#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_22
#NomorAbsen_144
Jumlah kata : 764 kata
Judul : Aku VS Penculik
Isi :
Hari sudah menjelang sore. Sekolah sebenarnya telah dibubarkan sejak tadi, tetapi apa daya guru menghukum menyalin kata seratus kali kalau aku akan rajin mengerjakan PR. Padahal aku hanya lupa karena kemarin asyik bermain bola. Ya sudahlah, aku pasrah saja dan menjalani hukuman yang membuat pulang terlambat.
Bersamaku ada Dina, sahabat akrabku. Beda dengan aku yang orang-orang bilang kayak anak laki-laki, Dina itu pendiam dan rajin. Nggak pernah dihukum guru pula, juga selalu mendapat rangking satu. Dina hanya bermain game di ponselnya. Lihat saja bahkan saat pulang bersamapun, jari tangannya sibuk di ponsel yang dibelikan sang ayah.
"Din," tegurku.
"Hm," jawab dia tanpa menoleh. Masih sibuk mengarahkan ular yang ada di ponselnya untuk mendapat makanan.
"Jajan dulu yuk, haus nih. Pengen beli es."
"Ya, beli sana."
Kesal sebenarnya melihat sahabatku itu. Dia lebih memperhatikan game ular kegemarannya itu daripada aku.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan minta tolong tidak jauh dari kami. Aku melihat seorang anak perempuan tengah dibopong dan dibawa oleh dua orang berbaju hitam. Salah satu dari mereka segera membekap mulut gadis kecil itu. Yang lain tampak waspada dan melihat sekeliling. Ia lalu melihat ke arah kami. Matanya menatap tajam seolah mengancam.
"Din, ada penculik, Din. Ayo kita tolong," ucapku.
"Ya, ayo kita telepon polisi," sahut Dina yang masih saja fokus dengan game yang dia mainkan. Kurasa ia bahkan tidak tahu yang terjadi di hadapan kami dan tidak mendengar kata-kataku.
Orang berbaju hitam dan bertubuh besar segera menghampiri kami. Suasana tempat yang sepi membuatnya yakin tidak akan ada yang datang menolong kami . Tidak ada orang lain selain kami dan para penculik itu. Dia semakin dekat.
Tangannya yang hitam dan besar terulur ke arah kami. Merasa ketakutan, kukeluarkan jurus karate yang selama ini kupelajari di ekstrakurikuler sekolah. Kutendang kakinya dan kutinju perutnya kuat-kuat. Dia hanya meringis sebentar, kemudian mengangkat tubuh kecilku. Aku berteriak ketakutan.
"Hei, lepaskan temanku!" seru Dina dengan suara bergetar. Aku tahu persis dia ketakutan. Penculik itu beralih menatapnya sambil menyeringai. Dina langsung ambil langkah seribu. Sahabatku itu benar-benar keterlaluan. Meninggalkan aku untuk juga dibawa orang-orang jahat.
Penculik berkumis lebat tersebut segera membawaku untuk bergabung dengan temannya.
"Gimana nih, Nyong?" Kita 'kan cuma mau culik satu anak, bukan dua anak. Nambah satu lagi bisa merepotkan," ujar penculik satu lagi yang berkepala plontos.
"Ya udah, kita bawa aja dua-duanya. 'Kan lumayan bisa dapat uang tebusan lumayan banyak," sahut si brewok.
"Tapi tuh anak kayaknya miskin deh. Lihat aja, seragamnya aja kumal kayak gitu," ujar si plontos sambil menudingku.
"Lalu kita harus gimana? Kalau dilepas bisa bahaya. Udah temannya tadi kabur lagi."
"Kalau gitu kita habisi aja dia sekarang."
"Jangan gitu ah, Sob. 'Kan aku gak tega kalau anak seimut itu dilukai."
Wajah si brewok tampak memelas. Mereka terlihat beradu pendapat dengan serius. Aku lalu berbisik pada anak di sampingku. Ia mengangguk dan kami pergi diam-diam dari situ.
Dua orang itu tampaknya menyadari bahwa kami tidak ada di tempat, merekapun mengejar kami. Aku dan anak yang bersamaku itu lari pontang-panting.
"Ki-ta … kita berhenti dulu, ya? Bilang sama mereka, kita stop dulu main kejar-kejarannya," ucap anak tersebut sambil terengah-engah dan mengusap keringat mengucur di keningnya.
"Siapa yang main kejar-kejaran? 'Kan kita mau diculik," sergahku kesal. Semua ini 'kan gara-gara dia. Aku yang menolong justru ikut mau dibawa juga.
"Kalau gitu kita ngikut aja deh. Bapakku kaya, kok, dia pasti bisa kasih sumbangan ke orang-orang itu. Mereka tadi 'kan bilang kalau ajak aku biar dikasih uang sama bapakku. Aku mau saja soalnya kata bapaku kita harus banyak beramal."
Aku cuma manggut-manggut mendengar celoteh anak itu dan menyeretnya untuk terus berlari.
"Kena sekarang!" seru si plontos saat kami justru berbelok ke jalan buntu.
"Anak-anak nakal, awas ya!" teriaknya sambil melompat untuk menangkap kami. Aku berkelit menghindar dan segera meninju perutnya. Si brewok segera bergegas membantu temannya untuk menangkap kami.
"Pak, Bu, itu penculiknya!" teriak sebuah suara. Aku menoleh dan melihat Dina. Ternyata sahabatku itu nggak kabur, tetapi justru mencari bantuan. Si brewok berusaha kabur, tetapi berakhir dengan pukulan sandal ibu-ibu. Begitu pula si plontos saat berusaha berkelit lari. Keduanya lalu digiring pergi.
"Makasih, Din," ucapku penuh semangat. Sahabatku itu hanya mengangguk dan kembali sibuk dengan game ular di ponselnya.
Kami kemudian mengantar anak yang nyaris diculik itu pulang ke rumahnya. Orang tuanya menyambut kami ramah dan menjamu dengan aneka kue dan makanan lezat. Tidak lama, aku dan Dina diantar pulang dengan perut kenyang.
Saat tiba di rumah, kami justru dimarahi karena pulang terlambat. Akan tetapi, setelah mendengar kisah kami, orang tua aku dan Dina tidak jadi marah. Mereka justru kini membuat kami malu karena terus saja menceritakan tentang perlawanan terhadap penculik yang aku dan Dina lakukan.
Tamat