Tangan Dariel tak berhenti mengetikkan sesuatu di komputernya. Tangannya sesekali terdiam dan mihat data yang ada di layar komputer. Dilain sisi laptop putih Dariel terbuka dan menampakkan beberapa email yang belum dari buka.
"Jam berapa nih?." Seseorang membuka pintu. Siapa lagi kalo bukan Ara. Mendengar ucapan Ara refleks Dariel melihat kearah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul set 7 malam.
"Kamu belum pulang?."
"Kalo nanya liat mukanya kenapa sih?."
"Tutup pintunya." Dariel membuat Ara menurut. Dariel berdiri mendekati Ara.
"Kamu belum pulang sayang?."
"Ini mau."
"Chandra masih ada di luar?."
"Masih.."
"Aku pulang sebentar lagi."
"Lembur terus deh.."
"Biasa..lagi diaudit jadi beberapa harus aku jawab, harus aku cari datanya lagi, kan periodenya mundur."
"Hem.."
"Aku ga mau nilai audit perusahaan kita jelek. Oke?."
"Makasih." Ara tersenyum sekarang. Dia sepertinya paham kalau memang ini untuk kepentingan perusahaannya.
"Hari ini aku ada janji sama kak Dirga. Aku mau anter dia beli bahan gitu."
"Dirga?."
"Dia temen aku, anaknya temen mommy."
"Ya udah hati-hati."
"Jangan lupa istirahat."
"Iya sayangku." Dariel mengecup tangan Ara dan langsung buru-buru melepaskannya lagi ketika suara ketukan terdengar.
"Iya masuk.."
"Riel...lu..." Chandra ragu melanjutkan kata-katanya saat melihat Ara.
"Eh Bu.." Chandra mengulangi ucapannya.
"Ya udah saya duluan, Jawaban auditnya CC-in ke saya ya pak."
"Iya Bu.." Jawab Dariel formal.
"Yuk Chan, duluan.."
"Iya Bu.." Chandra tersenyum saat Ara melintas di depannya.
"Lagi ngapain lu?."
"Lagi kerjalah, emang lagi apaan lagi?."
"Bu Ara?."
"Dia...dia tadi nanya soal hasil audit."
"Riel... hati-hati loh..lu kan.."
"Chan, gw sama Bu Ara profesional, kita bahas soal kerjaan." Dariel segera memotong pembicaraan Chandra. Sepertinya... temannya itu mulai curiga dengan seringnya mereka berduaan.
"Ya udah gw balik duluan ya."
"Oke.. hati-hati."
"AC jangan lupa matiin." Chandra menutup lagi pintunya. Dariel tersenyum lega. Kalau Chandra sampai tahu bisa bahaya. Dia bisa menyebar luaskan berita itu pada sahabatnya yang lain. Dariel kembali lagi ke meja kerjanya. Dia benar-benar fokus dengan audit sekarang. Belum juga ada setengah jam suara ketukan kembali terdengar.
"Iya masuk.."
"Udah gw duga pasti lu masih ada di kantor." Farah sambil berjalan dan duduk di depan Dariel.
"Lu juga belum pulang Rah?."
"Gimana mau pulang audit nanya ini, nanya itu, pingin data ini, data itu dan gw jadi PIC buat ladenin mereka, ampun deh.."
"Sabar..cuman beberapa bulan doang."
"Lu juga kena imbasnya? atasan sih pada enak duduk dirumah lah kita babak belur dibawah."
"Namanya juga atasan, makannya dia gaji kita ya buat itu." Dariel tetap berpikir positif.
"Sonya juga lagi lembur.."
"Rame dong jadi ga berasa lembur.." Canda Dariel.
"Iya sih tapi ya tetep namanya lembur.."
"Gimana hubungan lu sandi?." Tanya Dariel sambil mengetik.
"Hem?." Farah terkejut dengan pertanyaan itu.
"Gw denger-denger Sandi lagi deketin lu?."
"Ya...gitu aja.."
"Anaknya keliatannya pinter, baik juga, ga macem-macem."
"Iyalah, orang tuanya agamanya kuat. Waktu gw kerumahnya aja banyak pajangan lafaz Al-Qur'an. Pasti ajarannya juga beda."
"Wah...udah dikenalin ke orang tua.." Dariel ikut senang. Farah sedikit tertunduk. Kenapa dia harus mengatakannya?.
"Riel gw ga maksud.."
"Ga papa, gw seneng. Sandi kan orang tuanya jelas, pekerjaannya ada, pendidikan oke pasti orang tua lu setuju." Dariel sambil memamerkan senyuman smeentara Farah hanya termenung. Kalo dipikir-pikir kenapa dia mau mencoba dengan Sandi, ya karena orang tuanya. Mereka sudah tahu tentang Sandi dan tak ada masalah apapun bahkan membandingkannya dengan Dariel. Kalau Dariel tahu, Farah tak sampai hati melihat wajahnya. Dariel orang yang sangat baik meskipun orang lain menjahatinya.
***
Dariel langsung mengangkat teleponnya saat mengetahui nama Ara di layar. Dirinya yang sudah terbaring di tempat tidur mendadak terduduk.
- Halo sayang.
- Kamu dimana?.
- Ini dirumah.
- Kirain masih dikantor.
- Aku dikantor jam segini, kamu ngamuk.
- Jadi karena takut aku ngamuk?.
- Ya engga, aku juga ngantuk.
- Mau tidur?.
- Bentar lagi. Kamu dimana? kok masih berisik?.
- Masih nongkrong sama kak Dirga sama Muel.
- Jam berapa ini?.
- Aku udah bilang Daddy kok.
- Besok kerja lagi loh.
- Iya, iya bentar lagi aku pulang.
- Aku jemput ya.
- Ga usah, kamu istirahat aja. Aku pulang bareng kak Dirga.
- Udah makan?.
- Udah tadi. Kamu udah belum?.
- Udah kok sebelum sampe rumah tadi makan-makan sama yang lembur juga.
- Banyakan emang?.
- Beberapa orang di departemen lain juga sama ternyata, lagi ngejarin data sama jawaban audit.
- Besok kita jalan-jalan yuk.
- Kemana?.
- Ya kemana aja, kenapa? kamu lembur lagi?."
- Engga, besok aku kosongin jadwal aku buat kamu.
- Kita jalan-jalannya batal terus nih.
- Iya, mudah-mudahan besok jadi.
- Ya udah kamu tidur aja.
- Pulang sekarang ya, sampe rumah kabarin aku.
- Iya sayang, bye.. I love you.
- Love you too.
Dariel sambil senyum-senyum mengatakan hal itu. Dia senang setiap kali berteleponan dengan Ara. Dariel terdiam sejenak. Ada yang aneh. Belakangan Ara lebih banyak menghabiskan waktu diluar bersama teman-temannya dibanding urusan kantor.
"Ah..sudahlah jangan berpikir yang macem-macem." Ucap Dariel dalam hatinya. Dia meletakkan lagi Handphonenya diatas nakas dan memilih beristirahat. Satu tangan Dariel terlipat ke belakang. Dia jadikan bantalan kepalanya sendiri. Senyuman kini mengembang di bibir tipis miliknya.
"Jadi...begini rasanya pacaran yang bener." Dariel berbicara sendiri dan tersenyum lagi saat mengingat Ara. Wanita itu benar-benar membuat tergila-gila bahkan rasanya dia tak pernah bertindak seromantis ini pada wanita. Dia tak pernah memanggil sayang sebelumnya, dia tak pernah berperilaku terlalu manis untuk mendapatkan perhatian. Dariel senang, kehadiran Ara memberi warna baru dalam hidupnya. Mimpi buruknya yang selalu menganggu setiap malam pun perlahan tersamarkan oleh mimpi indah bersama Ara. Dia tak pernah merasa sendiri lagi. Kini di setiap malam yang selalu Dariel pikirkan apakah bisa keluarga Ara menerimanya?. Jelas keluarga mereka bukan keluarga sembarangan. Kaya, terhormat dan bermartabat, apa iya mau menerima Dariel yang seperti ini?. Satu hal yang selalu membuat Dariel mengundur waktu berkenalan dengan orang tua Ara adalah karena dia takut mendapatkan penolakan lagi sementara saat ini perasaanya pada Ara sedang begitu merekah. Dia belum siap untuk patah hati untuk kesekian kalinya. Kalaupun harus, Dariel lebih memilih mengulur waktu sebentar saja. Sebentar saja bersama Ara sampai dia bisa menerima bahwa mungkin Ara akan pergi seperti wanita yang selama ini dia dekati.
***To be continue