"Maafkan aku Del, pikiranku benar-benar sedang kacau. Maafkan aku meninggalkanmu disana" Lili menundukkan wajahnya. Ia menyesal terlalu larut dalam perasaannya dan mengabaikan Dela.
Mereka sedang berada di kantin kampus dan tengah terlibat dalam pembicaraan serius.
"Kau tahu, aku mencemaskanmu. Aku tidak bisa menghubungimu sama sekali" ada raut kesal dan cemas di wajah Dela. Ia tidak menceritakan nasibnya selama mencari Lili di club malam itu, ia tidak ingin menambah pikiran dan rasa bersalah Lili, sudah cukup beban dan rasa sakit hati yang Lili tanggung sekarang.
"Maafkan aku" lirihnya pelan. Pandangannya kosong menatap cangkir teh panas yang masih mengepul di hadapannya.
Dela menghela napas berat. "Jadi dimana kau tinggal sekarang?"
"Aku tinggal di rumah Bi Iyam"
"Rumah Bi Iyam? Sampai kapan? Pindahlah ke rumahku." Ujar Dela mantap. Ia tahu betul Bi Iyam bukan orang yang bisa hidup dengan santai, ia juga tengah dilanda permasalahan ekonomi. Keseharian Bi Iyam hanyalah penjual kue keliling. Ia sudah lama hidup tanpa ditemani suaminya yang sudah lama meninggal. Ia hanya hidup bersama seorang putra yang juga sedang bekerja keras untuk membiayai kuliahnya yang tidak sedikit.
"Entahlah Del, aku sedang berusaha menangkan diriku disana. Jauh dari segala sesuatu tentang kak Alan"
"Bagaimana kalau kak Alan mencarimu?"
"Aku tidak ingin pulang. Aku tidak ingin kembali padanya"
"Kembali pada siapa?" ujar seorang pria yang muncul di hadapan mereka.
Suara itu membuat Lili dan Dela menoleh ke sumber suara
"Kak Abi" lirih Lili pelan. Abi duduk di sebelah Lili. Ia menatap Lili penasaran.
"Kau tidak ingin kembali pada siapa?" tanyanya lagi.
"Ahh, itu.. tidak. Bukan apa-apa kak" gagapnya.
Abi terdiam menanggapi jawaban Lili, ia menoleh kearah Dela mencoba mencari pembenaran atas jawaban Lili barusan. Dela hanya mengalihkan pandangan dan pura-pura asik mengaduk jus alpukatnya dengan sedotan, tak ingin dilibatkan urusan dua orang ini.
Abi hanya menghela napas dan terdiam sesaat karena suasana berubah menjadi canggung.
"Sebenarnya ada yang ingin kukatakan padamu" ujarnya serius. Lili dan Dela saling pandang, mencoba menerka apa yang kak Abi coba katakan. Dela mengangkat bahu menjawab pertanyaan sama yang ada di benak Lili.
"Minggu depan aku mengadakan festival seni dan olahraga tingkat kota, Lili, aku ingin kau mewakili fakultas kita mengikuti lomba nyanyi disana" ia menatap Lili mantap, matanya berbinar-binar. Terlihat jelas ia mengharapkan sesuatu yang besar dari Lili.
"Maaf kak sepertinya aku tidak bisa" jawabnya cepat.
"Tapi kenapa?" kali ini Dela yang melemparkan pertanyaan.
Lili memelototi Dela. Sepertinya gadis ini belum paham juga situasi yang dialami Lili, ia sedang ingin menjauh dari keramaian, menjauh dari segala sesuatu tentang kak Abi.
"Kenapa tidak bisa? Aku masih ingat suaramu saat upacara penerimaan mahasiswa baru waktu itu. Indah sekali. Kau bisa memenangkan ini" Abi benar-benar ingin melihat Lili berada di panggung lagi. Ia tak pernah bosan mendengar lantunan merdu dari gadis tercintanya ini. Sebuah keindahan yang tidak bisa ia tangkap dengan jemari, hanya bisa ia nikmati lekat-lekat dihati.
"Tapi kak, aku belum pernah mengikuti lomba, aku hanya menyanyi di sela waktu dan kegiatan organisasi kampus saja, kurasa ada yang lebih pantas mengikuti lomba itu."
tolaknya halus, mencoba memberi pengertian pada Abi yang masih bersemangat.
"tidak apa-apa, aku akan memandumu di studio kampus. Aku yakin dengan bakatmu itu, tidak bisa kah kau pikirkan sekali lagi?"
Lili kembali menatap Dela, mencoba mencari sekutu atas pernyataannya, lagi-lagi Dela hanya mengalihkan pandangannya mencoba lari dari tuntutan itu.
"Maaf sekali kak" jawab Lili akhirnya. Abi tampak kecewa, binar diwajahnya memudar, tidak seceria tadi.
"Haaahhh" Abi menghela napas berat.
"Baiklah, aku tidak akan memaksamu, tapi kau bisa menghubungiku jika kau berubah pikiran. Kau tidak akan sendirian, juga ada dua orang yang akan mewakili fakultas kita" tambahnya.
Lili mengangguk.
Tak lama kemudian Abi pamit karena ada urusan lain, maklum. Abi adalah mahasiswa berprestasi yang aktif dalam kegiatan kampus, wajar saja jika dia selalu tampak terburu-buru, entah sejak kapan dia mulai terbiasa dengan gaya berjalannya yang cepat seperti itu.
"Kenapa kau tidak menerimanya saja?" tanya Dela akhirnya. tak lama setelah Abi berlalu meninggalkan mereka berdua.
"Aku tidak percaya diri dengan kemampuanku Del,"
"Tapi kau bisa, aku juga setuju dengan perkataan kak Abi tadi."
"Ada hal lain yang aku pikirkan, kalau aku menerimanya pasti aku akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan kak Abi, aku tidak tahu itu adalah hal baik atau tidak"
"Iya tapi kau juga harus memikirkan benefitnya, bukankah dengan memenangkan lomba itu kau bisa membantu perekonomian Bi Iyam? Kan hadianya cukup besar." Lili termenung. Sedikit banyak ia mempertimbangkan perkataan Dela barusan.
"Dan jika aku gagal?" lanjutnya
"Anggap saja waktu yang kau habiskan dengan kak Abi adalah waktu untuk menghibur hatimu dan move on dari kejadian di club malam waktu itu. Kau juga butuh obat atas rasa sakit hatimu"
Lili terdiam ia tidak membenarkan perkataan Dela barusan, tetapi ia juga tidak menyalahkan pernyataan barusan. Ia sadar betul ia sedang menghadapi hati yang sedang berharap padanya. Lubuk hatinya berteriak. Menggunakan hati untuk menyembuhkan hati yang lain bukanlah hal yang bijak. Ia sadar betul memberi harapan kosong pada hati yang mendamba adalah hal yang menyakitkan. Ia sudah tahu rasanya dikecewakan, seharusnya ia juga lebih tahu caranya menghargai pengorbanan seseorang.
"Aku tidak tahu, biarkan aku memikirkannya lagi" lirihnya.
***
"permisi pak, ini dokumen yang harus ditanda tangani" seorang wanita masuk keruangan kerja Alan dengan takut-takut. Ia melihat ada bercak darah di lantai. Genta sedang terduduk di sudut ruangan dengan wajah yang babak belur.
Alan hanya melirik wanita itu tajam tanpa memberi jawaban.
"Saya letakkan di meja" ujar wanita itu dan buru-buru meninggalkan ruangan kerja Alan. Ia meremang mendapatkan tatapan tajam dan membunuh seperti itu. Itu adalah tatapan tajam yang membuat lawan-lawan bisnisnya meringkuk ketakutan.
"Kau tidak becus" suara bernada rendah itu bagaikan godaan iblis penjaga neraka yang memanggil-manggil meminta tebusan nyawa.
Genta hanya terdiam, ini bukan kali pertama ia melihat Alan mengamuk. Ia sudah babak belur dihajar habis-habisan oleh bosnya itu. Ia bahkan harus bersyukur Alan tidak berniat membunuhnya. Karena suatu alasan Alan tampak begitu frustasi akan sesuatu. Kilatan amarah terpancar dari sorot matanya. Rahangnya mengetat mempertegas kalimatnya.
"Aku tidak menemukannya dimanapun. Aku sudah mencarinya kemana-mana, bahkan di kampus. Tetapi sepertinya istrimu itu tidak memiliki banyak teman" lirihnya pelan seraya meraba sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.
"Aku tidak membayarmu hanya untuk bersantai. Keluar dan cari dia" titahnya mutlak, tidak dapat dibantah sedikitpun.
Tak hanya Genta saja yang terlihat kacau, ternyata Alan pun tak jauh berbeda. Ada kantung hitam di bawah matanya. Jambangnya terlihat tumbuh dan belum dicukur rapi. Ia seperti orang yang kehilangan ketenangannya. Ia bahkan terlihat lebih temperamen dari pada biasanya. Karyawannya tidak ada yang berani bahkan hanya untuk menyapa bos mereka ini. Alan benar-benar sedang dalam kondisi yang buruk.
"Baiklah, aku keluar" Genta berjalan keluar ruang kerja Alan dengan terpincang-pincang.
tak ada jawaban apapun dari Alan.
"Arrgghhhh.. ini membuatku gila" Alan mendengus kesal, semua tampak salah dimatanya. Masih begitu segar di ingatannya pagi tadi, ia hanyalah seseorang yang terbangun dan mendapati dirinya sedang memeluk kesepian begitu eratnya. Mungkin ia tak pernah tahu, kehilangan selalu menjadi ketakutan tersendiri, sebab itu jangan mudah terlalu merasa memiliki karena kehilangan bukanlah hal yang mudah dilalui.