"Kapan aku membuka segel nya?" pikir Revan serius.
"Baiklah, setelah pelaunchingan produk, harus bisa membukanya" tekad dan penentuannya tidak dapat dirubah lagi.
3 menit Revan telah sibuk dengan pikiran nya sendiri, ia dikejutkan oleh suara pintu terbuka. Adit yang membawa lembaran gambar lebih tepatnya design sebuah botol.
"Ini design wadah yang kamu request tempo hari" Adit membuka, menjejerkan lembaran gambar yang berbagai macam warna itu. Setiap gambar memiliki warna yang berpadu satu sama lain. Ukuran dan muatan botolpun bervariasi, dari millimeter paling rendah hingga paling tinggi.
"Aku lebih suka yang ini" tunjuk Revan pada gambar botol berwarna abu bercampur hitam sedikit ada sentuhan kilauan.
"Baiklah. Aku akan bicarakan dengan pendesign nya" tutup Adit bersama senyuman berlalu meninggalkan ruangan.
Sore pun menghampiri hari ini, seorang yang menunggu waktu pulang terasa begitu lama. Tiada henti-hentinya Revan melirik kearah arloji tangan. Ia menunggu-nuggu jam menunjukkan angka 5.
Bergegas ia mengemudikan mobil sendiri seperti biasa, pikirannya hanya satu tujuan yaitu rumah dan perempuannya. Ia membayangkan saat pulang, hal pertama yang dilihatnya wajah dengan dagu mungil itu. Justru membuatnya tersenyum-senyum sendiri karena wajah tadi tercetak di kepalanya
Benar saja, Nadya sudah pulang dari magangnya yang sudah beberapa hari ini terlewati. Dia sedang mengikatkan rambut kebelakang, entah mengapa terlihat berbeda dimata Revan. Seandainya ini drama, mungkin sudah diedit dengan cahaya berkilauan disana.
"Malam ini praktek harus sesuai dengan rencana" yakin Revan pada dirinya sendiri.
Waktu yang ditunggu-tunggu tiba, Revan duduk disofa dekat ranjangnya. Sambil meng scroll ponsel.
"Nad. Sini. Coba lihat" ajak Revan.
Tentu saja Nadya menurut, melihat layar ponsel itu. Disana tertera photo sepasang orang terkenal kebetulan suami istri berlibur ke sebuah pantai untuk bulan madu. Nadya heran, ada apa dengan photo itu? Apa sangkut paut dengannya?
"Duduk sini, dekat sini ga apa-apa" ia menepuk-nepuk sofa disebelahnya. Nadya diam menatap aneh laki-laki didepannya, mungkin ia salah dengar. Tetapi ia mulai duduk ragu-ragu. Revan yang melihatnya, secara langsung menarik tangan Nadya, dan secara tidak sadar Nadya duduk sangat dekat, wajah mereka berhadapan juga bertatapan. Gugup melanda, tidak usah dikatakan lagi seperti apa rasanya. Perlahan-lahan Revan mendekat, memangkas jarak, berhenti tepat satu centi selisihnya, lalu mengecup bibir menganga terkejut itu.
"Tidak menolak?" pikir Revan. "Siap lanjutkan" putusannya.
Nadya merasa mimpi malam ini sangat buruk, begitu sukanya kah dia dengan Revan? Mimpi saja bisa membuatnya gila. Tetapi terasa sangat nyata, reflek ia mendorong Revan. Terkejut bukan main laki-laki dihadapannya ini. "Ini nyata" ucap Nadya polos.
Nadya paham situasi ini beringsut mundur membuat jarak diantaranya. Paham akan maksudnya, Revan berdiri berjalan mendekati ranjang dan berbaring dengan wajah murung bercampur kecewa.
Nadya pun juga menginginkannya, tetapi ia tidak tahu apakah benar Revan sudah memiliki rasa terhadapnya atau hanya memuaskan hasrat saja. Nadya bergeming, juga menuntaskan rasa kantuk yang menyerang.
Hari-hari berjalan dan berlalu seperti biasa, hingga kini Revan jua tidak mendapatkannya alias nihil. Frustasi? Tidak terlalu, mungkin dengan sedikit bersabar akan terwujud.
Tok… tok… tok… nyaring bunyi khas pintu diketuk, Adit memasuki ruangan itu lagi. Memberitahu 4 hari mendatang launching perdana siap dilaksanakan. Segala keperluan juga sudah disiapkan.
Secercah harapan bagi Revan, ia berencana membuai Nadya dengan trik jalan-jalan sekaligus memberi beberapa helai gaun sederhana untuk acara itu.
Timbul keinginan selesai…
***
"Nad. Aku ingin punya jagoan kecil. Dan itu sangat menyenangkan jika kita pindah. Membentuk keluarga kecil" ucapnya selepas reda dengan isakannya tadi.
"Sepertinya belum bisa kita wujudkan secepatnya, lagipula kak Revan harus menyelesaikan tugasnya dulu kan. Pun aku masih magang" jelas Nadya menyesal sekaligus sedih.
"Baiklah, yang jelas kita pindah ya, Nad. Kumohon" pinta nya sambil menggenggam erat kedua tangan istrinya.
"Bukankah aku sudah menyetujui tadi?" tanya Nadya. Mungkin dia lupa pikirnya.
"Okayy… kemasi baju dan semua keperluan mu, kita berangkat dua jam dari sekarang" titahnya.
Heran di iringi berbagai pertayaan, bukankah ini tidak masuk akal? Sekarang? Andai ia bisa membaca pikiran seperti Edward Cullen, tanpa dikasih tahu ia sudah mengetahuinya.
Bergegas sepasang suami istri mengemasi dan menuju kendaraan pribadinya.
"Bagaimana mama sama papa, kak?" tanya nya lagi, mustahil pergi tanpa pamit, sungguh tidak tahu sopan santun.
"Sudah dikasih tahu, besok mama bakal mengunjungi kita" elaknya untuk menghilangkan kecurigaan.
Beberapa jam lalu, setelah ia tahu kebenarannya melalui obrolan singkat ayah dan sekretarisnya, ia langsung menghubungi pihak Agen Properti.
"Tolong siapkan satu rumah yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil" pintanya melalui sambungan telepon.
Kriettt… bunyi ketika pintu dibuka, mereka melihat sekeliling berusaha beradaptasi dengan lingkungan dan suasana. Sedikit berdebu rumah itu. Tidak seperti rumah besar lainnya yang terkesan megah dan mewah. Justru rumah ini hanya satu lantai, taman kecil di depan dan belakang rumah.
Hal pertama dilakukan saat kepindahan, membiarkan koper berdiri sejajar diruang tengah. Sedangkan pemiliknya mengelap dan menyingkirkan debu-debu menempel. Dapur tujuan pertama mereka,
"Capek juga ternyata. Padahal Cuma ngelap-ngelap aja" keluh Revan sambil menteraturkan napasnya yang tersengal. Istrinya tersenyum-senyum gemas mendengar keluh kesah dirinya.
Dikulkas ada beberapa buah tersusun, tetapi ia memilih pear sebagai hidangan. Dengan pandai Nadya mengupas dan mengirisnya. Menyerahkan kepada yang mulia yang sedang mengeluh. Karena buah itu segar dan rasa dingin menambah kesegarannya.
Melupakan pekerjaan rumah tangga, sembari mengunyah buah dan tertawa bahagia memenuhi ruang dapur. Melupakan beban sesaat.
Dua suara serentak saat ini, Nadya yang menonton televisi diruang keluarga sedangkan gemericik suara air shower tempat Revan membersihkan tubuhnya. Pekerjaan rumah tangga mereka sudah selesai, itulah sebabnya mereka berlaku santai.
"Oh sudah selesai kak mandinya" sapa Nadya. Sudah semakin akrab saja mereka setelah malam 'itu' "
"Sudah. Aku ingin mengistirahatkan tubuh gagah ini" candanya. "Pijit kepala aku, Yang. Pusing sedikit nyut-nyut an" jelas nya sambil membaringkan diri di sofa depan tv dengan kepala berpangku pada paha Nadya yang sedang duduk.
Dengan telaten dan lembut Nadya memijitnya, sambil mencuri tatapan ke layar Tv dan wajah Revan. Ia tidak salah dengar panggilan Revan tadi. Tanpa sadar Nadya menyemburkan tawanya karena geli mendengar panggilan tadi.
Keheranan, Revan kembali duduk melihat Nadya yang bahunya bergetar menahan tawa. "Kamu kenapa?" tanya Revan seperti orang bodoh.
"Hahaha…" tawa Nadya pecah. "Tidak. Tidak apa-apa" sangkalnya.
Mungkin tertawa karena menonton televisi pikir Revan. Ia kembali membaringkan tubuhnya seperti tadi.
Rasa geli bercampur lucu sudah hilang, Nadya kembali fokus pada pijitannya. Sekilas ia mengecup kening sempurna Revan, entah darimana keberanian itu datang. Sebab perlakuan itu, segera Revan membalikkan posisi, mencengkeram dan membuat Nadya dibawahnya sekarang.
"Kamu sudah berani?" ejeknya dengan seringai licik.
Seperti yang dibayangkan, bagaimana orang yang kelaparan seperti itulah Revan sekarang. Menggebu, rakus, tidak melewatkan setiap inci asset milik Nadya. Nadya yang pasrah tetapi juga menikmatinya.
Revan menggendong istrinya menuju kamar berdua, membiarkan suara Tv menggema ruangan itu. Malam ini malam pertama mereka menggunakan kamar nya. Dan Revan sudah mendapat jackpot.
Tidak perlu tangan jika membuka pintu, cukup terjangan dari Revan pintunya sudah terbuka. Memang dari awal pintu itu tidak tertutup sempurna sehingga sangat mudah membukanya. Toh mereka hanya berdua saja.