"Aku menemukannya" Genta menatap Alan penuh arti. ia menemui Alan di tempat ia pernah dihajar oleh bosnya ini. Ya, ruang kerja Alan.
Alan terhenti sejenak dari aktivitasnya. satu kalimat yang terlontar itu mampu membuyarkan konsentrasinya.
Alan menglihkan pandangannya dari laptopnya ke wajah Genta yang masih tampak memar di beberapa tempat.
"Dimana" tanya Alan singkat.
"Sebuah rumah kecil, pinggir kota. milik wanita bernama Maryam" sambungnya.
Alan menyeringai.
Dari banyak tempat, Lili memilih rumah itu. rumah bersama orang-orang yang mampu membawa hatinya kembali ke masa lalu. Lili yang dia kenal tak pernah berubah. masih belum bisa melupakan masa lalu, masih belum bisa bangkit dari khayalnya sendiri.
"Sampai kapan dia bertahan disana dan tidak kembali padaku? gadis itu masih belum paham juga siapa aku" Alan tersenyum keji.
"Amati pergerakannya, tidak perlu membawanya padaku, biar dia sendiri yang merangkak meminta ampun dariku, biar dia yang mengemis meminta belas kasihku" Alan tidak main-main kali ini, tidak, Alan memang tidak pernah main-main dengan perkataannya. ia adalah pria yang selalu menepati kata-katanya.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Genta menunggu instruksi selanjutnya dari Alan.
"Cari tahu apa saja yang dia coba lakukan, siapa saja yang dia temui, dia pasti sedang mencari pekerjaan untuk membantu wanita pemilik rumah itu. gagalkan semuanya, buat hidupnya sesulit mungkin tanpaku" titah Alan pada Genta. Genta sempat tertegun dengan perintah Alan barusan, bagaimana bisa Alan begitu kejam pada istrinya sendiri? dan lagi, Alan pasti sudah sangat mengenal Lili hingga ia bahkan sampai tahu apa yang sedang Lili coba lakukan, intuisi pria ini memang tidak bisa diremehkan begitu saja. tetapi bagaimana bisa di saat yang sama Alan berbuat kejam pada orang yang sangat dekat padanya.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Genta yang akhirnya mengungkapkan isi kepalanya.
"Maksudku, bagaimana kau bisa tahu betul apa yang sedang Lili coba lakukan?" sambungnya.
"Lili sejak dulu adalah gadis yang selalu ingin membantu orang-orang disekitarnya. dia selalu begitu, tidak pernah berubah. tetapi itu yang membuatnya lemah. cinta yang membuatnya lemah, dan orang yang lemah bisa diserang dari sisi manapun"
tatapan Alan sangat dingin ketika mengucapkan kata-kata itu, sorot mata kelamnya membuat Genta meremang, namun disaat yang sama ada kekosongan yang sangat ketara terpancar dari sana, sangat tersirat tidak tersurat, sudut kosong yang tidak pernah tersentuh oleh cinta. kekosongan hati yang tidak pernah terisi oleh siapapun.
Genta tidak bisa serta merta menyalahkan Alan. Alan terbiasa hidup dengan dunia yang kejam. sejak kecil hingga ia dewasa dan memimpin perusahaan besar ini, Alan sudah melewati berbagai macam tragedi yang menyedihkan. menyingkirkan lawan-lawannya bukanlah hal yang sulit bagi Alan. ketimbang langsung membunuh musuhnya, Alan adalah tipe orang yang akan membuat musuhnya menderita hingga merasa menyesal telah dilahirkan ke dunia. akan terlalu mudah membunuh seseorang dengan semua kakuasaanya, tetapi melihat musuhnya menderita dan menjadi gila adalah hiburan tersendiri untuknya. begitulah Alan. kejam dan liar.
***
Sepulang kuliah Lili melanjutkan langkah kakinya menuju ke arah pertokoan di pinggiran kota, tidak terlalu jauh dari rumah Bi Iyam. ia mendatangi sebuah toko roti yang sederhana.
"wanginya..." gumamnya pelan. semerbak aroma bake roti menguar memenuhi rongga dadanya, membuat perutnya terasa lapar. pantas saja, dia belum sempat makan siang dari tadi karna langsung mengunjungi tempat yang sudah ditandai di koran lusuh beberapa waktu malam.
"Permisi.." tuturnya sopan. ia menemui seorang wanita yang sedang berjaga dikasir. menurut informasi di koran, toko ini adalah toko roti milik sebuah keluarga. desain toko ini sangat seserhana dan lumayan ramai.
"Iya, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu memperhatikan Lili.
"anu saya melihat iklan lowongan kerja di koran, apa lowongan itu masih ada?" tanya Lili sopan penuh harap.
"Wah maaf mbak, lowongannya sudah terisi kemarin sore. sudah tidak ada posisi kosong lagi di toko ini" jawab wanita itu meminta maaf.
Lili menghela napas kecewa, ini sudah tempat kelima yang ia datangi hari ini.
"ya sudah, makasih mbak" jawabnya lemas, ia sudah lapar, ongkosnya menipis dan belum menghasilkan apa-apa sampai detik ini. dua tempat sebelumnya akan mengabari hasil interview kerja nya nanti malam atau besok. hanya tinggal itu harapannya. tak apa hanya menjadi penjaga toko minimarket, kasir ataupun pelayan di suatu rumah makan. yang penting halal, yang terpenting adalah menghasilkan uang untuk membantunya dan keluarga Bi Iyam.
semua list tempat target nya sudah ia datangi, hari mulai malam dan rasa lapar juga sudah semakin menyiksanya, Lili memutuskan untuk pulang sebelum Bi Iyam cemas memikirkannya.
Lili memutuskan naik angkot selama dua puluh menit, entah apa yang di sentuhnya di angkot itu, ia tidak begitu sadar karena rasa kantuk sempat membuatnya tertidur sejenak. ia turun dari angkot dan terus bertanya-tanya, apa yang membuat lengannya berdarah?
awalnya rasa sakit itu tidak begitu terasa, namun lama-kelamaan terasa perih. ia terkejut melihat bercak darah di kaosnya, darah itu berasal dari lengannya yang tersayat. ia keheranan sambil memasuki rumah.
"Astaga, apa yang terjadi padamu?" tanya Bi Iyam yang memergoki Lili sedang mengobati lengannya di dapur.
Lili hanya meringis menjawabnya, ia bingung.
"Tidak tahu Bi, seperti nya tergores sesuatu" jawabnya enteng sambil membersihkan lukanya. mencoba membuat Bi iyam tidak Khawatir.
"Biar Bibi lihat" Bi Iyam duduk di sebelah Lili, ia menggulung lengan baju Lili lebih naik ke atas dari sebelumnya.
"Aduhh" ujar Lili spontan ketika Bi Iyam tidak sengaja menekan lukanya terlalu keras.
"Dimana kau mendapat luka seperti ini?"
"hmmmm" Lili mencoba mengingat-ngingat, mungkin perut kosongnya membuat otaknya pun sulit bekerja dengan semestinya.
"Kurasa di angkot" Lili tidak bisa memikirkan tempat lain, karena seingatnya tidak ada hal aneh yang terjadi padanya sebelum perjalan pulang naik angkot itu.
"ini bukan luka gores biasa, seseorang mencoba melukaimu dengan sengaja, tidak ada benda di angkot yang bisa membuatmu terluka sedalam ini, pasti salah satu penumpangnya yang melakukan itu" Bi Iyam menatap Lili penuh arti. ia yakin benar dangan dugaannya tersebut. entah siapa yang melakukan ini ia benar-benar tidak paham. apa ini ada kaitannya dengan kaburnya Lili dari rumahnya? Bi Iyam berpikir keras dalam hati.
Lili yang mendengar hal itu hanya menunduk, ia tidak tahu apa saja yang bisa dilakukan Alan dengan orang-orang suruhannya. Alan adalah tipe orang yang bisa melakukan apa saja dengan kuasanya, mungkin saja Alan sudah tahu keberadaannya sekarang. malah aneh kalau Alan yang seperti itu masih belum juga menemukannya. pria itu pasti sengaja membuat Lili menyesal sekarang, tidak. Lili tidak akan semudah itu menyerah pada kuasa Alan.
Tak apa kalau hanya dirinya saja yang terluka, asal jangan Bi Iyam, asal jangan Dela, asal jangan orang-orang terkasihinya. Lili bertekad melindungi orang-orang terdekatnya dari kekejaman suaminya itu.
***
"Bagaimana perkembangannya?" Alan masih menggunakan handuk dan shirtless ketika menjawab panggilan telepon yang masuk ke ponselnya. butir-butir air sesekali turun dari rambut dan singgah di perut kotak-kotaknya. tubuhnya sangat atletis, wajahnya tampan bak pahatan dewa yunani, wanita manapun akan menahan napas melihatnya, pantas saja banyak wanita yang rela melemparkan diri pada Alan dan tunduk di bawah kuasanya.
"Sesuai perintahmu" jawab Genta di seberang telepon. Senyum jahat kembali terukir di wajah tampan itu. ia benar-benar tampak seperti pangeran iblis dari penjaga neraka.
"Lanjutkan"
***
To Be Continued