"a.. apa?" apa ini, kenapa aku mencicit tak berdaya di hadapannya. aku selalu lemah di bawah tekanan aura gelapnya itu.
Kak Alan tidak menjawab pertanyaanku dan malah melipat buku di pangkuannya dan berjalan ke arahku. Aku terpaku di tempat dengan wajah tegang. Aku mencoba mengalihkan pandanganku dari sorot mata tajamnya ketika ia mendekat ke arahku.
"ini" kak Alan mengambil tanganku dan sedikit menaikkan lengan cardiganku. Mataku terbelalak melihatnya. tanganku teriris benda tajam. Tapi sejak kapan? Kenapa aku tidak menyadarinya?
"apa ini?" kak Alan kembali bertanya. Aku tersadar dan menarik tanganku darinya.
"bukan apa-apa" jawabku dan memilih melanjutkan langkahku ke kamar mandi. aku tidak suka ketika dia mulai menanyaiku seperti ini, dia pasti akan memarahiku apapun penjelasanku. kalau diingat-ingat ini bukan pertama kalinya aku mendapat luka entah dari mana.
"aarrggh sakit!" aku meringis ketika dengan teganya kak Alan mencengkeram tanganku yang mendapat luka itu.
"lepaskan kak, sakit" aku memberi tatapan memohon padanya. Selalu begini setiap kali aku berusaha mengabaikannya.
"katakan atau aku sendiri yang akan menghancurkan tangan ini" sorot matanya tak pernah lagi membuatku terpesona akan keindahannya. Satu-satunya yang kurasakan saat aku melihatnya adalah rasa takut. Aku benar-benar merindukan saat dulu kak Alan begitu baik terhadapku. Aku merindukaan kak Alan yang dulu, kak Alan yang selalu membuatku nyaman tiap kali berada di dekatnya. Ya tuhan, kemana.. kemana aku harus mencari sosok kak Alan yang dulu. Tolong kembalikan dia padaku.
Rasa sakit di hatiku yang merindukannya membuat air mataku menetes. Ah, aku benci bagian diriku yang cengeng ini!
"a.. aku tidak tahu" suaraku terdengar tercekat. Kak Alan melepaskan cengkeraman tangannya padaku.
"apa kau tak bisa menjaga dirimu sendiri sampai luka begini kau tak tahu pelakunya?" aku sempat tercengang dengan pernyataan kak Alan barusan. Ia berucap seolah-olah tahu betul bahwa ini adalah ulah seseorang yang sengaja ingin mencelakaiku begitu saja.
"dimana kau mendapatkannya?"
"mungkin di.. di halte dekat kampus" aku menunduk takut-takut. Kak Alan menghela napas berat.
"sudah berapa kali ku katakan jangan naik kendaraan umum, aku lelah memiliki istri pembangkang dan bebal sepertimu. Kau ingin aku mematahkan kakimu?" ku lirik kak Alan memijat dahinya pelan. Aku menggeleng lemah. Aku meremang mendengar kata-kata dinginnya. Ya, yang lebih dingin dari es adalah bibirnya yang indah itu sebab selalu saja beku saat aku bertanya apa arti aku.
"cepat bersihkan dan obati lukamu sebelum aku makin kesal, setelah itu baru kau boleh mandi" aku mengangguk pelan seperti orang bisu. Aku tak ingin bersuara jika suara yang ku keluarkan hanya cicitan tak beradaya di hadapannya. Bahkan untuk sekedar mandi saja aku harus mengikuti perintahnya terlebih dahulu.
"ssshhh, aww" aku melenguh merasakan perih di tanganku, rupanya cukup dalam juga luka ini. Aku cukup heran kenapa bisa aku tak menyadarinya ketika mendapat luka ini. Tak lama aku mengobati lukaku, aku langsung bergegas kembali ke kamar ingin segera membersihkan tubuhku.
Sayub-sayub aku mendengar suara kak Alan yang sedang memarahi seseorang dari telepon di dalam kamar. Aku mencoba menguping pembicaraan mereka. Aku mendengar kak Alan memberikan beberapa perintah kepada anak buahnya untuk membereskan sesuatu. Tapi apa? Dari pembicaraannya terdengar serius sekali.
Aku memilih untuk memasuki kamar ingin tahu reaksi kak Alan. Kira-kira percakapan itu adalah sesuatu yang disembunyikan olehnya dariku atau tidak. Jika ia melanjutkan percakapannya dengan orang itu berarti itu hanya masalah kantor biasa, dan sebaliknya jika ia segera mengakhiri intruksinya tersebut berarti...
"baiklah, kau ingat semua yang ku katakan tadi. Jangan sampai gagal" kak Alan menekankan nada bicaranya pada seseorang di seberang telepon. Apakah kak Alan selalu begitu pada setiap orang? Selalu mengintimidasi orang-orang disekitarnya? Apa dia tidak merasa kesepian dengan sikapnya itu?
tak lama setelah aku masuk kak Alan lekas memutus sambungan telepon, Ia menatapku tajam.
"aku sudah membersihkan lukaku.." aku berucap lirih padanya. Sekarang aku yakin ada sesuatu yang selama ini disembunyikan olehnya.
"hmm" kak Alan bergumam menanggapiku dan kembali membaringkan tubuhnya di ranjang sementara aku memilih bergegas ke kamar mandi. Aku harus mencari tahu apa itu. aku harus tahu apa yang disembunyikan kak Alan.
***
"dari mana saja kemarin?" aku memicingkan mata saat Dela masuk tepat sebelum dosen kami melangkah memasuki ruangan.
"aku bertemu dengan orang gila di club malam" Dela membalasku dengan cengirannya.
"apa?? Apa yang kau lakukan di club malam? Aku tak tahu kau tipe gadis nakal!" aku berucap padanya setengah berbisik mengingat dosen kami sudah akan memulai kelasnya.
"ssstt aku mengikuti wanita penggoda kak Alan itu di club malam dan melihatnya bicara dengan seorang pria." Dela menampilkan wajah antusiasnya padaku. Ini adalah salah satu kelebihan seorang Dela. Jika ia sudah tertarik terhadap sesuatu maka ia akan sangat ahli mengumpulkan informasi.
"apa?? Lalu informasi apa lagi yang kau dapat?" aku berusaha sebisa mungkin untuk mengecilkan suaraku dan tidak menarik perhatian kelas.
"wanita itu bernama Cassie. Dulu dia adalah sekretaris kak Alan ketika belum mengelola perusahaan papamu. Tapi karna suatu alasan kak Alan memecatnya" aku masih terdiam dan sibuk mencerna tiap kata yang ia lontarkan. Sudah tak kupedulikan lagi dosenku di depan sana.
"apa mereka masih sering berhubungan?" aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya hal itu pada Dela. Aku sudah terlalu penasaran. Aku ingin menggali teka-teki yang ada pada suamiku itu. Benar kata Dela, aku harus lebih mengenalnya. Dan jikalau aku mulai berharap maka aku harus mengakrabkan diri dengan kekecewaan. Dua hal itu terpisah namun sebenarnya saling berdekatan
"hanya itu info yang aku peroleh dari orang gila disana" Dela mengerucutkan bibirnya kesal.
"orang gila?" aku mengernyit bingung
"aku menanyakan hal itu pada pria yang Cassie temui disana. Namanya om Chris. arrrghh, aku membenci om-om gila itu!" Dela menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"kau berani sekali memasuki sebuah club malam sendirian" aku berdecak kagum menanggapi Dela, aku terharu dengan pengorbanannya itu demi aku.
"iya, itu pertama kaliku memasuki sebuah club malam. Aku ketakutan karena banyak om-om yang menggodaku bahkan menanyakan tarifku. Tempat itu benar-benar gila!" kulihat Dela merinding mengingat hal itu. aku jadi kasihan padanya. Ingatkan aku untuk tidak pergi ke sebuah club malam.
"untunglah kau tidak apa-apa Del." Aku tahu rasanya takut terhadap lelaki itu seperti apa. Aku sangat memahaminya.
"iya, om Chris itu yang membawaku keluar ketika aku akan terlibat dalam masalah. Om Chris itu ternyata pemilik club. Kesempatan itu tidak kusia-siakan dan langsung saja kutanyakan tentang wanita yang dia jumpai tadi padanya. Dan kau tahu? dia mengira aku menyukainya hingga menanyakan tentang wanita yang ditemuinya. dia bahkan memintaku menjadi pacarnya. Hiiiii" Dela terus komat-kamit menceritakan pengalamannya itu padaku sementara aku tengah berpikir keras untuk menggali informasi lagi tentang kak Alan.
"maaf aku hanya bisa memberitahumu itu saja. Om gila itu tidak mau membocorkannya lagi kecuali aku menjadikan dia pacarku.." Dela mendesah frustasi
"Dela..." aku memanggilnya dengan tatapan penuh harap.
"kau tahu kau sahabatku satu-satunya" ucapku penuh arti. Dela menatapku bergidik ngeri
"la.. lalu??" tanya Dela harap-harap cemas. sorot matanya penuh selidik menatapku dangan curiga.
"aku ingin kau menemui om Chris itu lagi"