"Bu, maafkan aku. Bulan ini belum bisa memberikan ibu uang, aku harus membayar kuliahku" ujar seseorang dari dalam rumah yang sederhana itu.
Lili baru saja sampai di rumah Bi Iyam ketika mendengar samar-samar suara dari dalam sana. Ia menghentikan dirinya yang baru saja hendak meraih hadle pintu.
Lili mendekat. Ia mencoba menajamkan pendengarannya ke arah pintu masuk rumah yang masih tertutup.
"Tidak apa-apa. Ibu masih punya tabungan. Gunakanlah uangmu untuk keperluan kuliahmu" terdengar suara wanita paruh baya dari dalam sana.
Lili terdiam mencoba mencerna apa yang sedang terjadi di dalam sana. Ia sudah mengerti bahwa Bi Iyam sedang dalam masalah keuangan. Putra semata wayangnya itu membutuhkan dana yang besar untuk menyelesaikan kuliah kedokterannya. Bi Iyam selalu menutupi masalahnya ini dari Lili, namun semua tidak bisa berjalan dengan semestinya, cepat atau lambat siapapun pasti tahu Bi Iyam sedang berada dalam kesusahan ekonomi.
Lili terpaku, kata-kata Dela kembali terngiang di benaknya. Harus dengan cara apa Lili bisa membantu Bi Iyam? Bahkan untuk dirinya sendiri saja Lili masih menumpang pada Bi Iyam. Lili kembali dihadapkan pada masalah baru. Ia bahkan belum sempat memikirkan kelanjutan rumah tangganya dengan Alan.
"Maaf bu, aku harus pergi dulu. Ada ujian praktek minggu depan. Aku harus menyetorkan uang siang ini" pamit seorang pria dari dalam sana.
"Iya nak, hati-hati"
Tak lama kemudian pintu di hadapan Lili terbuka. Lili terperanjat melihat seorang pria muncul dibaliknya.
"Lili, apa yang kau lakukan di luar?" tanyanya seraya melihat ke sekekiling mencari siapapun yang datang bersama Lili ataupun mengantar Lili pulang.
"Ah tidak, aku baru pulang" seulas senyum kaku terukir di wajah cantiknya.
"Aku baru pulang pagi tadi. Ibu sudah menceritakan semuanya padaku. Aku tidak tahu adik kecilku ini sedang merajuk dan kabur dari rumah" godanya seraya mengacak rambut Lili. Ya, mereka memang akrab. Dulu sewaktu Bi Iyam masih bekerja di rumah Lili, pria bernama Reza itu sering ikut bersama ibunya karena di rumah tidak ada siapa-siapa. mereka hanya tinggal berdua di rumah kecil itu.
"Apasih kak hehe" Lili mencoba tersenyum sebisa mungkin yang malah terlihat meringis.
"Haha tidak apa-apa, anggap saja seperti rumahmu sendiri. yaudah, kakak duluan ya."
"hati-hati" ujar Lili seraya menatap Reza yang berlalu menunggalkannya menuju kampus.
Lili masih terdiam dalam lamunannya.
***
Lili berbaring di kamarnya. Masih terngiang di ingatannya tentang pembicaraan Bi Iyam dan Kak Reza tadi sore. Bagaimana bisa ia dengan santai tinggal bersama Bi Iyam tanpa membantunya apapun? Lili berpikir keras. apa ia terima saja tawaran Abi mengikuti lomba itu?
Lili menggeleng, tidak itu pilihan terakhir, ia harus memikirkan solusi yang lain. ia beranjak dari kasurnya dan berjalan ke arah ruang tamu. ia memperhatikan sekelilingnya mencari sesuatu.
"sedang apa nak?" suara Bi Iyam mengangetkan Lili. ia tengah membawa teh hangat di tangannya hendak menyalakan televisi. ternyata kebiasaan wanita itu masih belum berubah dari dulu. menonton sinetron ditemani secangkir teh panas.
"anu itu.. koran tadi pagi" jawabnya masih dengan memperhatikan meja di bawah televisi.
"untuk apa? korannya ada di belakang tadi bibi pakai untuk bungkus kue, hanya tinggal beberapa lembar sisanya" tutur Bi Iyam dengan polosnya membuat Lili menepuk dahi.
"yahh, di mana sisanya Bi?" lanjutnya yang mulai berjalan ke arah dapur.
"Di atas kulkas" jawab Bi Iyam setengah berteriak.
Lili mengalihkan pandangannya ke atas kulkas dua pintu itu yang tidak begitu tinggi.
"ini dia" lirihnya seraya membolak-balik sisa koran tadi pagi yang sudah sebagian terpotong dan hilang beberapa halaman. Lili membolak-balikkan lembaran-lembaran tersebut sambil berjalan ke arah kamarnya.
ia memasuki kamarnya dan segera menutup pintu rapat.
Lili memfokuskan pandangannya ke lembar paling belakang dari koran tersebut.
"Lowongan kerja.. mana dia" lirihnya sambil komat-kamit mencoba membaca dengan cepat.
Lili mengambil pulpen dari dalam tas kuliahnya dan mencoba melingkari iklan lowongan kerja yang tertera di koran tersebut. tak banyak yang sesuai dengannya, rata-rata semua adalah lowongan kerja full-time, sementara sebagian waktunya harus digunakan untuk kuliah. ada beberapa yang freelance, namun lagi-lagi tidak sesuai dengan persyaratan pengalaman kerja. dari mana Lili memiliki pengalaman kerja? dia adalah anak satu-satunya di keluarga Atmadja, tidak pernah kekurangan apapun, tidak pernah merasakan susah, dibanding mencari uang, Lili hanya menghabiskan sebagian besar waktu luangnya dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan ataupun disukainya, seperti bernyanyi ataupun jalan-jalan dengan teman-teman sekolahnya dulu.
"sepertinya ini cocok" gumamnya. ia melingkari tiga tempat yang akan didatanginya besok sepulang kuliah. ia sadar betul uang tabungannya sudah mulai menipis. sebenarnya Lili adalah pewaris tunggal perusahaan milik keluarga Atmadja, tentu saja itu bukan uang yang sedikit, sebenarnya Lili bisa mengakses uang tersebut, tapi kebanyakan semua akses itu di pegang oleh Alan. ia hanya mendapat transferan tiap bulan dari rekeningnya yang dikirimkan Alan, ia tidak pernah mempermasalahkan itu ketika masih tinggal di rumah Alan, toh semua kebutuhannya juga tercukupi, Lili tidak gila harta, tetapi dia juga belum pernah mengalami bagaimana susahnya mencari uang, ini akan menjadi pengalaman pertamanya mencari nafkah sendiri.
Lili menghela napas berat. ia rindu, sangat rindu dengan kehidupannya yang dulu. ia melirik ponselnya, menghidupkan layar kuncinya. masih wajah yang sama tertera di wallpapernya. wajah yang orang yang selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali.
benarlah pepatah yang mengatakan bahwa orang yang berpotensi membuatmu tersenyum bahagia juga berpotensi besar membuatmu menderita, betapa menggelikannya, satu orang mampu menjadi sumber kebahagian pun menjadi sumber duka mendalam.
Lili mengusap layar ponselnya dengan mata sendu.
"sejak kapan semua jadi seperti ini, kak" batinnya. kalau saja Lili tidak mengganti kartu nomer lamanya sementara waktu, apakah Alan akan menghubunginya? sedikit banyak Lili tergoda untuk mengaktifkan kartu lamanya.
Lili yakin pasti Alan sedang mencarinya sekarang, bukan karena rindu, tetapi karena amarah. Alan pasti tidak terima Lili berbuat sesuka hatinya sendiri. Lucu memang, bagaimana mungkin Lili tidak boleh bertingkah semaunya sementara Alan sendiri mengahancurkan hatinya sesukanya. entah sampai kapan Lili akan bersembunyi dari Alan.
Sekelebat peristiwa di club malam itu kembali menguasai pikirannya, membuatnya limbung dalam kepedihan sebuah penghianatan. tak apa jika perpisahan harus terjadi. ia menginginkannya. Lili tidak ingin terluka lagi.
bukankah Hidup ini memang penuh dengan orang yang berlalu-lalang, diingat atau dilupakan, entah itu benar-benar singgah atau hanya menyapa lalu menghilang di keramaian?.
mungkin Lili dengan Alan hanya untuk bersama namun tidak untuk dipersatukan.
lagipula Lili tidak ingin hanya menua bersama dengan Alan, ia ingin bahagia bersama juga. untuk apa bersama tapi tidak bahagia? pikirnya.
***