#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_23
#NomorAbsen_144
Jumlah kata : 542 kata
Judul : Cat In Love
Isi :
Mata bulatku menatap tajam. Buluku sudah berdiri tegak dengan ekor mengembang besar. Bukan apa-apa, ini semua hanya karena ada kucing lain di depanku dan dia adalah musuh bebuyutan karena kami menyukai Puti, kucing betina berbulu putih tebal.
Perkenalkan dulu diriku yang bernama Nino, kucing kampung belang hitam-putih. Tanpa disangka, aku bertemu Puti. Pandang pertama langsung tertarik. Aku tidak lagi merasa betah di rumah. Tiap hari selalu menunggu di halaman rumah Puti yang sebenarnya agak jauh dari rumahku.
Karena sangat menyukai dia, aku sampai lupa makan dan pulang. Kuabaikan saja saat Rhea, nona pemilikku yang telah merawatku sejak kecil mencari-cari. Kadang saat aku pulang karena kelaparan, dia terlihat marah. Meski begitu, tetaplah selalu disajikan ikan kegemaranku yang selalu langsung habis kusantap.
Akan tetapi, kali ini aku benar-benar tidak ingin pulang. Semua karena ada Momo, kucing bulu coklat yang juga mengejar-ngejar Puti.
"Awas saja kau kalau berani mendekati atau menarik perhatian Puti!" tegurku.
"Enak amat larang-larang. Emang situ siapa?"
Aku merasa Momo sengaja menantang. Aku menggeram. Dia balas menggeram. Kami sama-sama mengeong dengan keras untuk saling mengancam. Tidak ada yang mau pergi, akhirnya kami berkelahi. Menggigit dan saling menyerang. Berguling di tanah yang kotor berdebu.
Si empu pemilik Puti keluar dan membawa kaleng berisi air. Tanpa banyak bicara, ia menyiram air tersebut kepada kami. Aku dan Momo segera berlari membubarkan diri dengan basah-kuyup.
***
Rhea segera menghampiri dan menggendong saat melihat aku berjalan sambil terpincang dan basah semua. Wajahnya terlihat cemas dan hampir menangis. Apa aku telah membuat dia sedih?
Entahlah, kurasa tidak. Buktinya dia ingin menyiksaku. Sudah tahu aku terluka. Ia malah datang dengan botol berisi cairan aneh. Saat dioleskan ke lukaku dengan memakai kapas, aku segera mengeong marah dan mencakar tangannya hingga berdarah.
Aku tidak suka karena terasa sangat perih. Rasa sakit akibat obat luka itu membuatku merasa semakin marah. Tanpa peduli panggilan Rhea, aku bersembunyi di kolong tempat tidur.
Pemilikku itu melongok ke bawah kolong dan membujuk keluar. Biar saja, aku masih marah. Siapa suruh setelah pulang dengan susah-payah, bukannya diberi makanan enak, malah dibuat semakin kesakitan?
Tidak lama, kulihat sepiring ikan tersaji di lantai luar kolong. Sungguh menggiurkan. Tidak bisa lagi aku menahan diri karena rasa lapar yang sejak tadi mengganggu. Dengan segera, aku melangkah keluar sambil terpincang. Tidak membuang waktu, Rhea segera menangkap dan menggendongku. Keinginan memakan ikan membuat aku lupa tentang dirinya. Tentu semua ini hanya pancingan agar aku mau keluar dari kolong.
***
Hari berikutnya, kaki masih pincang dan lukaku juga masih terasa perih. Tetapi, aku tetap bertekad keluar dari rumah untuk pergi ke tempat Puti. Untunglah aku berhasil dari Rhea yang berusaha menahan untuk tidak pergi.
Kulompati jendela rumah yang terbuka dan berlari pincang ke tempat Puti. Ternyata di sana sudah ada Momo. Kami kembali berhadapan dan bersiap saling menyerang. Meongan dan geraman terdengar keras dari kami. Akan tetapi, belum sempat aku menyerang, Rhea tiba-tiba mengambil dan menggendongku.
Aku meronta untuk melepaskan diri, tetapi Rhea tetap saja menggendongku.
"Sudah pergi sana, Kucing Kecil Manja," ujar Momo dengan suara mengejek.
Kurang ajar benar dia! Aku benar-benar merasa dipermalukan, apalagi Puti yang berada di balik pagar juga melihat itu. Ya, kurasa kali ini aku gagal mendapat cinta, karena memang aku masih kecil. Mungkin aku harus makan lebih banyak lagi ikan agar tidak kalah dari Momo dan bisa mendapatkan Puti.
Tamat