Chereads / Godaan Sang Mantan (Versi Awal) / Chapter 7 - Huru-Hara di Depan Rumah

Chapter 7 - Huru-Hara di Depan Rumah

Usai memarkir motornya di samping pagar, Erlangga memencet bel yang tombolnya menempel di depan pintu pagar.

Sekali hingga tiga kali dipencet, batang hidung Rendra yang ditunggu-tunggu Erlangga tak kunjung muncul. Lelaki itu mencoba menahan kekesalan sekaligus rasa gregetnya.

Kalau kamu tak keluar aku akan terus pencet bel ini. Biarin sampai telingamu bosan dengerin, dan akhirnya kamu keluar, tekad Erlangga.

Erlangga mengarahkan pandangan ke sekeliling. Bahkan mengedarkan pandangan ke lantai dua. Dia membayangkan, seandainya Tania muncul di sana, menyambut hangat dirinya dan mempersilakan masuk. Erlangga kangen seperti dulu. Bisa jalan dan nonton, kemana mana berdua.

Sementara itu, dari dalam, tepatnya di lantai dua, Tania mengintip. Gadis berhijab itu dapat melihat dengan jelas aksi yang dilakukan mantannya itu dari balik gorden kaca jendela.

Angga, Angga! dasar kepala batu kamu. Percuma. Kak Rendra nggak bakal keluar. Heran, mau kamu apa sih? Aku udah bilang ke kamu baik-baik padahal.

Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya cinta Tania kepada Rendra tak berkurang, namun Tania bertekad melawan dirinya sendiri, nafsu dan perasaanya.

Bahkan Tania hanya ingin cintanya kepada Allah bertahta di atas cinta kepada manusia. Dia ingin cinta pada-Nya menjadi radar baginya yang menuntun dirinya mendapatkan cinta sejati, mendapatkan kekasih impiannya.

Bunyi bel terus menerus terdengar tanpa ada jeda. Di ruang tengah seorang anak lelaki dan sang ayah berjibaku dengan pikirannya masing-masing.

Pak Kusuma sudah yang ketiga kali mengintip dari balik gorden. Kali ini dia menutup telinganya, merasa jengah mendengar suara bel yang terus ditekan.

Pak Kusuma duduk sambil memandangi Rendra setelah mondar mandir. Sebaliknya yang ditatap terkesan santai santai saja.

"Ren, apa gak ada jalan biar si Erlangga berhenti pencet bel?"

Rendra mengedikan bahu. "Emang kenapa sih, Pa?" tanya sang anak sambil mesem. "Bising ya, Pa? Polusi suara!"

Pak Kusuma melolot. Dia sangat antusias.

"Nah itu dia, Papa nggak perlu jelasin. Kamu sudah paham. Cerdas!"

Rendra tergelak. "Iya aku ngerti kok, Pa. Bukan papa aja yang terganggu. Aku juga sama."

"Lha kalo kamu terganggu kenapa diem aja."

"Emangnya mau diapain, Pa. Percuma ngomong sama Angga. Dia dableg!"

"Bukain aja lah Ren. Biar dia diem. Kita ajak ngobrol dia."

"Enggak, Pa. Nggak ada gunanya. Buktinya tadi pagi aja dia nggak datang sesuai janji. Nggak ada kesempatan lagi buat dia."

"Kenapa sih Ren, kamu kok kayak benci banget sama dia? Ayah juga emang nggak suka sama dia. Tapi nggak segitunya juga kali."

"Lho, Papa kok malah terkesan belain si Angga sih?"

"Siapa yang bilang begitu?"

Suasana tiba-tiba jadi panas.

"Pa, denger, Papa pengen ngajak masuk orang yang selama ini gangguin putri Papa sendiri. Ingat lho, Pa. Tania alhamdulilah sekarang udah lebih baik dengan hijabnya. Jangan sampe dia diganggu oleh si virus Angga itu."

"Ren, Papa nggak rela Tania diganggu. Maksud Papa ajak masuk Erlangga, kita berdua hadapi dia. Lagian papa nggak enak sama Wijaya. Gimana tuh kalo Angga ngadu ke papanya. Papa kan sama Wijaya berteman baik. Dan nggak mau pertemanan papa jadi retak gara-gara masalah remeh temeh begini."

"Apa, remeh temeh, Pa?" Rendra mengelus dada. "Istighfar Pa, ini bukan soal remeh temeh! Ini soal masa depan Tania, dunia dan akhirat. Papa tentu mau kan Tania mendapatkan suami yang saleh?"

"Kak, Pa... sudahlah jangan berdebat terus." Ucapan Tania berhasil menurunkan ketegangan Pak Kusuma dan Rendra untuk sesaat.

Namun bunyi bel tak berhenti sama sekali. Bunyinya terus-terusan terdengar tanpa ada jeda. Di ruang tengah seorang anak lelaki dan sang ayah berjibaku dengan pikirannya masing-masing.

"Bukan hanya kalian yang terganggu, di luar tetangga pun sudah pada protes!"

Refleks Rendra dan Pak Kusuma keluar. Sedangkan Tania pun ikut di belakang keduanya.

Di luar orang-orang sudah berkumpul mengerubungi Erlangga.

Seseorang nyaris memukul Erlangga.

"Awww!" Tania menjerit dan menutup matanya.

"Hentikan!" Rendra bergerak cepat menahan tangan orang itu.

"Bising tahu, siapa sih orang gila ini?!" protes lelaki berbadan kekar yang hendak memukul Erlangga.

"Bapak-bapak, maaf sekali sudah mengganggu Anda sekalian pagi ini," kata Pak Kusuma.

"Mohon bubar. Kami memang sedang ada urusan dengan orang ini dan akan segera menyelesaikannya," lanjut Pak Kusuma sambil menatap Erlangga kesal.

Orang-orang pun menuruti perkataan Pak Kusuma. Mereka bubar tapi dengan suara-suara sumbang. Masih tampak jelas dari wajah mereka kekesalan akibat ulah Erlangga.

"Kalau belnya bunyi lagi terus-terusan. Kami akan balik dan hajar orang gila ini!" Ancam si lelaki yang mau memukul.

"Dijamin tidak, Pak!" jawab Rendra tegas.

Sementara Erlangga menunduk sejenak. Setelah hatinya sebelumnya kisruh, kini berubah sedikit ceria.

Matanya tertuju kepada Tania. Bibirnya menyunggingkan senyum.

Dipandang seperti itu Tania mencoba menghindar. Dia segera berlari ke dalam rumah.

Rendra menyaksikan hal itu. Dia segera bertindak.

"Jaga matamu, atau kutusuk sampai kamu buta!" ancam Rendra sambil memukul perut Erlangga.

Perut Erlangga benar-benar ngilu. Dia merasa seluruh isi perutnya nyaris mau keluar.

Sementara di dalam rumah, Tania berusaha mengendalikan perasaannya. Dia berusaha menghapus senyuman manis Erlangga yang barusan menggodanya.

Senyuman manis itu memang dari dulu selalu mengakrabinya. Namun sungguh untuk kali ini dan seterusnya, senyuman itu tidak lagi dibenarkan.

Daripada terus-terusan terbayang 'senyuman maut' sang mantan, Tania mencoba menyibukkan diri. Sebelum berangkat kuliah pagi ini, dia mencoba membantu bibi di dapur mencuci piring.

Tania mulai menggosok sabun di wastafel. Bayangan senyuman Erlangga masih muncul sekilas.

"Mbak Tania, bukannya mau berangkat kuliah ya, kok malah cuci piring?" tanya bibi tampak bingung.

"Iya, bentar lagi, habis cuci piring mau mau berangkat kok."

"Mbak, biarin sama bibi aja."

"Udah nggak apa-apa."

Percakapan Tania dengan bibi akhirnya berhasil mengalihkan ingatan Tania dari tatapan dan godaan makhluk bernama Erlangga.

Beberapa menit berlalu, hati Tania mulai sedikit lebih lega dari sebelumnya. Suasana di luar pun sudah kembali kondusif. Erlangga sudah tak ada. Orang-orang pun sudah semua membubarkan diri.

Tania melangkah menuju kamarnya untuk bersiap-siap.

"Dik, sepuluh menit lagi berangkat ya," ucap Erlangga dari balik pintu kamar yang terletak bersebelahan dengan kamar Tania.

"Siap, Kak," Tania menoleh ke arah kakaknya.

"Kak, aku mohon ..." ucap Tania menggantung.

"Mohon apa?"

"Aku sedih tadi lihat kakak dan papa bertengkar hanya gara-gara Erlangga."

"Oh itu ..."

"Santai aja, Dik. Aku dan Papa kayak gitu udah biasa."

"Tapi kan nggak enak kedengarannya."

"Iya deh, aku janji. Aku akan coba lebih bijak lagi saat berkomunikasi sama Papa."

"Nah, gitu dong!"

"Hayo, kalian lagi ngomongin apa?" Pak Kusuma mendadak muncul.

"Hehe, lagi ngomongin Papa," Tania tersenyum.

"Pa, aku minta maaf tadi ya, terlalu semangat belain adikku yang cantik ini," ucap Rendra seraya menghampiri dan memeluk ayah.

"Aku bangga sama kamu. Terus bantu Papa jagain adikmu ya," Pak Kusuma terharu dalam peluk putranya.

Melihat keharuan di antara keduanya, Tania pun jadi ikutan terharu. Dia tak kuasa menitikkan air mata.