#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_25
#NomorAbsen_144
Jumlah kata : 995 kata
Judul : Misteri Sebuah Rumah
Isi :
Tubuh mungil Nia gemetar ketakutan. Ia duduk meringkuk sambil membekap mulutnya. Air mata berlinang membasahi pipi. Tidak pernah ditebak olehnya, ia kehilangan mereka yang selama ini menjadi sahabatnya. Semua bermula dari kebosanan mereka dan keinginan mencari keinginan. Kini semua akhirnya berubah menjadi tragedi mengerikan.
***
"Aku tidak mau ke sana. Apa kalian sudah gila? Tahu sendiri 'kan semua bilang rumah itu berhantu?" ucap gadis berambut ikal panjang tersebut sambil menggeleng.
"Ayolah, Rin. Emangnya kamu gak bosan cuma ngendong di rumah aja pas libur semester?" bujuk Nia diiringi anggukan kepala yang lain.
Nia, Rina, Wahyu, Dona, dan Budi memang telah bersahabat sejak SMP. Kini mereka menuntut ilmu di tempat yang sama. Beberapa hari sebelumnya telah diadakan ujian akhir dan kini memasuki masa libur semester.
"Tapi kita 'kan bisa ke mall atau ke mana gitu? Masa ke rumah berhantu?" ujar Rina lagi.
"Bosan tahu. Sekali-sekali kita cari yang menantang sekalian uji nyali," sahut Nia.
Wahyu menggeleng sambil tertawa meremehkan.
"Kau takut? Kurasa kita tidak akan menemukan apa-apa di rumah itu."
Mata Rina melotot sambil menatap tajam ke arah pemuda berambut cepak itu.
"Aku tidak takut!" tegasnya.
"Ayo kita pergi nanti malam!"
***
Malam telah larut. Kelima muda-mudi segera bergegas pergi diam-diam ke rumah itu sambil membawa senter.
"Apa kalian yakin?" tanya Rina. Meski memberanikan diri karena tidak mau diejek teman-temannya itu, tetap saja dia ketakutan.
"Kenapa? Takut? Kalau takut, pulang saja!" sahut Wahyu.
"Ssstttsss!" tegur Nia.
"Jangan ribut. Kalau sampai ada orang yang tahu kita pergi ke rumah Melati, kita pasti kena marah."
Rumah Melati tidak lain adalah nama rumah berhantu itu. Semua karena dulu ada seorang gadis bernama Melati yang ditemukan tewas dengan tubuh terpotong-potong di rumah kosong tersebut. Pembunuh gadis itu menggunakan gergaji listrik untuk memotong tubuhnya. Setelah beberapa waktu, pembunuh sadis itu akhirnya terungkap. Akan tetapi, dia mengakhiri hidupnya juga di rumah tersebut saat hendak ditangkap polisi.
Sejak itu, kabar mengenai rumah itu dihantui. Ada yang seperti mendengar suara tangisan dan mencium bau wangi bercampur anyir. Beberapa orang yang lain justru berkata mereka sering melihat penampakan sosok gadis bergaun putih dengan tubuh berdarah-darah dan bau busuk menusuk hidung. Selain itu, juga ada yang melihat sosok membawa gergaji listrik atau mendengar suara mesin yang menyala dari gergaji tersebut. Hal tersebut sama sekali tidak dipercaya oleh Nia dan teman-temannya. Sebagai orang yang modern dan berpendidikan tinggi, mereka menolak untuk percaya dengan peristiwa yang mereka anggap hanya sebuah mitos.
***
Mereka kemudian tiba di rumah berlantai tiga yang sudah lama tidak dihuni tersebut. Sekilas saja kediaman itu sudah terlihat menyeramkan dengan rumput-rumput liar yang tumbuh tinggi. Tanaman yang menjalar di tembok menambah kesan seram di tempat tersebut. Meski begitu, hal tersebut tidak mengurangi keinginan Nia dan yang lain untuk bergegas masuk. Hanya Rina saja yang tampak ragu, tetapi iapun segera menyusul teman-temannya masuk ke dalam rumah.
Sarang laba-laba dan debu memenuhi bagian dalam rumah. Nia dan yang lain segera menjelajah tempat tersebut menggunakan senter.
"Tidak ada apa-apa di sini," ucap Nia setelah mereka selesai melihat seluruh bagian rumah.
"Nia, Wahyu di mana?" tanya Budi tiba-tiba. Pemuda kurus berkacamata minus itu terlihat cemas.
"Apa maksudmu? Bukankah dia tadi bersama kita?"
"Iya, tadi dia di belakangku, tapi tiba-tiba menghilang," jawabnya.
Suara gergaji listrik yang menyala mengejutkan keempat sahabat itu.
"I-tu su-ara a-pa?" tanya Rina dengan suara berbisik.
"Kurasa ada yang ingin menakuti kita. Mungkin itu Wahyu. Dia 'kan selalu iseng. Ayo kita cari dia dan beri pelajaran!"
Yang lain mengangguk mendengar ucapan Nia. Mereka kembali mengitari rumah itu untuk menemukan Wahyu. Akan tetapi, suara gergaji listrik yang semakin terdengar dekat membuat Rina makin ketakutan.
"Aku tidak bisa lagi di sini!" serunya sambil bergegas pergi.
"Rina, tunggu!" panggil Nia. Namun, Rina tidak menggubris. Ia tetap saja pergi.
"Biarkan saja. Dia memang penakut. Kita terus saja mencari Wahyu," ucap Dona.
***
Rina berdiri diam menatap gadis bergaun putih dengan wajah pucat di hadapannya. Gadis tersebut balas menatapnya dengan tatapan kosong.
'Dia pasti Melati,' bisik Rina ketakutan. Sosok tersebut mendekat kepada Rina. Rina segera melangkah mundur.
"Berhenti!" teriak Rina memberanikan diri.
"Jangan mendekat. Kumohon."
Angin dingin yang membawa aroma anyir membuat bulu kuduk Rina semakin meremang.
"Mengapa ini terjadi padaku?" ucap Melati dengan suara berbisik.
"Mengapa kamu memiliki kehidupan, sedang aku tidak? Tidak. Aku tidak terima semua ini. Kamu juga harus mati!"
Sosoknya kemudian mendekat dengan cepat. Rina yang terus melangkah mundur tidak menyadari dirinya telah berada di pinggir balkon berdinding rendah. Tidak lama, jeritan kerasnya terdengar di penjuru rumah seiring tubuh gadis itu yang jatuh ke lantai dasar.
***
Nia, Budi, dan Dona panik saat mendengar teriakan Rina.
"Aku akan ke sana dan memeriksa. Kalian sebaiknya tetap mencari Wahyu," putus Ria akhirnya. Dua temannya itu mengangguk setuju.
Nia bergegas pergi. Gadis itu menjerit saat melihat Rina tergeletak di lantai dengan leher patah. Mata Rina membeliak lebar dengan darah segar mengalir di sekeliling tubuhnya.
Nia mencoba menenangkan diri. Ia lalu menyadari bahwa memang ada yang salah dengan rumah itu. Gadis itu kemudian mencari ketiga temannya yang lain.
Setelah beberapa lama mencari, ia hanya menemukan Wahyu dan Budi dengan tubuh telah termutilasi.
'Dona. Aku harus menemukannya' ujar Nia sambil berusaha menguasai perasaan ngeri dan takut yang membuncah. Akan tetapi, belum sempat dia bertindak, Dona datang sambil membawa gergaji listrik.
***
Nia melarikan diri, tetapi Dona terus mengejar dia sambil tertawa-tawa. Kini ia hanya bisa bersembunyi di dalam salah satu kamar sambil duduk meringkuk dan air mata yang terus mengucur deras.
Suara gergaji listrik yang terdengar jelas membuat dia tidak berani keluar dari kamar. Dirinya kemudian bertanya-tanya mengapa Dona berniat membunuh mereka semua.
Arwah Melati yang tiba-tiba muncul di hadapannya membuat ia menjerit ketakutan.
"Mengapa kau masih hidup?" tanya sosok itu. Tangan dinginnya segera mencekik leher Nia dengan kuat hingga gadis itu tidak lagi bernyawa.
"Kau juga harus mati sepertiku."
Dona yang berada di luar kamar terus tertawa sambil mengarahkan gergaji listrik di tangan pada lehernya sendiri. Dirinya merasa ketakutan, tetapi tidak bisa mengendalikan diri, sama seperti saat ia membunuh Budi. Kini dia hanya bisa pasrah pada kematian mengerikan yang berada di hadapannya.
Tamat