"hiks... hiks.. " aku masih menangis sepanjang jalan ketika kak Alan menyeretku ke dekat parkiran sekolah
"haaahhh. Menyebalkan!" kak Alan mendengus dan menghadap ke arahku. Aku masih terus menangis memikirkan bahan makalahku.
"kenapa kau masih menangis? Diamlah, tangisanmu membuatku pusing"
"t..tapi itu. hiks.. tugasku" aku menunjuk lembaran di sebelah tangannya dengan sesenggukan.
"apa kau tak punya soft copy nya?" aku menggeleng lemah. Aku mendengar kak Alan mendengus lelah kemudian membuang semua kertas itu di parit besar dekat kami berdiri. Aku melotot dan makin menangis keras. Tamatlah nasib tugasku.
"kubilang jangan menangis! Aku akan membantumu mengerjakannya. Dasar bocah menyusahkan" kak Alan mencubit hidungku membuatku meringis.
"benarkah?" aku menatapnya berkaca-kaca penuh harap.
"apa aku pernah membual? Sekarang lap ingusmu dan cepatlah naik" kak Alan sudah siap di atas sepeda yang selalu dia naiki ketika menjemputku pulang sekolah. Aku naik ke atas sepeda dengan perasaan berbunga-bunga dan jantung yang berdegub kencang
"pegangan yang erat" kak Alan menuntun tanganku di pinggangnya membuatku dapat mencium aroma tubuhnya yang sangat kusukai.
"sudah siap??" kak Alan bertanya padaku dengan wajah menyeringai. Tunggu dulu, aku punya firasat buruk tentang ini.
"kak.. jangan bilang.." aku menatapnya horror dengan mulut terbuka.
"ini hukumanmu karena membuatku menunggu dengan seniormu itu" jawabnya yang kemudian dengan cepat menggayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi dan membuatku memejamkan mata saking takutnya.
"HUUAAAAAA PELAN-PELAN!!!" aku berteriak histeris dengan mata tertutup rapat dan tanganku erat memeluknya.
"hahahahaha Lili bukalah matamu, ini mengasyikkan" sayub-sayub aku mendengar suara kak Alan yang terdengar asik sekali
"tidak mau, aku takut" jawabku setengah berteriak. peganganku makin kuat memeluknya.
"percayalah padaku, buka matamu" aku membuka mataku perlahan merasakan hembusan angin yang menerpa wajahku.
"waaaahhhh" aku terpana melihat langit merah yang sedang mempertontonkan keindahan matahari terbenam di depan sana. Aku tersenyum dengan wajah berbinar senang, aku sangat bahagia ketika kak Alan membawaku berjalan-jalan mengelilingi kompleks berdua saja dengannya. Seperti saat ini.
"kau senang?" tanyanya pelan hampir tak terdengar olehku.
"senang sekali" jawabku keras. aku menyandarkan kepalaku pada punggungya masih dengan pelukan eratku padanya. Meskipun aku tahu dia hanya menganggapku adiknya tapi aku tetap bahagia dengan setiap waktu yang ku habiskan bersama kak Alan. Kamipun menghabiskan sore ini dengan menikmati keindahan lembayung senja di ufuk Barat.
"oh iya kak, kenapa kak Alan bilang kalau senior itu menyukaiku?" aku bertanya padanya dengan wajah penuh penasaran.
"dia memang menyukaimu" entah kenapa aku merasa nada suaranya berubah dingin
"ta.. tau dari mana, jangan asal bicara" kenapa aku jadi tergagap? Aku merutuki diriku sendiri.
"aku juga laki-laki, aku tahu bagaimana seorang lelaki menatap lawan jenisnya, apalagi menaruh perasaan pada lawan jenisnya." Aku mengaduh dalam hati, dia peka terhadap apa yang orang lain rasakan, tapi kenapa tidak dengan perasaanku? andai dia juga tahu bahwa aku menyukainya sejak lama, huufftt
Flashback End
_____
Aku kembali menaruh buku itu yang membuatku terlempar kembali ke kenangan masa lalu. masa lalu hanyalah masa lalu, apa yang terjadi waktu itu sudah sangat berbeda dengan sekarang. Kak Alan bukan lagi seseorang yang selalu mengusap airmataku, melainkan menjadi penyebab utama jatuhnya bulir-bulir itu.
Aku mengerti semua tak bisa sama lagi, akupun tak tahu kenapa bisa begitu, sejak aku lulus SMA, tiba-tiba sikapnya berubah total padaku. Lebih tepatnya semenjak ia memegang penuh perusahaan yang diwariskan papanya. Ia menjadi sosok pria yang benar-benar perfeksionis dan tak tersentuh.
ah rasanya aku ingin berteriak saja jika mengingat masa-masa indah itu. walaupun hanya berboncengan dengan sepeda keliling komplek, tapi itu sangat berharga bagiku. sudahlah, waktu yang sudah berlalu tidak akan pernah kembali. semua sudah terlanjur begini. daripada terus melamun lebih baik aku segera pulang sebelum hari makin malam dan perpustakaan semakin sepi.
Aku melangkahkan kakiku keluar dari perpustakaan dan menuju halte bus yang terlihat mulai ramai. Yah wajar mengingat sekarang sudah masuk ke waktu-waktu jam sibuk pulang kerja.
"arrggh" aku terkejut merasakan sesuatu yang tajam di tanganku, tapi karena halte ini sangat ramai aku memilih mengabaikannya dan segera naik ke dalam bus yang baru saja datang. Tak jarang aku kerap terdorong-dorong penumpang lain.
Aku sampai di rumah ketika hari sudah gelap. Dengan malas aku melangkahkan kakiku masuk setelah melirik mobil kak Alan di garasi. Ah dia sudah pulang rupanya.
Begitu aku sampai aku langsung menuju ke kamarku dan kak Alan. Meski rumah tangga kami tak berjalan lancar, tapi ia tak pernah mengijinkanku tidur di kamar lain selain kamar kami berdua. Pernah sekali aku tertidur di sofa ketika menunggunya pulang dan paginya aku berakhir di kamar dengan baju yang berbeda. Itu adalah pengalaman menakutkan yang tak mau ku ulangi lagi. Akupun tak mau bertanya apa-apa padanya mengenai itu. aku pasti akan malu sekali menanyakannya
Aku sempat terkesiap ketika mendapati kak Alan duduk di ranjang dengan pakaian tidur tengah membaca majalah lengkap dengan kacamata kerjanya. Ah dia tampan sekali seperti itu.
Dengan gugup aku melangkahkan kakiku masuk. Aku menaruh tasku dan melepas ikat rambutku hendak menuju ke kamar mandi karena badanku sudah terasa lengket.
"ada apalagi dengan tanganmu itu?" aku tersentak mendengar suara baritonnya yang mengintimidasiku. Aku menghadap ke arahnya dengan tatapan heran. Aku tak mengerti dengan perkataanya barusan.
"a.. apa?" apa ini, kenapa aku mencicit tak berdaya di hadapannya. aku selalu lemah di bawah tekanan aura gelapnya itu.
Kak Alan tidak menjawab pertanyaanku dan malah melipat buku di pangkuannya dan berjalan ke arahku. Aku terpaku di tempat dengan wajah tegang. Aku mencoba mengalihkan pandanganku dari sorot mata tajamnya ketika ia mendekat ke arahku.