Saat berkumpul dengan ayah dan kakaknya barusan, Tania sejenak bisa melupakan kekisruhan antara dirinya dengan Erlangga. Namun entah mengapa begitu pintu kamarnya dia tutup, pikiran tentang mantannya itu kembali mencuat.
Bener kata Kak Rendra, harus sering-sering kumpul!
Angga, kamu terus mengganggu pikiranku. Pergi sono! Tania berfantasi seakan-akan dia menghempaskan tubuh Erlangga, hingga tubuh lelaki itu terpental ke angkasa.
Seketika tubuhnya kembali lemas. Namun Tania tetap berusaha mengondisikan moodnya agar tetap bisa menyelesaikan tugasnya. Segera dia buka laptopnya. Dia membuka folder, lalu mengklik file makalah yang akan dia cek terakhir kali.
Dia pun terlarut dalam baris-baris kalimat hingga tak terasa waktu sudah berlalu kurang lebih empat puluh lima menit. Malam kian larut dan kedua matanya pun mulai lelah.
Alhamdulillah. Tania mematikan laptopnya dan menutup layarnya. Segera dia bangkit dari duduknya.
Dia mengira-ngira apakah masih punya wudu atau belum. Hatinya ragu, Akhirnya dia lebih memilih ke kamar mandi untuk membasuh mukanya dengan air wudu.
Pikirannya kini lebih fresh dan energinya pun bertambah kembali. Dia pun segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tidak lupa membaca doa tidur.
10 menit.
Tania masih berguling, membolak-balikkan tubuh. Dia memejamkan mata meskipun terkesan dipaksa.
Kenapa nggak tidur-tidur sih?
15 menit.
Masih juga Tania membolak-balikkan badan, ke kanan dan kiri, hingga berakhir ke kanan, sesuai anjuran nabi.
Astagfirullah, sudah malam begini aku belum tidur juga, Nggak boleh kesiangan!
Tania melirik jam. Jam 10 lebih baginya sudah terhitung malam. Prinsipnya setelah hijrah, tidur lebih awal, dan bangun pun lebih awal supaya bisa menunaikan Tahajud dan tak kesiangan melaksanakan Shalat Subuh.
Malam kian larut. Tania masih gelisah. Dia tak bisa tidur.
Pikirannya teringat pada kejadian saat dia memutuskan Erlangga. Hingga saat ini, dia benar-benar yakin. Bahwa itu keputusan terbaik untuk memulai hidupnya yang baru ini.
Tania masih ingat kejadian saat dirinya memutuskan Erlangga. Waktu itu demi menjaga agar tidak khalwat alias menyepi berduaan, Tania lebih memilih kafe untuk ketemuan terakhir dengan Erlangga.
"Ngga, maaf aku ke sini menemuimu hanya sebentar nggak bisa lama-lama."
"Emangnya kamu mau ke mana sih kok buru-buru amat?" goda Erlangga sembari mencoba meraih jemari lentik Tania.
Tania menolak tangannya disentuh. Buru-buru dia menarik tangannya.
"Maaf, kali ini ini tidak, lihat penampilanku sekarang sudah berhijab!"
"Emang kenapa sih, kan cuma pegang tangan doang."
"Suatu saat kamu akan mengerti."
"Ta..." belum selesai Erlangga menuntaskan ucapannya, Tania menginterupsinya.
"Ngga, tolong dengerin aku dulu. Ini SANGAT PENTING!" Tania memberikan penekanan yang amat berat pada dua kata terakhirnya.
Erlangga pun akhirnya, diam dan mulai serius menyimak.
"Ngga, kamu sudah tahu kan sekarang aku sudah berhijab?"
Angga mengangguk. Firasat dia, melihat ekspresi wajah Tania yang begitu serius, bahkan belum pernah dia menyaksikan kekasihnya seserius itu, ini pertanda ada 'sesuatu' yang besar sekaligus berat.
Erlangga mencoba tenang. Perlahan dia mengambil Jus jeruk di hadapannya. Dia pun menyeruputnya.
"Santuy, Tan. Ngobrolnya sambil minum. Tuh minum dulu jus alpukatmu!" ucap Erlangga, tersenyum sambil menunjuk gelas berisi cairan berwarna hijau muda.
Tania menurut. Dia menyeruput sekali. Lalu dia pun melanjutkan ucapannya.
"Angga, ini konsekuensi atas pilihanku. Aku sudah berhijab..."
"Iya, lalu?"
"Karena sudah berhijab aku tak mungkin lagi melanjutkan hubunganku denganmu. Kalau masih berpacaran, aku malu, dan tak mau menodai hijabku."
"Tunggu... tunggu... maksud kamu apa?"
"Kamu belum paham maksudku?"
"Jadi kamu ngajak putus? Ingat Tania kamu pernah janji padaku, kamu nggak akan pernah ninggalin aku!"
Sorot mata Erlangga tajam menembus mata Tania. Namun Tania menghindarinya dengan menghindari kontak mata.
"Iya, aku tahu. Itu dulu aku lakukan saat aku belum tahu. Aku benar-benar minta maaf. Hari ini, hari terakhir kita ketemu. Setelah itu, tolong, plis jangan pernah menghubungiku lagi."
"Tania, apa-apaan sih kamu ini?"
Dada Erlangga terasa sesak, bahkan mirip orang yang tengah kambuh asmanya.
Tapi sebaliknya, setelah bicara justru Tania merasa lega.
"Denger, Tan. Kamu nggak fair. Kamu memutuskan secara sepihak."
"Maksud kamu apa, Ngga?"
"Aku nggak rela kita putus."
"Tolong bantu aku lebih baik, Ngga. Aku tidak minta persetujuan dari kamu soal putus. Ini sudah menjadi keharusan bagiku karena aku sudah berhijab. Aku sudah berusaha saat ini bicara baik-baik sama kamu."
"Kalau mau putus, harus atas persetujuanku!" Nada bicara Erlangga meninggi, wajahnya memerah.
"Ngga, tolong kamu jangan persulit aku. Hubungan pacaran beda dengan pernikahan. Setahuku, kalau sudah nikah, istri minta cerai memang benar cerai akan terjadi jika suami menyetujui perceraian. Tapi kalau pacaran lain ceritanya."
"Tidak! Pokoknya tidak!"
"Ya udah, terserah. Sudah ya, aku pamit. Assalamualaikum!"
Tania pun pergi. Sebelum pergi dia membayar jus alpukat dan jus oren yang sudah dipesan.
"Mbak Jus alpukat dan jus jeruk ya, jadi berapa?"
"Tiga puluh ribu," jawab pramuniaga kafe itu.
Tania menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.
Sepertinya Mbak penjaga kafe itu ikut menyimak peristiwa putus antara Angga dan Erlangga. Dia bergantian melirik Tania dan Erlangga. Ada wajah sedih dan simpati yang tebersit di wajahnya.
"Mbak, maaf banget nih ya…"
"Kenapa, Mbak?"
"Kok diputusin sih, sayang itu si Abang gantengnya," ucap pramuniaga itu sambil melirik Erlangga.
"Waduh, Mbak nggak usah julid deh, hehe… Saya putus dengan dia karena Allah kok. Insya Allah dapet pahala hehe."
"Mbak … Mbak, barang bagus kok dibuang, kan sayang…. Oia sampe lupa, ini kembaliannya, terima kasih ya," Mbak itu menyerahkan uang kembalian selembar dua puluh ribuan.
"Sama-sama, mari!"
Sekali lagi, Tania melirik Angga yang masih duduk lesu. "Minumanmu susah sekali aku bayarin. Selamat tinggal. Semoga setelah ini, aku dan kamu bisa menata hidup lebih baik."
Pikirannya pun masih tersangkut di seputar Angga dengan segala drama yang tercipta tadi siang.
Erlangga, serius kamu berani terima tantangan Kak Rendra?
Kalau iya, untuk apa kamu melakukannya?
Tiba-tiba terbayang di imajinasi Tania, bunga-bunga bermekaran di musim semi. Ruang hatinya dipenuhi semerbak wangi bunga.
Angga, kamu melakukan semua itu untukku?
Kalau iya, serius apakah aku harus terharu, karena kamu jadi pahlawan cinta?
Bunga-bunga bermekaran dalam imajinasinya makin meluas. Ada bentangan padang bunga dengan aneka warna. Masya Allah! Seluruh ruang hatinya dipenuhi cinta.
Astagfirullah, apa-apaan sih, kok jadi ngelantur begini?
Tania kembali tersadar dari lamunannya. Dia meredam segala rasa yang tengah dialaminya. Sekuatnya dia melawan emosi yang tengah mengendalikannya dengan logika dan akal sehatnya.
Tidak! Kamu melakukannya bukan karena cinta, melainkan nafsu.
Tahukah kamu, cinta itu mulia dan menjaga
Tidak! Aku tidak akan menerima cinta kecuali cinta yang berpijak di atas cinta-Nya.
Aku hanya ingin cinta di atas cinta
Erlangga, buktikan saja jika kamu bisa memenangkan cinta
Jika masih terpedaya dan rela menjadi budak cinta
Terima saja semua kekalahan yang bakal menimpa.
Tania kembali mengucap istigfar berkali-kali. Dia ulang terus menerus hingga hatinya dipenuhi dengan kalimat itu.