Bagi orang-orang penuh semangat, satu hari terasa sebentar. Sepertinya itu berlaku untuk Revan hari ini, pekerjaan membuatnya cukup lelah, hingga tak sabar ingin pulang dan merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk sambil memeluk guling kesayangan. Langit cerah yang menemaninya seharian bekerja, sekarang tampak memudar, Revan melihat arloji di tangan ternyata jarum nya sudah menunjukkan angka tujuh.
Bergegas menaiki mobil yang terparkir dibawah, lalu mengemudikan nya menuju rumah. Entah kenapa, perasaan nya seharian ini sangat bahagia.
Cklek… ia membuka pintu kamar, melihat sekeliling dan mulai bertanya-tanya.
"Nadya, kemana? tidak biasanya belum pulang jam segini" Pikirnya sejenak. "Van, Van. Nanti juga pulang kan, masih jam segini. Kenapa kamu kecewa?" Revan berusaha meyakinkan diri nya untuk bersikap biasa saja.
Dirasa tubuhnya tidak nyaman ditempeli keringat setelah seharian bekerja, Revan melangkah menuju kamar mandi membersihkannya. Selang beberapa menit Nadya pulang, langsung membaringkan tubuhnya telentang diatas kasur sambil memainkan handphone nya.
Sesaat kemudian Revan selesai mandi dan keluar mengambil handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya. Ia berjalan sambil menggosok-gosokkan rambutnya menggunakan handuk kecil tadi mendekati Nadya.
"Udah pulang Nad?" tanyanya sambil berdiri di samping Nadya yang sedang memainkan handphone.
"Aduh" ringis Nadya kesakitan. Ia terkejut sehingga handphone nya terlepas dari genggaman dan jatuh tepat diatas keningnya.
"KAKAK KENAPA HANYA MEMAKAI HANDUK GITU?" Nadya terkejut untuk yang kedua kalinya, setelah ia menoleh kearah kanan. Karena yang ia lihat tubuh Revan dengan sehelai handuk dipinggang.
"Kan habis mandi" jawab nya santai. tanpa rasa bersalah. Memang tidak salah, toh mereka suami istri, sah-sah saja kan.
"i-iya.. tapi kan bisa memakai baju dulu, kak" Jelas Nadya, dengan sesegera mugkin bangun dari tidurannya dan duduk.
"kenapa wajah mu merah begitu, Nad? Kamu malu ya liat dada aku yang bagus ini? Iya sih emang bagus, aku sering liat pas ngaca" Jelas Revan bangga, yang semakin membuat Nadya malu. Sampai tidak berani menegakkan pandangannya.
"kamu darimana, jam segini baru pulang? tidak biasanya" Tanya Revan setelah melihat istrinya tidak bisa berkata-kata lagi.
"Ha? Emm… dari tempat bunda, kak" jawab Nadya sedikit gugup.
"Ya sudah, mandi sana, bersihkan keringat kamu, setelah itu istirahat" suruhnya sembari menyemprotkan parfum tubuh beraroma khas laki-laki yang maskulin.
Malam itu terasa hangat, mereka berbincang, bertanya dan bercerita kegiatan hari ini satu sama lain hingga terlelap. Tidak ada jarak yang selama ini membatasinya, atau memang jarak itu mereka sendiri yang membuatnya.
***
Satu minggu sudah Revan bekerja sebagai pekerja magang di perusahaan ayah nya. Hari ini ada senyum di bibirnya seraya berjalan menuju kantor. Ia memberhentikan langkahnya tepat dipintu ruangan boss, merupakan ruangan ayah nya sendiri. Terlihat seorang laki-laki yang tidak asing dimatanya bersama seorang laki-laki paruh baya, tidak jauh selisih umur dengan papanya.
Revan tidak bisa mendengar jelas apa yang dibicarakan orang-orang itu, seketika Adit melirik adanya Revan diluar ruangan sedang mengamati mereka, tanpa ragu menghampiri nya.
"Van, kenapa disini? Kalo mau nemuin om Wahyu, masuk saja. Kami bukan orang asing" disusul tawa kecil Adit, melihat keterkejutan Revan.
Revan masih sedikit bingung, mengapa Adit ada disini dan mengatakan bukan orang asing. Dia kan sepupunya Rea, tentu saja tidak ada ikatan darah dengan Revan.
"Van, ternyata kamu sudah tiba?" suara besar menyapa nya, seiring Revan berjalan mendekati.
"I-iya pa, mereka siapa? Kok Revan baru lihat?" tanya Revan penasaran ditambah kebingungan.
"Adit juga satu kampus loh Van sama kamu, belom tau?"
"Revan juga tau, Pa. Maksudnya hubungan mereka disini apa?" bisiknya. Revan masih belum memahaminya.
"Namanya om Erwin, yang disebelah itu anaknya, Adit. Adit yang akan bantuin kamu dikantor mulai besok, sebut saja sekretaris" Akhirnya ia menjelaskan setelah membuat anaknya kebingungan.
"ya sudah, Revan mau kerja dulu, Pa, om" Pungkasnya, berjalan menuju ruang kerjanya.
Sesampainya diruang kerja, Revan masih memikirkan hubungan ayahnya dengan Adit, kenapa tiba-tiba menyuruhnya jadi sekretaris, sebelumnya ia tidak di beri tahu apapun.
***
Akhir pekan adalah hari libur yang ditunggu-tunggu semua orang, aku termasuk orang tersebut. Bisa terbebas dari pekerjaan yang menuntut, rasanya tak ingin lepas dari cengkraman kasur ini, berleha-leha seharian dikamar, sambil melihat tingkah gugup nya Nadya.
Padahal sudah beberapa bulan berlalu, perlakuan nya terhadapku masih saja kaku. Seketika timbul ide licik di otakku yang pintar ini, bagaimana rasanya dimanja oleh istri sendiri.
Seperti biasa dia membantu mama didapur saat libur, aku menyusul nya kesana ingin melihat kepandaiannya memainkan pisau dapur dalam memotong.
Aku duduk dikursi dan menopang dagu dengan tangan kanan sambil melihatnya dari belakang, sepertinya Nadya belum sadar aku dibelakangnya dan memperhatikannya. Aku merasa tidak dianggap, dasar perempuan kaku dan tidak peka.
"Nad, masak yang enak yah" Nadya terkejut mendengar suara ku tiba-tiba.
"khusus untuk aku kasih sedikit bumbu sayang, yah" Gombalanku yang aku sendiri merasa ilfil, tapi aku tidak memperduli kan nya tuh. Nadya diam aja, tidak merespon apa-apa. Oh God. Jawab apa kek biar suaminya bahagia. Mamaku mendengarnya menggeleng-gelengkan kepala saja, bisa jadi mama mikirnya aku kekurangan kasih sayang.
"Ma, ngizinin gak kalo Revan ajak menantu mama keluar?" sengaja begitu, supaya dia dengar.
"Boleh dong, sayang. Kamu bisa sepuasnya bersama menantu mama". Jawab mamaku, ternyata ia ikut permainan yang aku buat.
Mendengar jawaban mama, berhasil membuat Nadya terhenti memotong sayuran. Kamu gak bisa lolos Nad kali ini. Sumpah aku merasa ini sangat menyenangkan, mengerjai nona kaku itu.
Tiba-tiba terdengar nada handphone dikamar, bergegas aku menghampirinya. Ternyata Rea yang menelepon, sudah lama dia tidak menghubungiku, sejak kita liburan kemarin.
"Halo, Re. ada apa?" tanyaku. Aku juga merasa akhir-akhir ini sedikit lupa tentangnya.
"Van, ketemuan yuk. Jenuh dirumah, sekalian ada yang ingin aku bicarakan. Oiya adik kamu tidak ikut kan?"
Deg… aku baru ingat kalau Rea belum tahu istriku yang mana.
"Eh? Oh iya. Nadya bantuin mama masak. Aku belum mandi, Re. aku siap-siap dulu yah, nanti aku menjemputmu".
Sebenarnya aku rada-rada cemas bertemu Rea, takut ada yang salah paham. Kita kan hanya berkumpul sesama teman kampus yang sudah lama tidak bertemu. Setengah jam kurang lebih aku bersiap, lalu mengemudikan mobil menuju rumah Rea.
Setelah itu, kami menuju kedai langganan kami pas masih kuliah kemarin, tidak bisa dipungkiri memang menunya disini enak-enak. Aku penggemar masakan pedas, tepat karena kedai ini menyediakan khusus menu yang pedas.
"Van, kita battle ya. Siapa yang ngabisin makanan nya tanpa minum dia menang. Yang kalah harus menuruti apapun yang dipinta si pemenang tanpa terkecuali". Ajaknya, ada guratan marah dibalik tantangan itu. Entahlah... kami sudah lama tidak melakukan hal itu sejak ujian semester yang lalu.
"Oke" Jawabku langsung.
Keringat bercucuran dari kening kami masing-masing, kepiting sambal level sepuluh yang kami pesan sangat pedas, bibirku rasanya sudah membengkak dan merah, suara kami bersautan mendesah kepedasan "sshhh haaa… ssshhh haaaa….".
Sesuka-sukanya aku makan makanan pedas, masih kalah dengannya. Memang dia ratunya makanan pedas sih, aku akui itu.
"Kamu kalah, Van. Hahaha" Ejeknya, melihat aku tak sanggup lagi menghabiskan milikku.
"Gila kamu, Re. ini sangat pedas. Dasar ratu pedas!"
Beberapa saat kami diam untuk menghilangkan rasa terbakar dilidah dengan meminum susu dingin yang kami pesan selanjutnya, Rea melanjutkan perkataan nya sebagaimana yang ia jelaskan di handphone tadi pagi.
"Van, aku boss nya sekarang" Seringainya.
"Iya iya. Aku kalah. Apapun deh yang kamu mau"
"Pertama, aku minta ditraktir nonton"
Banyak permintaan dia, itu baru yang pertama.
"Oke, kita nonton sekarang" ucapku kalah.
Kemudian kami menuju bioskop sesuai permintaan yang menang, kurang lebih dua jam kami berada didalam hingga film selesai. Pada saat kami berjalan menuju parkiran, tampak matahari mulai condong kearah barat, cahayanya mulai redup.
"Re, udah sore. Aku antar kamu pulang ya" Pintaku terhadapnya saat sudah dalam mobil.
"iya, Van"
Huuhhh.. syukurlah ia mau diajak pulang. Tuhan! Aku baru ingat ada janji dengan Nadya tadi. Kenapa aku bisa lupa, siap-siap di omeli mama kalo pulang. setibanya dirumah Rea sekitar jam lima lebih tiga puluh menit.
"Van, makasih ya seharian ini kamu sudah meluangkan waktu. Aku sudah memastikan nya, aku juga yakin kamu tidak bakal melupa kan ku, padahal kamu telah menikah. Aku percaya yang kamu ucapkan dulu, cepat atau lambat kamu akan pisah dengan istrimu. Kamu tidak akan mencintainya kan?" jelasnya sebelum masuk kedalam rumah, dengan rona wajah seperti anak kecil habis dibelikan permen oleh kakaknya.
"kamu istirahat ya". Aku mengalihkan pembicaraan, sebenarnya aku terkejut mendengar kata-kataku sendiri dulu, yang telah diucapkan kembali olehnya.
Apakah mungkin aku tidak menyukai Nadya, yang aku lihat setiap hari adalah dirinya, terkadang bisa membuatku berpikir liar terhadapnya, terkadang tingkahnya membuat ku tertawa. Terkadang aku ingin merasakan dimanja olehnya. Aku sudah berusaha menepis perasaan itu, tapi tenaga yang aku punya tidak sekuat yang aku pikirkan, malah aku terus masuk dan terjebak didalamnya.
***
"Halo, om. Revan sudah jalan menuju rumah" Adit melihat Revan dari kejauhan menggunakan mobil hitam.
"Baiklah. Senin, kamu sudah bisa jadi sekretarisnya Revan. Kamu bilang ke dia juga sebagai mahasiswa magang dikantor" Suara besar Wahyu terdengar jelas dari ponsel milik Adit.
"Baik, om" Pungkasnya, kemudian menyalakan mesin mobil dan mengemudinya menuju rumah.