Mendengar itu Zen muak sekali. "Cih! Penting apanya? Kau saja langsung menikah seorang wanita lain padahal baru beberapa bulan Maria meninggalkanmu!"
Taffy tersenyum pahit. "Aku tahu tapi aku tak punya pilihan lain karena keluarganya meminta pertanggung jawaban karena aku kedapatan satu kamar dengannya."
"Aku ... merindukannya akhir-akhir ini dan karena datang Lizzy aku merasa Maria berada di sampingku. Boleh tidak aku menjadikannya teman?" Zen menyorot serius Taffy tapi dia tak menemukan ada kebohongan.
Entah kenapa Zen merasa bingung sekaligus bimbang. Bingung karena cerita Maria dan Taffy sama sekali tak terhubung. Bimbang sebab Zen tak mau Taffy mendekati Maria, pada akhirnya Zen pergi tanpa menjawab pertanyaan Taffy.
Sedang Taffy hanya diam. Dirinya tak menuntun harus Zen menjawab sebab pria itu tahu bahwa mana ada seorang suami yang membiarkan istrinya didekati pria lain.
Sampai di dalam kamar yang ditempati olehnya bersama Maria, istri palsunya mendekat dengan pandangan gusar. "Apa yang kau bicarakan dengan Taffy? Dia tak mengancammu bukan?"
Zen menggeleng. "Dia ingin berteman denganmu." Sepasang mata Maria lantas membulat, dirinya agak sedikit tak percaya dengan perkataan Zen.
"Kenapa?"
"Karena dia merasa Lizzy sangatlah mirip dengan Maria."
"Kau serius?"
"Tentu saja kenapa aku harus berbohong padamu." Maria membuang pandangan. Dia tampak berpikir keras.
"Kenapa dia melakukan hal itu? Aku sama sekali tak mengerti. Dia melakukan hal yang buruk padaku tapi sekarang dia merindukanku. Omong kosong!"
"Kau serius bukan dengan ucapanmu, maksudku apa benar dia melakukan hal yang buruk padamu?" Mendengar itu Maria menatap balik tajam Zen.
"Kau tak percaya padaku?"
"Bukan begitu, hanya saja aku merasa aneh. Ini benar-benar diluar dugaan. Aku berusaha untuk mencari celah kalau dia berbohong tapi Taffy terlihat sangat serius."
"Menurutku ada dua kemungkinan, pertama dia memang menyesal karena telah bersalah lalu yang kedua dia berakting. Tapi ... ada yang baiknya kalau aku tak menolak. Biarkan aku mendekatinya nanti aku akan menyelidiknya sendiri."
"Baiklah terserah kau saja. Ah, aku lelah sekali." ucap Zen sambil membaringkan diri di atas ranjang yang luas. Maria lantas terpaku.
"Ap-apa kau akan tidur di sana?" Zen mengangguk.
"Sudah beberapa hari ini aku tidur di atas sofa jadinya tubuhku kaku. Boleh, kan aku tidur di sini?"
"Tapi aku tidur di mana nantinya?"
"Ya di sini juga." jawab Zen sambil menepuk ruang di sampingnya.
"Kau gila ya?! Kita ini bukan suami istri!"
"Tapi semua orang tahu kalau kita suami istri." Tampak raut wajah ragu dari wanita itu membuat Zen membuang napas pendek.
"Semua akan baik-baik saja, aku tak akan melakukan apa pun terhadapmu." Walau tampak kurang yakin, Maria mendekat pada sisi tepi ranjang yang lain. Dimatikan lampu kamar tersebut dan penerangan diganti dengan lampu tidur yang letaknya di samping ranjang.
Maria duduk sebentar lalu menatap sebentar pada Zen yang tenang saja. Kedua mata pria itu terpejam. Mungkin saja sudah tertidur. Detak jantung Maria berdetak lebih cepat dari biasanya ketika wanita itu membaringkan diri di samping Zen.
Dia kembali melirik Zen dan hal tersebut dia ulangi sampai yang ditatap muak. Rasa tidak nyaman menciptakan suatu kejahilan dalam benak pria itu. Diambilnya ponsel lalu menyalakan senter.
Zen lalu menyenter wajahnya sendiri kemudian mendekati Maria. Dia bisa melihat betapa tegangnya punggung sang istri palsu. Tak berapa lama Maria kembali menoleh namun yang dia tatap sekarang adalah pria hantu. "WAA!!"
"Kyaaa!" Maria terperanjat, dia reflek mundur dan hampir saja jatuh dari ranjang. Namun Zen dengan cepat menarik tubuh Maria alhasil Maria tertarik lalu jatuh dalam dekapan si suami palsu.
"Sialan kau Zen!" hardik Maria. Tangannya langsung memukul keras dada Zen namun pria itu sama sekali tidak terlihat kesakitan.
Dia sempat-sempatnya memutar mata bosan. Zen lalu menangkap kedua tangannya Maria membuat mata garang Maria bertemu dengan mata teduh milik Zen.
"Semua itu salahmu juga, siapa suruh kau melihatku terus. Memangnya ada apa sih?" Maria mengerjapkan matanya. Sifatnya yang galak sekarang berubah menjadi gugup menyebabkan Zen heran.
"Ak-aku hanya tak terbiasa saja jika kau satu ranjang denganku. Maafkan aku ...." Maria kemudian bungkam dan malah membenamkan wajahnya di dada milik Zen.
"Ya tak apa-apa." Zen kemudian menarik dagu Maria agar bisa menatapnya. Keduanya saling menatap lama dan tiba-tiba saja mereka tersenyum.
"Kenapa kau tersenyum?"
"Lucu saja, kalau kau?"
"Sama sepertimu bedanya kau yang lucu." ucap Zen sembari menyelipkan rambut milik Maria. Dia kembali menarik dagu Maria lebih mendekat lalu sebuah kecupan singkat mendarat di bibir Maria.
Sontak Maria termangu, dia mengerjapkan mata mencoba untuk mencerna apa yang terjadi dari tadi. "Kau menciumku?" tanya Maria masih dengan tatapan terkejutnya.
"Iya mau lagi?" Zen tidak malu kembali mengulangi mencium Maria dan kali ini lebih lama, penuh hasrat juga dominan.
Tanpa melepas ciuman, Zen meletakkan Maria di bawahnya lalu melepas sebentar. Keduanya saling menatap lekat kemudian kembali lagi menempelkan bibir satu sama lain. Maria yang terbawa suasana melingkarkan tangan ke jenjang leher milik Zen.
Dirangkulnya erat seakan tak membiarkan Zen berpisah darinya. Larut dalam ciuman memabukkan, Maria merasakan sensasi yang benar-benar asing dan dia tak bisa mendefinisikannya, pikirannya tak berjalan ditambah dengan sentuhan Zen yang makin membuat Maria tak bisa menahan gelora napsu.
"Zen ...." Senyuman tipis muncul di bibir milik Zen saat mendengar Maria menyebut namanya. Zen memandang Maria sambil membelai wajah wanita itu.
"Kau mau lebih?" Maria menggigit bibirnya. Dia masih bisa merasakan tangan Zen terus menggerayangi tubuhnya.
"Kau nakal!"
"Itu semua karena kau tahu. Siapa suruh kau manis sekali." Semburat wajah di pipi Maria tampak sekali membuat Zen menyeringai. Pria itu kembali berusaha mencium Maria namun Maria cepat-cepat menutup mulut Zen.
"Aku tak mau! Pergi sana!"
"Eh padahal dari tadi kau suka menciumku? Kenapa sekarang mau berhenti?"
"Ah jangan menggodaku! Aku tak mau melakukannya lagi!" ucap Maria seraya menyingkirkan tangan Zen. Dia juga merapikan piyamanya yang sedikit berantakan.
Maria lalu menarik selimut agar menutupi tubuhnya dengan begitu Zen tak akan menyentuhnya lagi. "Baiklah, aku tak akan mengganggmu tapi asal kau tahu saja kau benar-benar handal dalam mencium."
"Zen! berhentilah menggodaku!" Zen terkekeh. Dia kembali membaringkan diri di samping Maria yang masih menutup. Sekarang Maria tampak seperti gundukan.
Zen membuang napas lalu memejamkan mata dan akhirnya tertidur. Maria baru menanggalkan selimut setelah mendengarkan dengkuran halus dari Zen. Ditatapnya baik-baik dan mendekat secara perlahan lalu mengecup pipi milik Zen.
"Terima kasih aku benar-benar bersyukur kau mau membantuku tapi tolong jangan sukai aku ... jangan buat aku menyukaimu karena aku masih trauma yang namanya berhubungan dengan seorang pria."