Chereads / Godaan Sang Mantan (Versi Awal) / Chapter 4 - Calon Kekasih Impian

Chapter 4 - Calon Kekasih Impian

Bruuk!

Tania menghempaskan tubuhnya di tempat tidurnya.

Malam ini, Tania merasakan tubuhnya benar-benar lelah. Semenjak pulang dari kampus, dia lebih banyak diam di kamar. Tubuhnya terkulai lemas di atas kasur. Pikirannya kini bak benak kusut.

Ada sesuatu di pikirannya yang masih mengganjal.

Kenapa sih kamu tidak segera enyah. Enyahlah dan jangan mengganggu kehidupanmu.

Rasa kesal mencuat di dada Tania.

Hei, tolonglah, pliis, enyahlah dari hidupku, jangan ganggu proses hijrahku. Aku ingin hidupku lebih baik.

Tania tiba-tiba merasa tubuhnya gerah. Dia pun mengamati dirinya sendiri dan sekelilingnya. Pantesan aja, gumamnya.

Tania pun sejenak bangkit. Dia lupa belum menyalakan AC di kamarnya. Ditambah lagi, dia belum mengganti hijabnya dengan pakaian tidur.

Hari ini memang benar-benar kacau. Saking kacaunya, biasanya pukul 5 sore dia sudah mandi membersihkan diri. Namun hari ini dia sama sekali tidak mandi, dan masih mengenakan hijab, dengan kerudung dan gamis yang dia kenakan waktu kuliah.

Astagfirullah, kenapa sih kamu masih mengganggu hidupku, padahal aku sudah putus dengan kamu dengan baik-baik. Kenapa kamu tak paham.

Tania membuka kerudung dan gamisnya. Pakaian dalaman atau yang biasa dikenal dengan mihnah yang terasa sedikit lengket pun diganti dengan pakaian tidur.

Semenjak hijrah, Tania membiasakan diri mengenakan pakaian mihnah dengan mengenakan kaus yang biasa dulu dia kenakan sehari-hari. Itu untuk bagian atasnya. Untuk bagian bawahnya dia mengenakan celana panjang berbahan katun.

Di dalam rumah yang merupakan area privat, muslimah memang dibolehkah menanggalkan kerudung dan gamis. Mereka diperbolehkan hanya mengenakan mihnah, selama di rumah itu tidak ada lelaki asing.

Muslimah boleh hanya mengenakan mihnah di hadapan ayah, kakak laki-laki, dan mahram lainnya. Bahkan di depan suami tanpa mengenakan mihnah sekalipun, terlihat bagian-bagian aurat itu sah-sah saja.

Setelah berganti dengan pakaian yang bersih, Tania hendak kembali merebahkan tubuhnya di kasur.

Tok! Tok! Tok!

Belum sempat hal itu dia lakukan, pintu kamarnya diketuk.

Tania pun dengan agak malas melangkah menuju pintu kamarnya. Lalu membukanya.

"Sayang, kumpul yuk!" ajak ayahnya.

Biasanya kalau diajak kumpul begitu, Tania tidak pernah ada masalah. Namun kali ini, dia merasa berat. Moodnya benar-benar kacau.

"Aduh Pa, aku mau beresin makalah buat presentasi besok," Tania mencoba mencari alasan. Namun dia tidak berbohong. Memang benar, besok dia mau presentasi dan harus mengecek ulang sekaligus menyempurnakan makalah yang sudah dia buat bersama kelompoknya.

"Papa tahu, kamu sibuk. Tapi tolonglah luangkan waktu sebentar saja, setengah jam," pinta Pak Kusuma.

"Wah kelamaan Pa, aku kuatir keburu ngantuk nanti. Sekarang udah ... tuh jam 9," ungkap Tania menego ayahnya sambil menunjuk jam dinding di kamarnya.

Pak Kusuma melirik jam. Dia pun bisa memaklumi kesibukan putrinya. "Lima belas menitan deh ya."

Tania tersenyum. "Makasih, Pa. Papa memang ayah paling baiiiik sedunia," ujar Tania sambil menggandeng tangan ayahnya. Keduanya pun melangkah seirama menuju ruang keluarga. Di sana mereka berdua disambut oleh Rendra. Ketiganya duduk bersama.

"Nah gitu, dong, Dik. Jangan ngurung diri di kamar terus," kata Rendra. "Kalau sering ngumpul gini godaan setan, terutama setan berwujud manusia, bisa enyah." Rendra mengerlingkan matanya ke arah Tania.

Pak Kusuma tak mengerti apa yang dimaksud Rendra pada kalimat terakhir. Namun Tania paham, itu Rendra maksudkan untuk Erlangga.

Pak Kusuma mengambil cangkir kopi susunya yang masih mengepul. Perlahan dia menyeruput minuman kesukaannya itu. Lalu menaruhnya kembali di meja. Dia pun membetulkan kacamatanya.

"Gimana kulihahmu, Nak?" tanya Pak Kusuma, tatapannya melirik ke arah Tania.

Sementara Rendra dan Tania mengambil minuman kesukaannya masing-masing, Tania menikmati Teh Tarik hangat, sementara Rendra mengambil wedang jahenya.

"Siapa yang bikinin Tania Teh Tarik? Papa atau Kak Rendra?"

"Papa dong!" balas Pak Kusuma dengan gestur yang menampilkan sebuah kebanggaan. Senyumnya tampak mengembang.

"Kuliahku lancar-lancar aja sih Pa," ujar Tania usai menelan cairan teh Tarik hangat yang sudah masuk ke mulutnya.

"Syukurlah kalau lancer. Tapi tadi Papa lihat wajahmu kok kayak tegang banget pas pulang. Memangnya ada apa?"

Tania dan Rendra saling melirik agak lama. Ada pergolakan batin dalam diri Tania. Gimana ya, perlukah aku cerita ke Papa soal kejadian ini?

"Hmm, nggak ada apa-apa kok Pa," jawab Tania singkat.

Kali ini Pak Kusuma beralih mengalihkan tatapannya kepada Rendra. "Beneran Ren, nggak ada apa?"

Rendra tampak berpikir sejenak. Dia juga sekilas menatap Tania. Tampak ada kode-kode yang sukar sekali dipahami. Kali ini Rendra yang harus memilih. Haruskah aku bercerita soal si Angga, pengganggu adikku?

"Hmmm, aman kok Pa. Tania mungkin tadi hanya kecapean aja, Tadi jadwal kuliah di kampus padet banget. Ya kan Dik?"

Tania segera mengangguk. Alhamdulillah, dalam hati Tania mengucapkan kata pujian itu. Dia bersyukur kakaknya cukup bijak untuk tidak menceritakan kejadian 'menyebalkan' di kampus tadi siang. Untuk saat ini, Tania bisa bernapas lega. Ayahnya tidak mengetahui soal Angga.

Pasalnya, dulu pun saat Tania masih berpacaran dengan Angga, Tania sering diomeli ayah dan ibunya. Keduanya keberatan kalau Tania dekat dengan Angga. Nah, kali ini kalau ketahuan Angga masih mengganggu Tania, ayahnya bisa marah besar.

Obrolan pun berlanjut, Tania malam ini selamat. Kini yang menjadi pusat perhatian sang ayah adalah Rendra.

"Ren, kamu udah mulai bikin tesis?"

"Belum, masih proses riset sih Pa. Semester depan sudah mulai nulis."

"Alhamdulillah. Papa bangga, punya anak lelaki, pakar komunikasi."

"Apa rencanamu setelah skripsi?"

"Pengen punya media sendiri Pa, media islam sebagai sarana untuk dakwah. Medianya sudah mulai jalan. Nanti bakal diseriusin lagi kalau sudah kelar kuliahnya."

"Bagus, lanjutkan. Semoga sukses," Pak Kusuma mengacungkan dua jempol."Tapi ingat, jangan mikirin mulu soal studi dan karir. Pikirin juga kehidupan pribadimu," ucapannya kali ini lebih mirip ke sindiran dan kode.

Rendra menangkapnya seperti itu. Rendra paham, berikutnya pasti pertanyaan dan obrolan bakal nyerempet ke soal kapan nikah, cucu, dan seterusnya. Karena itu, Rendra akan berusaha mencoba membelokkan bahasan.

Rendra melirik Tania yang sedari tadi sudah mesem-mesem. Rendra menangkap Tania seakan berkata, "Kena deh, Kak. Kaciaan deh!"

Rendra mengedipkan matanya ke arah Tania. Dia sebenarnya memberikan kode ke Tania, "Plis, bantuin, belokin arah pembahasan."

Namun entah apakah kode itu bisa ditangkap adiknya atau tidak.

"Tenang, Pa. Kak Rendra juga lelaki normal kan?" ucap Tania spontan sambil tergelak tawa.

Lha, bukannya bantu, malah ledekin aku, protes Rendra dalam hatinya. Matanya tajam menatap adiknya.

"I.. Iya jelaslah, siapa yang meragukan kelelakian seorang Rendra?" Rendra terpaksa ikut tertawa.

"Tuh kan Pa, benar!" tukas Tania, "Btw di kampus juga Kak Rendra banyak fansnya kok. Banyak diidolakan para akhwat!"

Pak Kusuma tersenyum.

"Dik, kamu jangan bergosip. Gosip itu haram lho."

"Enggak kok Kak. Di kampus itu aku tahu beberapa akhwat yang kelihatannya menyukai Kak Rendra. Mereka bermimpi kayak Cinderella dihampiri Pangeran Berkuda Putih haha..."

"Tuuh, Ren. Cepatan kamu tentukan pilihan. Siapa Cinderellamu?" kata Pak Kusuma.

"Tenang, Pak. Semua akan indah pada waktunya. Kalau memang sudah waktunya, aku akan menjemputnya dengan kuda putihku," balas Rendra tak mau kalah.

"Papa jadi penasaran, siapa aja sih calon cinderellanya Rendra? Eh bukan Papa nggak akan bilang Cinderella, bilangnya Aisyah aja deh," ucap Pak Kusuma melirik Tania dengan serius. Dia tampak sangat antusias dalam obrolan ini.

"Banyak, Pa. Kan Kak Rendra itu di kampus jadi senior organisasi dakwah kampus. Dia pasti dikenal sama akhwat yang senior maupun junior," jelas Tania.

"Yang aku tahu, sebagian dari mereka ada Tasya dan Devina. Kak Rendra, mau pilih yang mana?"

Rendra hanya nyengir. Dalam pikirannya terlintas dua gadis berhijab itu.

"Jangan lama-lama ya, Ren," ucap Pak Kusuma, "Papa nggak sabar pengen nimang cucu. Mumpung Papa masih hidup."

Mendengar kalimat terakhir, Wajah Tania langsung berubah, Begitupun dengan Rendra. Mereka berdua langsung teringat mendiang mamanya, Ibu Rimayani Kusuma yang meninggal dalam kecelakaan pesawat.

Baik Tania maupun Rendra tak mau mengecewakan dan membuat ayahnya sedih. Rendra dan Tania ingin ayahnya dapat menyaksikan pernikahannya.

"Jangan kuatir, Papa. Aku akan berusaha yang terbaik demi kebahagiaan Papa."

"Aku juga Pa. Setelah kelar skripsi aku akan segera mendapatkan calon imam," tekad Tania. Dia tak mau seperti kejadian sebelumnya, hijrahnya mengenakan hijab tak disaksikan langsung oleh mamaya.

Tania tak ingin berlarut-larut dalam suasana yang bernuansa pedih itu. Dia juga teringat tugas makalahnya yang belum selesai.

"Pa, sesuai janji kita tadi, aku mau pamit duluan," ucap Tania seraya bangkit."Mau beresin makalah, Pa."

"Oke, Sayang," balas Pak Kusuma. "Papa catet ya. Kelar skripsi, kamu langsung nikah, hehe..."

Tania pun menautkan ujung jari kelingking dengan ibu jari kanannya, membentuk lingkaran. Wajahnya makin manis. Saat tersenyum selalu terlihat lesung pipinya.

Tania pun buru-buru melangkah menuju kamarnya.

Ya Allah, benarkah apa yang baru saja kukatakan. Semoga aku nggak berbohong demi membahagiakan Papa. Habis skripsi segera menikah. Memangnya siapa calon imamku? Siapakah calon kekasih impianku?