"aku sudah memperhatikanmu sejak lama. Semakin hari kamu semakin membuatku jatuh hati. Kamu mungkin belum bisa mencintaiku. Tapi maukah kamu memberiku sebuah kesempatan?"
"kakak tahu bagaimana perasaanku. Kenapa kakak masih mau menjadikanku tunangan kak Abi?"
"aku ingin membuktikan keseriusanku padamu, aku ingin kamu memberiku kesempatan untuk bisa membahagiakanmu"
Perlahan aku menarik kedua tanganku dari genggaman kak Abi, Aku menatapnya dengan penuh sesal. Kak Abi benar-benar seorang pria yang baik. Aku tidak mau pria sebaik dia terus-terusan menggantung harapannya padaku. Menggantungkan harapan pada seseorang yang tidak bisa memberinya apa-apa. Sejak awal aku bertemu dengannya hatiku sudah ditawan oleh pria lain. Pria yang seharusnya memperlalukanku dengain baik sebagai istrinya.
beban di pundakku terasa semakin berat saja, ingin rasanya aku berteriak. Tuhan, kenapa tidak dengan kak Abi saja aku menitipkan hatiku? kenapa harus kak Alan yang menguasai jiwa dan ragaku? kenapa tidak Kau pertemukan aku dengan kak Abi lebih cepat sebelum pernikahan konyol kami terjadi?. ah, tidak. aku tidak bisa begini. aku tidak boleh terus-terusan menyalahkan takdir. aku harus bisa bangkit dan menyelesaikan masalahku sendiri.
"Maaf, aku tidak bisa kak" jawabku singkat. Aku tidak berani menatap matanya yang terluka. Aku selalu tidak tega melukai perasaan orang lain. aku tahu benar bagaimana rasanya jatuh cinta sendirian.
"Tapi kenapa? Apa kamu memiliki pilihan hatimu sendiri?" selidiknya.
aku hanya diam tak menjawab. masih bingung memilih kata-kata yang tepat untuknya.
"Atau kamu sudah menjadi milik orang lain?"
aku masih diam tak bergeming.
"Kakak terlambat ya?" kak Abi meluncurkan pertanyaan bertubi-tubi yang membuatku semakin pusing.
"Dua-duanya kak. Meskipun...." aku menggantung kalimatku. Aku memang sudah menjadi milik orang lain. Tapi apakah itu sepenuhnya benar? apakah kak Alan adalah pilihan hatiku sejak awal? Maksudku aku memang sudah lama begitu mencintainya. Tapi pernikahan kami? Bukankah pernikahan kami terjadi bukan atas dasar cinta? Aku tidak tahu lagi mana yang benar dan apa yang harus kukatakan. Andai saja aku lebih dulu bertemu dengan kak Abi dan jatuh cinta padanya, aku pasti akan sangat bahagia sekarang. Aku mulai berpikir, apa tidak apa-apa memberitahukan yang sebenarnya pada kak Abi?
"Meskipun?" Suara kak Abi membangunkan aku yang sempat terlarut dalam pikiranku. Aku kembali menatapnya lekat dan kembali fokus dengan jawabanku.
"Pokoknya aku benar-benar tidak bisa kak. Kak Abi adalah pria yang sangat kukagumi, aku yakin kak Abi mampu mendapatkan yang lebih baik dariku" aku berusaha keras untuk meyakinkannya. ia tampak tidak puas dengan jawabanku barusan.
"Tapi aku maunya kamu, bukan orang lain" kak Abi keukeh dengan pilihannya. Ia membuatku semakin sulit.
"kak Abi yang kukenal bukan seseorang yang egois seperti ini" perkataanku barusan sontak membuat matanya membola.
"Semuanya fair dalam peperangan dan cinta. Bukankah cinta memang egois?"
"aku tidak tahu..."
"Alasanmu tidak cukup kuat untuk membuatku menyerah Li" oh baiklah, hari ini aku melihat bagian lain dari sisi kak Abi yang sebenarnya. ternyata benar, cinta itu memang buta. butuh berapa lama untuk aku benar-benar memahaminya?
"Kak, tolong jangan sia-siakan waktumu untukku. Percayalah, aku benar-benar tidak bisa"
"Kalau begitu tatap mataku dan katakan kalau kamu tidak mencintaiku!!" kak Abi tiba-tiba menaikkan nada bicaranya. Aku berjengit kaget memandangnya tidak percaya. Aku terdiam tak berani berkata apapun yang bisa menyulut emosinya. Sulit dipercaya bahwa kak Abi kehilangan ketenangannya. setelah melihat reaksi keterkejutanku mungkin ia sadar dengan nada bicaranya yang terkesan memaksa. Ia langsung memijat pelan dahinya dan menurunkan nada bicaranya.
"Siapa dia?" Aku mengernyitkan dahi bingung dengan pertanyaan kak Abi.
"Siapa yang memiliki hatimu?" ulangnya lirih.
Aku menunduk memahami maksudnya, ingatan bersama kak Alan tiba-tiba berputar layaknya film hitam putih di benakku, membuatku limbung dalam kumparan kepedihan yang nyata.
"Jika aku menjadi dia yang memiliki hatimu, aku pasti tidak akan membuat wajahmu seperti itu. Aku akan salalu mengukir senyum bahagia di wajahmu" kak Abi mengusap pipiku lembut. gerakan jemarinya menyentuh ujung bibirku. Sontak aku langsung menjauhkan wajahku.
"Aku tahu, tapi sekali lagi maaf aku tidak bisa menerimanya. Aku harus pergi sekarang dan terimakasih sudah mau peduli padaku" aku melirik jam tangan dan segera mengambil tasku. Aku melangkahkan kakiku buru-buru meninggalkannya terdiam dengan wajah tertunduk penuh kecewa. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi ketika aku berlalu.
"maaf.. kak" gumamku pelan. aku melangkahkan kakiku setengah berlari ke luar kafe. aku melihat ke ujung jalan, ternyata kak Genta sudah menungguku disana. dengan cepat aku berlari kecil ke arah mobil kak Genta, ia melambai padaku.
***
"apa setiap pulang kuliah kau sering kemari?" tanya kak Genta memecah keheningan sebelum melajukan mobilnya. terlihat dari wajah kesalnya bahwa dia sudah menungguku lama.
"tidak" jawabku malas tanpa mengalihkan pandangan dari ponselku.
"kau menemui seseorang disana? siapa?" tanyanya kembali yang mulai membuatku kesal.
"Bukan urusanmu om" ketusku.
"Tentu saja urusanku"
apa katanya? memangnya dia siapa, aku bahkan baru bertemu dengannya tadi pagi dan sekarang dia sudah sibuk mengurusi urusanku.
"Kenapa? kau disuruh memata-mataiku juga ternyata?" tanyaku nyalang ke arahnya.
"Bukan urusanmu" oh oke, dia benar-benar menyebalkan sekarang.
"katakan pada bos besarmu itu aku tidak suka di mata-matai, dan katakan juga padanya aku tidak setuju kau menjadi supirku!"
"Kenapa harus aku yang mengatakannya, kenapa tidak kau saja yang mengatakannya sendiri, kau kan istrinya" dia menikkan alisnya menggodaku. ini kedua kalinya aku mendengar kalimat sialan itu hari ini. kenapa ada pria seperti ini yang muncul di kehidupanku?
"Terserah kau saja, aku sedang malas berdebat" jawabku akhirnya. aku kembali menyibukkan diri dengan ponselku. darimana kak Alan mengenal pria seperti ini? aku tahu kak Alan tidak sembarangan memperkerjakan seseorang, apalagi yang menyangkut masalah pribadinya. apa kak Genta ini termasuk orang kepercayaan kak Alan? kalau memang iya, harusnya dia tahu sedikit banyak tentang kak Alan yang tidak kuketahui. Aku harus bisa mengorek informasi lebih dari supirku ini.