Chereads / Please Fall For Me / Chapter 28 - Genderang Perang

Chapter 28 - Genderang Perang

"Hei... kenapa terburu-buru?" Dela sedang melangkahkan kakinya cepat ketika seseorang menyentuh pundaknya ringan.

"Kak Abi" lirihnya pelan.

"Kenapa sendiri? mana Lili?" Abi menoleh ke kiri-kanan mencari keberadaan Lili. Sudah tiga hari ia mencari keberadaan Lili di kampus namun tak mendapat kabar apapun. Ponselnya tidak aktif, Dela pun sudah semakin sulit dihubungi.

Dela menggaruk kepalanya bingung. Ia selalu menghindar dari Abi karena tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Apa tidak apa-apa memberitahu keadaan Lili sekarang? tetapi itu sangat beresiko, ada perang argumen yang terjadi di kepalanya sekarang.

"Lili... umm, dia sakit kak" jawab Dela akhirnya. Abi mengernyitkan dahi.

"Sakit? Sakit apa? Kenapa Lili sering sekali sakit?" Abi merasa ada yang salah dengan situasi ini. Ia selalu merasa ada yang mereka tutup-tutupi darinya. Dan sekarang dia semakin merasa curiga.

"Umm anu.. sebenarnya.." Dela tampak berpikir keras. Ia menghembuskan nafas kasar. Abi menunggu dengan tidak sabar.

"Lili kecelakaan kak. Dia dirawat di rumah sakit sekarang." sesal Dela. Sontak Abi membelalakkan matanya. Mendadak wajah Abi menegang.

"Kecelakaan? Bagaimana bisa? bagaimana keadaanya sekarang?" Abi terlihat sangat panik. ia memegang kedua lengan Dela dan sedikit mengguncangnya, memastikan pendengarannya tidak salah. Dela berjingkat kaget oleh reaksi Abi.

"Dia sudah baik-baik saja"

"Bawa aku menemuinya sekarang!"

Dela berpikir keras, bingung harus berbuat apa.

"Tapi kak-"

"Tidak ada tapi-tapian! Ayo!" Dela berjalan terseok-seok mengimbangi langkah Abi yang menariknya menuju parkiran mobil dengan langkah cepat. Ia tidak tahu apa keputusannya ini sudah benar memberitahukan Abi tentang musibah yang dialami Lili. Kondisi Lili yang sekarang sangat memungkinkan Abi mengetahui yang sebenarnya. Ya, tentu saja perihal pernikahan Lili dengan Alan.

***

"Lili, ayo makan, sedikit saja tak apa" Genta berusaha membujuk Lili yang melengos membelakangi Genta yang sedang duduk dipinggir ranjang dengan sepiring nasi.

Lili memilih duduk memandangi jendela ke luar ruangan dari pada harus melihat seseorang yang sangat tidak diinginkannya. Sekarang keadaan Lili sudah semakin membaik. Luka-luka yang dideritanya sudah mulai mengering. Namun wajahnya masih saja pucat khas orang sakit.

"Aku tidak mau jika pria itu masih disini. Bukankah sudah kukatakan aku tidak ingin melihat pria itu?" Lili bersikeras. Genta hanya menghela napas gusar. Ia melirik ke arah Alan yang berdiri menyandar di tembok sambil bersedekap. Pandangannya masih datar seperti biasa.

"Lili, kau harus makan, apa kau tidak ingin segera sembuh?" Genta kembali memfokuskan perhatiannya terhadap Lili, ia mengusap puncak kepala Lili sayang. Lagi-lagi Lili hanya diam tidak merespon.

"Baiklah aku akan menurut, tapi setelah itu panggilkan pengacaraku" Lili menatap Genta mantap, tekadnya sudah bulat.

"Pengacara? Kau membutuhkan dokter untuk sembuh. Bukan pengacara"

"Aku ingin mengurus surat perceraianku"

DEG!

Alan dan Genta tersentak mendengar kalimat terakhir Lili.

"Perihal perusahaan papa, Biar pengacaraku yang-"

"TIDAK AKAN!" Alan memotong perkataan Lili tegas. Iris kelamnya menatap tajam ke arah Lili masih dengan posisi menyandar sambil bersedekap tangan.

Oh, pria ini baru bersuara setelah Lili menyinggung perihal perusahaan, ternyata ia takut kehilangan salah satu asetnya, pikir Lili.

Lili sama sekali tidak gentar. Ia yang biasanya selalu memalingkan wajah atau menundukkan kepala tidak lagi melakukannya. Lili menatap balik Alan dengan sama dinginnya. Ia menentang Alan.

Lili harus kuat. Ia harus kuat melawan dominasi Alan yang selalu membuatnya menciut selama ini.

Tok.. tok.. CKLEK

Pembicaraan mereka terinterupsi oleh suara ketukan pintu, Tak lama kemudian pintu ruangan Lili terbuka. Dela dan Abi muncul dari baliknya.

Perhatian merekapun beralih pada Abi yang membawa sebucket bunga di tangannya.

Dela sempat terkejut melihat isi ruangan, selanjutnya ia hanya tersenyum kaku menyadari suasana tegang yang tercipta di ruangan itu, sepertinya ia datang di waktu yang salah. Apalagi setelah melihat wajah Alan yang mengetat kaku serta sorot mata tajam yang mengerikan. Jujur saja, ia salut dengan Lili yang mampu bertahan dengan pria seperti itu.

Harus Dela akui, ia sangat marah dan mungkin saja membenci Alan yang sudah membuat sahabatnya itu menderita. Namun apalah yang bisa ia lakukan jika Lili masih bersikeras menempatkan Alan di posisi terbaik di hatinya.

Abi memandang Genta yang duduk di pinggir ranjang Lili dengan sorot mata yang sulit diartikan. Kemudian ia langsung mendekat ke arah Lili dan memberikan bunga yang di pegangnya. Kehadiran Abi membuat Genta bergeser menjauh dari mereka.

"Untukmu, mereka indah sepertimu" Abi memberikan rangkaian bunga Lily putih favoritnya yang cantik dan indah. Sesuai dengan nama si empunya kamar yang sedang duduk di atas ranjang itu.

"Terima kasih kak Abi" Lili tersenyum tulus. Lili tidak mau lagi menutup hatinya, ia akan mencoba membuka hati untuk orang lain, termasuk Abi. Lili telah memutuskan.

Tanpa mereka sadari tangan Alan mengepal. Rahangnya mengetat melihat adegan itu. Abi telah sukses memperburuk suasana hati Alan setelah mendengar keputusan sepihak Lili tadi. Genta semakin menjauh dari mereka dan ikut mencoba tersenyum meski sulit. Ia tahu persis apa yang tengah dirasakan Alan saat ini.

Abi menggenggam tangan Lili. Ia sama sekali tidak peduli dan tidak menyadari tatapan orang-orang di sekitarnya selain Lili. Lagipula ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di ruangan itu.

"Kenapa ini bisa terjadi?" Tangan kirinya mengelus puncak kepala Lili. Ada kekhawatiran namun juga ada rindu yang berpendar dari sorotnya.

"Lili udah baikan kok kak. kakak gak perlu khawatir" Lili kembali menarik sudut bibirnya membentuk senyum menawan di wajah pucatnya.

Dela yang sudah ketar-ketir sendiri lebih memilih untuk mengupas buah yang dibawanya tadi, matanya masih serius menyimak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Abi hanya menghela napas membalasnya. Abi mengelus surai panjang Lili lembut, namun kemudian ia teringat sesuatu.

"Apa... apa dia pacarmu?" tanya Abi hati-hati. Ia melirik ke arah Genta sejenak, ia sadar ini bukan saatnya menanyakan hal semacam itu, tetapi dia sudah terlanjur penasaran sehingga pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirnya. Sementara Genta yang dimaksud hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Hanya ada dua pria yang Abi temui saat memasuki ruangan itu. Yang satu tampak hangat dan dekat dengan Lili dan yang satu lagi memiliki aura yang sangat dingin, semua orang pasti akan berpikir Gentalah yang memiliki hubungan spesial dengan Lili, bukan pria arogan yang sedang bersandar di tembok itu.

Bukan salah Abi berpikir seperti itu. Genta hanya bengong dan Speechless ketika akhirnya Lili angkat bicara.

"Kak Abi salah pah-"

"Apa kau buta? Tentu saja bukan!" Alan memotong perkataan Lili yang belum selesai. Abi mengernyitkan dahi. Ternyata pria itu bisa bicara juga, Padahal sedari tadi ia hanya diam seperti patung.

Alan berjalan ke arah ranjang Lili. Ia tak peduli meskipun Lili membuang muka melihatnya mendekat.

"Siapa kau?" tanya Abi yang tersinggung dengan nada bicara Alan. Sementara Genta memilih mundur dari medan perang dan bergabung dengan Dela. Mereka berdua seperti dua kambing cengo yang tak tahu harus berbuat apa.

"Aku tahu siapa kau. Tapi kau tidak tahu siapa aku. Perkenalkan.." Alan mengangkat tangannya ke arah Abi. Mau tidak mau Abi menjabat tangan Alan dengan kikuk.

"Alan, suami Lili"

***