mencari tahu tentangnya dan aku menemukan semua hal tentang ambisinya untuk mengalahkan orang tuamu. Dia menggunakan segala cara untuk menjadi penguasa daerah, termasuk menyingkirkan ayah ibumu. Dua orang yang telah disakiti, apa salahnya bekerja sama untuk menghancurkan orang yang sama?"
"Tetap saja, Wahyu, kau memanfaatkan aku," gumam Kiara.
"Jangan lupa, Kiara. Akulah yang membantumu mengungkap semua kebenaran tentang kematian orang tuamu. Sekarang semua terserah padamu, tapi jangan lupa apa yang telah dia lakukan pada orang tuamu."
Kiara menatap Pak Hendrawan sekali lagi. Wajah pria tua itu terlihat pasi. Air mata tampak berlinang membasahi pipi. Beliau lalu berlutut memohon ampun.
"Ma-af. Maafkan aku, Kiara. Ampuni aku," pintanya. Gadis itu menggeleng. Ia teringat janjinya yang dibuat empat hari lalu. Bahwa tubin ini, tepat di hari peringatan kematian orang tuanya, ia akan membawa pembunuh mereka berlutut memohon ampun di hadapan makam mereka.
Kiara menggeleng. Ia tidak bisa lagi menahan diri. Mengambil sepucuk pistol yang terselip di saku celana dan menodongkannya di kepala pria itu.
"Kiara, hentikan!" teriak seorang pemuda yang berlari mendekat.
"Andi, kau? Kenapa kau ada di sini?" tanya Kiara tanpa mampu menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Kiara, mungkin kau tidak menyadari, tapi selama beberapa hari aku terus mengawasimu dan Ayah," jawabnya sambil mengalihkan tatapan ke arah Pak Hendrawan.
"Aku tahu semua yang kamu rencanakan. Aku tahu ayahku telah membuat kesalahan yang begitu besar padamu, tapi bisakah kau melepaskan dia?"
Kiara sontak menggeleng.
"Mana bisa aku membiarkan orang yang membunuh orang tuaku pergi begitu saja?"
"Kalau begitu," ucap Andi sambil meraih tangan Kiara dan mengarahkan pistol ke kepalanya.
"Kau bunuh saja aku untuk melampiaskan dendammu."
"Andi, jangan. Ini semua salah Ayah!" teriak Pak Hendrawan. Akan tetapi, Andi tidak menghiraukan.
Tangan Kiara gemetar. Perlahan ia menurunkan pistolnya. Selama ini, ia mencintai Andi dan mereka telah menjalin kasih, bahkan berencana untuk menikah.
"Aku tidak bisa melakukannya," ucap Kiara pelan.
"Dasar lemah. Karena cinta, kau lupa dengan dendam. Kalau begitu, biar aku saja yang melakukannya!" seru Wahyu sambil berusaha merebut pistol dari tangan Kiara. Akan tetapi, polisi datang dan segera meringkus dia. Pak Hendrawan juga mengakui kesalahannya dan menyerahkan diri.
"Kau mau ke mana?" tanya Wahyu yang melihat Kiara bergegas.
"Aku akan pergi dan melupakan semua ini."
"Tapi, Ar, bagaimana dengan aku? Apa kamu juga akan melupakan aku?"
Kiara berbalik dan menatap pemuda yang sangat dicintainya itu.
"Biarkan aku pergi, Andi. Meski semua telah terselesaikan, masih ada kebencian yang tersisa dalam hatiku. Saat semua itu lenyap dan takdir masih mengijinkan kita bersatu, aku pasti akan datang untuk menemuimu."
Andi hanya mengangguk mendengar kata-kata Kiara. Hatinya terasa berat, tetapi ia memutuskan membiarkan Kiara pergi. Seulas senyum muncul di bibir Kiara saat menatap senja yang saat ini terlihat begitu indah baginya. Semua dendam yang terpendam kini telah usai.
Tamat