"Lili...,!!" Dela berteriak-teriak memanggil Lili, keadaan club malam itu sangat ramai sehingga sangat sulit mencari tubuh mungil Lili disana. Tubuh Dela sering kali menabrak orang-orang yang dilaluinya. Ia tidak tahu Lili sudah meninggalkan club itu.
"Li..ughh" Dela tidak menyelesaikan kalimatnya ketika ia menumpahkan minuman seorang pria yang ditabraknya.
"Maaf om, saya tidak sengaja" tuturnya mencoba membersihkan baju pria asing di hadapannya dengan tampang bersalah.
"Apa yang kau lakukan?!" Teriak pria itu berang. matanya memerah menandakan ia tengah mabuk berat dibawah pengaruh alkohol.
"Aku tidak sengaja. Aku akan bertanggung jawab. Tapi aku sedang terburu-buru" Dela hendak meninggalkan pria itu dan melanjutkan langkahnya mencari Lili, ia sangat khawatir dengan sahabat karibnya tersebut.
"Heei aku belum selesai bicara denganmu." Pria asing itu mencekal tangan Dela dan menyeretnya menjauh dari keramaian.
"Ap.. apa yang kau lakukan!?. Lepaskan aku!!" Dela meronta mencoba melepaskan diri. Tubuhnya bergetar takut.
"Aku ingin kau mempertanggung jawabkan perbuatanmu sekarang juga" pria itu menyeringai dan terus menyeret Dela yang mulai frustasi. Dela berusaha melepaskan diri dengan memukul-mukul tangan pria itu.
Dela terus saja diseret ke lorong aneh dan terlihat sepi. tidak ada satupun orang didekat sini, kalau adapun pasti takkan ada yang peduli dengan nasib Dela di tangan pria hidung belang ini.
"LEPASKAN AKU!" Dela berusaha mendorong pria tersebut ketika pria itu berusaha mencium lehernya.
SRAAK baju Dela terkoyak saat pria itu menariknya dengan paksa. Wajah Dela pucat pasi. Ia mencoba sekuat tenaga melepaskan diri sambil menutupi belahan dadanya.
"Tidak! Hentikaan!" teriak Dela ketika pria itu mencium lehernya dan meninggalkan bekas disana. Dela dapat mencium bau alkohol dari tubuh pria asing itu.
"tidak akan ada yang mendengarmu disini" pria itu menyeringai sambil berusaha melepaskan sabuknya. Tubuh mungil Dela bergetar takut.
"to.. tolong aku" air matanya mulai mengalir. Sepertinya mereka telah membuat kesalahan besar dengan menghadiri tempat laknat itu.
***
Lili berlari meninggalkan club malam itu. ia menghentikan taksi dan langsung masuk kedalamnya. yang ada dipikirannya saat ini hanyalah rumah. ia ingin pulang. ia ingin mengemasi barangnya dan pulang ke sisi orang tuanya lagi. tapi dimana? dimana dia bisa menemui orang tuanya?
ia hanya menatap keluar jendela taksi itu dengan nanar, kerlap-kerlip lampu kota metropolitan mampu membuatnya merasa kosong dan sepi. tak ada alasan baginya untuk bertahan dengan rasa sakit ini. selamanya cinta Lili tak akan pernah terbalas. pikirannya limbung ke masa lalu, apa sebenarnya yang membuat Alan begitu membencinya hingga melakukan hal ini?
momen indah terakhirnya bersama Alan hanyalah saat itu, prom night akhir sekolah Lili.
---
"apa ini tidak apa-apa kak?" Lili berbisik pelan pada Alan. Ia harus sedikit berjinjit mencapainya. Ia merasa tidak enak sudah meminta Alan menemaninya kemari. Mereka sedang berada di acara prom night akhir sekolah Lili. Ya, mereka tengah berdansa di ballroom megah dengan alunan musik yang terdengar sangat romantis. Ia merasa kikuk karena semua mata tertuju pada mereka bahkan sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki di gedung ini. Lili berdandan sangat cantik dari biasanya khusus untuk acara spesial ini, tidak, bukan acaranya yang spesial, tapi pria yang tengah berdansa dengannya inilah yang begitu spesial. Satu-satunya pria yang bertahta di hatinya, pria yang selalu hadir tiap malam di ingatannya. Lili benar-benar tampak menawan dengan balutan gaun merah muda yang indah ditubuh mungilnya. Polesan make up tipis membuatnya terlihat sangat menawan mencuri hati para lelaki. Lili gugup karena menjadi pusat perhatian dan terlebih lagi ia gugup berdansa dengan seseorang yang sangat ia cintai ini.
"Memangnya kenapa?" ujar Alan datar. sangat berbeda sekali dengan Lili, Alan terlihat sangat tenang dan berkharisma. Alunan musik romantis itu terdengar menghanyutkan di acara yang meriah ini.
"aku malu" wajah Lili merona. Ia sangat terpana dengan penampilan Alan yang sangat tampan dengan suit gagahnya. Ia gugup setengah mati. Wajar saja semua gadis iri melihat Lili memiliki partner yang tampak sempurna. Namun lagi-lagi Lili harus puas dengan hubungan mereka yang hanya sebatas adik-kakak. Ia tidak bisa berharap lebih dari apa yang ia dapat saat ini. Ia bahagia. Itu sudah cukup baginya.
Bisa membawa Alan sebagai pasangannya untuk semalam saja sudah membuat senyum bahagia terukir di wajahnya. Biarlah ia menjadi egois hanya untuk semalaman ini.
Lili mencoba rileks dan mengikuti irama langah Alan di lantai dansa ini, ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Alan. Lili dapat menghirup aroma tubuh Alan yang selalu menjadi favoritnya.
"Belakangan ini kak Alan selalu sibuk" Lili mengikuti ritme langkah Alan yang menuntunnya.
"Hmm.." Balas Alan singkat.
"Kakak mulai jarang menghabiskan waktu denganku" tambahnya
"Hm.." lagi-lagi balasan yang sama.
"Aku rindu.. sangat rindu" tuturnya lembut. ada jeda disetiap kata yang Lili lontarkan. Lili menyandarkan kepalanya di dada bidang Alan. Lili sadar betul Alan sudah menjelma menjadi pria tampan dan matang yang mungkin sudah mulai memikirkan masa depannya dengan serius. Lili sadar waktunya sudah semakin dekat. Waktu untuk merelakan Alan memilih gadis pujaannya sebagai pendamping hidup sudah di depan mata. Lili rindu bermain dan belajar bersama lagi di kamar Alan seperti dulu. Suatu kebiasaan yang kini sudah tidak diijinkan lagi oleh Alan. Entah mengapa Lili merasa Alan semakin jauh darinya. Dulu Lili sering sekali menghabiskan waktu dirumah Alan dan bertingkah sebagai sepasang suami istri semenjak orang tua Alan tinggal diluar negeri . Lili sangat gemar tenggelam dalam khayalnya sendiri.
"Kau harus mandiri. Aku terlalu memanjakanmu" ucap Alan tegas. Lili hanya memejamkan mata. Ia ingin waktu berhenti untuk mereka saat ini juga. Andai Lili boleh meminta apa saja, ia akan memilih waktu. Karena selama memilikinya, dia bisa terus mencintai Alan.
"Kak, boleh aku minta sesuatu?" Lili mengangkat wajahnya dari dada Alan dan menatap iris kelam itu lekat.
"Katakan"
Lili menghembuskan nafas gugup. Ia mengangkat wajahnya menatap Alan. Ia sadar betul ini adalah permintaan gila.
"Cium aku" lanjutnya.
Langkah dansa mereka terhenti masih dengan pandangan mata yang saling beradu. Pandangan mereka sama-sama sulit diartikan. Lambat laun wajah Alan mendekat. Terus mendekat. Lili dapat merasakan hembusan nafas Alan menerpa wajahnya. Lili memejamkan kedua kelopak mata bulat indahnya. Wajahnya mendadak kaku. Apa itu akan benar-benar terjadi? Apa mimpinya tiap malam yang mendapat kecupan mesra di lantai dansa akan terwujud? Ia hanya menikmati tiap degupan jantungnya yang nyaris menggila. Ia merasa wajah Alan terus mendekat namun masih tak berani membuka matanya. Lama ia terdiam setelah akhirnya ia merasakan kecupan lembut mendarat di dahinya. Dahi? Bukan itu yang Lili pikirkan saat ini. Bukankah tadi Alan hendak mengecup bibirnya?
Lili membuka matanya cepat. Ia merasa ada yang salah disini. lagi-lagi ia diperlakukan sebagai seorang adik. kenapa Alan tidak pernah melihatnya sebagai seorang wanita? Padahal Lili sudah berusaha mempercantik dirinya malam ini, tapi apa? Nyatanya Alan masih tidak merasakan apapun untuknya. Ah, mungkin itu hanya perasaan Lili saja, lagipula sejak kapan Alan mau melirik bibirnya? Lili kembali dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit.
Setelah mengecup dahi Lili Alanpun merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Lili dapat merasakan Alan menghela napas gusar. Lama ia berada dalam pelukan itu membuat dahi Lili mengernyit bingung.
"Sudah malam. Ayo pulang" belum sempat Lili melontarkan pertanyaan ternyata Alan sudah lebih dulu mengeluarkan suara. Lili terdiam ketika Alan menggandengnya keluar dari gedung. Ternyata benar, mimpi tetaplah menjadi mimpi baginya. Ah, rasanya sudah lama sekali Lili tidak merasakan genggaman tangan besar itu lagi. rasanya hangat dan nyaman. Perasaan itu membuatnya merasakan keindahan dalam sebuah kepedihan.
Lili tidak pernah tahu malam itu menjadi malam terakhir masa-masa indahnya dengan Alan. Selanjutnya hanya peristiwa menyedihkanlah yang selalu ia dapat dari perjalanan hidupnya. Mulai dari kabar Orang tuanya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan, Alan yang tidak muncul di masa sulitnya saat pemakaman, Bahkan pernikahan yang diwarnai kesedihan.
Itu adalah permulaan dari sisi lain yang ia kenal dari seorang Alan.
---
sebening air mata lolos dari pelupuk mata Lili, untuk apa kenangan bersama Alan selalu terlintas di benaknya? kenapa kenangan manis itu malah menjadi menyakitkan untuk diingat sekarang?
Lili menhapus air matanya.
tidak, Lili tidak boleh goyah, ia harus segera mengemasi barang dan menghilang dari kehidupan Alan secepat mungkin. tekadnya sudah bulat.
***