From : Kak Abi
'Aku menunggumu di kafe depan kampus. Aku akan tetap disana sampai kamu datang'
Aku menutup ponselku setelah membaca pesan singkat dari kak Abi. Mata kuliah baru saja selesai ketika Dela berjalan ke arahku. ia melihatku dengan tatapan penuh tanda tanya. aku menghela napas berat. rasanya aku masih enggan meninggalkan kelas yang mulai sepi.
"dari siapa?" tanyanya duduk di depanku yang masih berpangku tangan dengan pandangan menerawang.
"kak Abi, aku akan menemuinya nanti sore" jawabku malas sambil mengetik pesan singkat untuk om Genta. Aku tidak ingin dia buru-buru menjemputku dan melihatku bersama kak Abi. Semua akan terasa lebih rumit nantinya, apalagi kalau dia sempat mengadukan hal ini pada kak Alan. Ah, aku benar-benar merasa seperti dimata-matai sekarang. Apa sebegitu tidak percayanya kak Alan padaku? Apa omongan rekan-rekan kerjanya lebih penting ketimbang perasaanku? Astaga, apa yang kupikirkan? Tentu saja dia akan lebih mementingkan reputasinya. aku mulai berharap lagi ternyata.
"Apa yang akan kau katakan padanya?" Dela menatapku cemas sambil sesekali memain-mainkan surai hitam panjangnya menghadapku. Aku menaikkan kedua bahuku malas. Aku memang tidak tahu apa yang akan ku katakan padanya. Aku hanya tidak ingin terus-terusan menghindar dari seniorku itu.
"entahlah, aku malas membahas hal itu, ada yang lebih penting untuk kita bahas"
"apa?"
"aku mau menjalankan rencana kita!" aku langsung menyimpan ponselku kembali kedalam tas. Mataku menatap Dela penuh harap.
"rencana?" Dela menaikkan sebelah alisnya.
"iya, rencana yang ku katakan padamu tempo hari" aku memutar kedua bola mataku mencoba mengingatkannya. dia pura-pura lupa rupanya.
"aku tidak bilang padamu bahwa aku setuju menginjakkan kakiku ke dalam club malam itu lagi! yang benar saja! Aku bahkan masih dibawah umur" Dela menatapku nyalang.
"tapi waktu itu kau tidak ragu untuk mengikuti Cassie masuk ke sana. Kenapa sekarang kau jadi ragu?" aku mengernyitkan dahi curiga. apa terjadi sesuatu padanya sampai dia tidak ingin kembali ke sana lagi?
"sudah kukatakan aku tidak mau bertemu dengan pria gila itu lagi. uugh, hanya mengingatnya saja sudah membuatku merinding!!"
"tapi hanya dia satu-satunya kesempatan kita untuk tau sesuatu tentang kak Alan!"
"sudah kubilang aku tidak mau! lebih baik cari cara lain selain menyuruhku kesana sendirian!" aku heran kenapa Dela benar-benar tidak mau menginjakkan kaki lagi disana. kurasa memang sesuatu terjadi padanya ketika mengikuti Cassie ke club itu.
"memangnya kenapa?"
"aku tidak suka tempat itu, apalagi pria sialan bernama Chris itu. eghh!"
"kukira kau benar-benar peduli padaku" jawabku lirih.
"ternyata tidak" sambungku pelan, kubuat seolah-olah aku patut dikasihani. biar saja, aku memang sedang sangat membutuhkan bantuannya.
"apa kau benar-benar tidak ada rencana lain??" Dela melayangkan pertanyaan yang membuatku terdiam cukup lama, kemudian aku menggeleng lemah sebagai jawaban.
"oke, pembicaraan kita selesai" Dela mengangkat bokongnya dari tempat duduk di hadapanku, dengan langkah mantap dia hendak meninggalkanku begitu saja.
"Ayolah Del, kumohon. Kau tahu kau adalah satu-satunya sahabatku" aku menahan tangannya, memaksanya menghentikan langkah. aku berdiri tepat dihadapannnya sambil menautkan kedua telapak tangan memohon.
"...." ia tidak merespon, lama Dela masih berdiam diri.
"please....." aku memejamkan mataku penuh harap.
Dela mendengus kesal melihatku.
"baiklah" satu kalimat itu mampu membuatku menghembuskan nafas lega.
"tapi ada syaratnya"
"Apa??"
"aku tidak mau sendiri, kau harus menemaniku ke club malam itu untuk menemui om Chris. Bagaimana?" Dela tersenyum lebar menampakkan gingsul manisnya.
"kau gila, kak Alan tidak akan mengijinkanku"
"apa kau bodoh? Tentu saja kau harus sedikit membohonginya. Jangan terlalu polos! Bagaimana? temani aku atau tidak sama sekali?" Dela menaikkan sebelah alisnya menantangku, aku masih mematung dihadapan Dela. yang benar saja, bagaimana caraku bisa pergi diam-diam dari rumah?
"lalu bagaimana dengan supir pribadiku?" tanyaku.
"Supir? Sejak kapan kau punya supir? Bukannya kau lebih senang dengan kebiasaan anehmu naik kendaraan umum itu?" Dela hapal sekali dengan kebiasaanku, kadang aku menolak tawarannya untuk mengantarkanku pulang. aku tidak enak jika harus selalu merepotkannya karena rumah kami tidak searah. entah kenapa kak Alan bahkan kedua orang tuaku melarangku menyetir mobil sendiri.
"sejak tadi pagi, kak Alan yang memerintahkannya. kurasa niatnya hanyalah untuk memata-mataiku" aku menghela napas lelah.
"ya sudah, kau menginap saja di rumahku. beres kan?" aku mendelik tajam menanggapi Dela yang selalu menggampangkan sesuatu. Akupun hanya bisa mengangguk pasrah. Aku harus menemukan sesuatu tentang kak Alan yang selama ini terasa mencurigakan. Aku butuh alasan yang kuat untuk terus bertahan atau bahkan memutuskan untuk menyerah.
***
Aku melangkahkan kakiku mantap memasuki sebuah kafe berdesain vintage yang terletak tak jauh dari kampus. kafe ini memang menjadi langganan anak-anak fakultasku karena memang jaraknya yang cukup dekat dan nyaman untuk sekedar nongkrong. aku dan Dela juga sering mengerjakan tugas di kafe ini. Cukup ditempuh dengan berjalan kaki sudah mampu membawaku kemari meski harus sedikit tersengat teriknya matahari, untung saja sekarang hari sudah mulai sore jadi aku tak perlu terpapar sinar matahari terlalu parah, kulitku memang sedikit sensitif terhadap sengatan matahari, karena itu aku tak pernah lupa membawa sunblok ukuran sedang di dalam tas kuliahku. Lokasi kafe yang cukup dekat dengan kampus ini membuat kafe selalu tampak ramai apalagi ketika sore hari jam pulang kampus.
Aku celingukan mencari sosok kak Abi yang sudah menungguku. Postur tubuhnya yang tinggi harusnya tidak sulit untuk ditemukan walaupun tak setinggi kak Alan, tunggu dulu, kenapa aku malah membanding-bandingkan kak Abi dengan Suami kejamku itu?
"lama ya kak?" aku menghampiri kak Abi yang duduk di pojok belakang kafe dan meletakkan tasku. Akupun duduk berhadapan dengannya. Ia hanya tersenyum manis menanggapi pertanyaanku. Kulirik cangkir kopinya yang sudah dingin dan hampir tandas. Sudah lama ternyata ia berada disini, akupun hanya bisa membalas dengan senyum canggung karena tidak enak terpaksa membuatnya menungguku.
"kamu udah makan? Kakak pesenin kamu makan dulu ya"
"eh.. nggak usah kak, Lili nggak laper kok" jawabku cepat
"tapi kamu terlihat kurus. apa pola makanmu dirumah tidak teratur?" aku hanya tersenyum getir. Aku bahkan tidak pernah memperhatikan pola makanku seperti apa. Dulu ibukulah yang selalu memperhatikan segala keseharianku, mulai dari pola makan, suplemen, olahraga, serta urusan kecantikanpun ibuku yang memperhatikanku. namun semenjak kedua orangtuaku tiada aku mulai jarang memperhatikan diriku sendiri. Entahlah, mungkin aku terlalu sibuk mencurahkan segala perhatianku pada kak Alan yang bahkan tidak menganggapku ada.
"maaf kak, Lili nggak bisa lama-lama disini. Lili ada janji sama Dela" aku menunduk tak ingin melihat wajahnya kecewa. Aku tidak berbohong, aku memang ada janji dengan Dela untuk menemui pria bernama Chris itu.
"baiklah" aku dapat melihat sinar matanya meredup. Aku benar-benar tidak tega membuatnya seperti ini. Aku tahu rasanya menunggu untuk sebuah kepastian. Tapi mau bagaimana lagi? memangnya apa yang bisa kulakukan? Aku hanya akan lebih melukainya lagi jika tidak segera memberinya kejelasan.
"apa yang ingin kak Abi katakan padaku?" sambungku to the point.
"kurasa kamu sudah tahu tentang ini, tapi aku tetap akan mengatakannya" kak Abi menggenggam kedua tanganku di atas meja dengan lembut. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Ini sudah terlalu jauh, aku harus cepat-cepat menyelesaikan ini sebelum ada yang melihat dan salah paham.
"aku mencintaimu Lili dan aku tidak ingin menjadikanmu pacar, aku ingin menjadikanmu sebagai tunanganku" aku dapat melihat kesungguhan di mata kak Abi. Sesekali ia mengelus tanganku penuh perasaan. Mendadak wajahku kaku. Aku terpekur tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawabnya.
"aku sudah memperhatikanmu sejak lama. Semakin hari kamu semakin membuatku jatuh hati. Kamu mungkin belum bisa mencintaiku. Tapi maukah kamu memberiku sebuah kesempatan?"