"Aku tahu siapa kau. Tapi kau tidak tahu siapa aku. Perkenalkan.." Alan mengangkat tangannya ke arah Abi. Mau tidak mau Abi menjabat tangan Alan dengan kikuk.
"Alan, Suami Lili" ujarnya penuh penekanan. Tangannya mencengkeram tangan Abi kuat. Abi terbelalak dan sangat terkejut. Spontan ia menoleh ke arah Lili tidak percaya seolah ingin mendapat kejelasan dari yang bersangkutan.
Dela dan Genta terkesiap. Mereka hanya bisa pasrah menjadi penonton tanpa bisa berbuat apapun. Tangan Dela bahkan nyaris teriris pisau karena matanya yang terlalu sibuk memperhatikan adegan selanjutnya.
"Apa itu benar? Lili?" Abi memandang Lili yang masih tak acuh di depan Alan.
"Itu benar" jawab Lili membuat Abi menatapnya tak percaya. Ia masih shock dengan apa yang ia dengar saaat itu.
Alan menyeringai penuh kemenangan.
"Tapi kami akan segera bercerai" lanjut Lili membuat senyum Alan memudar, ia mendelik tajam, sementara Abi hanya terdiam mencerna tiap kata dan situasi yang sedang terjadi, mendadak otaknya lamban dalam berpikir. Ia tak pernah menyangka bahwa selama ini ia telah gencar mendekati istri orang lain.
"Bercerai?" Abi menggumam pelan, ia kembali berpikir, Apakah Lili tidak bahagia dengan pria pilihannya ini? Jika memang iya, Abi jelas akan memperjuangkan Lili sepenuhnya. Lili terlalu berharga untuk disakiti oleh siapapun.
"Itu tidak akan pernah terjadi" Alan kembali menekan kata-katanya.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu. berdua" Alan mencoba mendekat dan menggenggam tangan Lili seperti yang Abi lakukan tadi.
"Lepaskan! Keluar kau dari sini!!" Lili berteriak histeris seraya menepis tangan Alan. Lili tampak benar-benar enggan disentuh oleh suaminya sendiri. Alan hanya menatap sendu tangannya yang ditepis.
Alan menoleh ke arah Genta seolah memerintahkan sesuatu. Genta mengangguk mengerti dan mengajak Dela serta Abi keluar dari ruangan itu.
"Aku tidak mau meninggalkan Lili sekarang!" Abi bersikeras tak ingin menuruti keinginan Alan. Alan tidak memusingkan keberadaan Abi, ia masih beradu pandang dengan Lili. Perang argumen sedang terjadi disana.
Dela mendekati Abi dan berusaha membujuknya.
"Ayolah kak, mereka harus menyelesaikan masalah mereka terlebih dahulu. Ini bahkan bukan sesuatu yang bisa kita campuri." Dela berusaha menarik tangan Abi. Abi masih tidak bergeming. Kali ini Genta yang mendekatinya.
"Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan mereka, tapi kau benar-benar harus keluar. Ini pembicaraan yang sangat penting bagi mereka. Bukankah Lili sangat berharga bagimu?." bujuk Genta.
Abi menghela napas gusar, masih enggan beranjak dari tempat.
"Ayolah kak, kali ini saja. Setelah itu terserah kak Abi" Abi menghela napas panjang. Ia memandang Lili dan Alan bergantian.
"Hanya kali ini saja" jawabnya yang kemudian berjalan ke arah pintu diikuti oleh Dela.
Genta menepuk bahu Alan sejenak berharap dapat menguatkan sahabat sekaligus bosnya itu lalu keluar dan menutup pintu rapat.
***
"Tidak ada yang perlu di bahas lagi. semua sudah jelas" Lili terlihat sangat membenci Alan. Andai fisiknya memungkinkan, ia pasti sudah pergi meninggalkan Alan saat ini.
Alan memperhatikan tiap jengkal luka serta kulit pucat Lili yang membuat hatinya mencelos. Ada pancaran kesedihan dan rasa takut tercermin di sorotnya. Alan sama sekali tidak mendengarkan Lili yang menolak Alan untuk lebih mendekat padanya.
"Ap-apa yang-" Lili akhirnya terdiam ketika Alan mengusap pipinya dengan punggung tangan Alan. Ia sempat memejamkan mata namun sekelebat ingatan tentang malam itu membuatnya memundurkan wajah dan membuang tangan Alan menjauh.
"Kenapa kau berwajah seperti itu hah! Kenapa kau berwajah seolah kau peduli padaku!? Bukankah tidak masalah bagimu kalau aku seperti ini? Yang terpenting wanitamu itu tidak apa-apa kan! kau seharusnya bersikap seolah kau tak mengenalku seperti katamu di club malam itu!"
Lili meneriaki Alan, perasaannya kalut dan amarah sudah menyesaki dadanya. Lili membuang muka tak ingin melihat Alan. Bukan karena ia takut, tetapi tiap kali ia melihat Alan maka ia akan kembali teringat akan adegan menjijikkan itu. Hal itu membuatnya berpikir, bukan tidak mungkin Alan sudah meniduri banyak wanita melihat ia yang begitu dipuja banyak kalangan.
"Kau tidak tahu betapa tersiksanya aku saat ini" Alan menatap Lili lekat seolah menembus hati dan pikiran Lili.
"Apa maksudmu? Orang yang selalu melukai tak pantas berkata seolah menjadi yang tertindas disini" Lili menggeram marah. ia tersenyum miring.
Alan menunduk. Membutuhkan waktu lama untuk dia bisa mengutarakan hal ini sejak dulu. Alan menghembuskan napas panjang.
"Lili, ijinkan aku menyapaikan sesuatu" Alan duduk di pinggir ranjang Lili. Posisinya semakin mendekat ke arah Lili.
"Apa-apaan. Pergi kau pria brengsek! Sampah! Aku tidak membutuhkanmu!" Lili berusaha mengelak saat Alan tiba-tiba merengkuhnya, ia mencoba menenangkan Llili dengan pelukan erat. Lili bahkan memukul-mukul kuat dada Alan agar menjauh darinya. Tapi apalah kekuatan Lili di hadapan Alan. Tentu saja bukan perkara besar. Alan malah mengeratkan pelukannya membungkus tubuh mungil Lili.
"Pergi!... hikss pergi...." tangisnya pecah di tengah ketidak berdayaannya melawan kuasa Alan. Topeng sok kuatnya runtuh oleh rengkuhan yang menggetarkan hatinya, Sentuhan yang meluapkan berjuta rasa rindu di masa lalu, meluluh lantakkan pertahanannya.
"Aku membencimu.. pergilah kau dari hidupku.." tuturnya lirih. Ia sudah kehabisan tenaga untuk melawan kekuatan Alan yang memeluknya. Lilipun tersadar Alan masih mengenakan kemeja putih kemarin dan tampak berantakan tak seperti biasanya. Apa Alan tidak pulang? Lili cepat-cepat menepis pikiran itu.
Lama mereka dalam posisi itu. Alan membiarkan Lili meluapkan semua emosinya yang terpendam. Lili memukulinya, lalu menangis lagi, mengumpat dan menghujaninya dengan sumpah serapah dan kembali menangis. Sesekali Lili terasa ingin membalas pelukannya, namun juga tak jarang Lili serasa ingin membuangnya jauh-jauh. Terus begitu sampai akhirnya Lili mulai tenang dan Alan mengurai pelukannya.
"Kau membunuh orang tuaku" ujarnya di sela tangisnya.
"Ya, memang akulah yang menyebabkan orang tuamu meninggal" tutur Alan pelan dan nyaris tidak terdengar.
"Kau.. pembunuh" Suara Lili terdengar sangat lemah, ia lemas dengan pengakuan Alan barusan.
"Aku ingin kau mendengar penjelasanku, Semuanya" Alan berusaha menahan segala gejolak emosi yang berdesakan keluar.
***