Chereads / Pasangan Balas Dendam / Chapter 19 - Tampak Seperti Pasangan

Chapter 19 - Tampak Seperti Pasangan

Ketiganya kemudian berjalan menuju dapur lalu duduk saling berhadapan. "Zen mana?" tanya Maria begitu melihat hanya mereka saja yang datang tapi tidak dengan pemilik rumah.

"Dia ada di ruang kerjanya Nona nanti juga akan datang." tepat sekali setelah itu Zen datang menghampiri mereka. Dia lalu mengambil posisi di samping Maria.

"Panjang umur Om, baru dibicarakan sudah datang." Zen hanya menanggapi dengan senyuman.

"Ayo kita makan semuanya." Mulailah Selly dan Sesil mengambil lauk pauk untuk mereka taruh di piring. Setelah selesai, keduanya pun menyadari gerak-gerik Maria beserta Zen.

"Zen kau mau makan sayur?" pria itu mengangguk.

"Tolong berikan aku yang banyak." lanjut Zen yang disambut dengan anggukan oleh Maria.

"Daging atau ikan?"

"Ikan saja." jawab Zen singkat. Di mata si kembar mereka tampak sebagai pasangan suami istri. Maria mengambilkan lauk pauk untuk Zen seperti seorang istri sementara Zen hanya menjawab saja pertanyaan Maria.

"Wah kalian sudah seperti pasangan." Gerakan Maria terhenti begitu saja sementara Zen memandang bingung kedua keponakannya itu.

"Kenapa kalian tak menikah saja? Kalian itu cocok kok." lanjut Selly tersenyum genit pada mereka berdua.

Masih menampakkan kebingungan, keduanya saling bertatap lalu kembali lagi bertanya pada si kembar. "Apa maksud kalian? Kami tak mengerti."

Sesil mendengus. "Kalian tak sadar ya, yang dari tadi kalian lakukan itu sama seperti suami istri. Aku heran, kalian mengatakan hanya rekan bisnis tapi sekarang kalian malah seperti pasangan yang baru menikah. Sebenarnya hubungan kalian apa sih?"

Maria tegang sendiri sementara Zen menampakkan senyuman. "Atas dasar apa kalian bertanya seperti itu?"

"Karena tingkah kalian. Lebih baik Om nikah ya sama Tante Maria, kalian serasi kok." ucap Selly. Di mata si kembar, Zen dan Maria adalah pasangan yang sempurna.

Maria tampak peduli dengan Zen begitu juga sebaliknya, mengingat kalau Zen adalah tipe pria yang sibuk dengan urusan perusahaan sehingga Selly dan Sesil merasa perlu seorang wanita.

Pernah suatu kali ada seorang teman perempuan mereka yang menanyakan tentang Zen tapi sayangnya Zen tak tertarik namun berbeda dengan Maria, Zen tampak nyaman jadi selagi mendapat wanita yang cocok kenapa tidak?

"Benarkah? Lalu bagaimana pendapatmu Maria?" tanya Zen melihat pada Maria yang masih terpaku.

"Hah?"

"Menurutmu apa kita bisa menjadi pasangan yang baik?" senyuman Zen yang tampak membuat debaran jantung Maria semakin kencang hal itu menciptakan kegugupan luar biasa.

"Mm .. itu ... aku ... tak tahu juga." balas Maria tergagap.

"Sepertinya itu bukan pertanyaan yang pas? Begini saja kita ganti saja. Maria?"

"Ya?" sahut Maria namun wanita itu tak menoleh.

"Maria, ayo lihat aku." Maria masih tak bergeming. Zen agak sedikit kesal dan langsung menyentuh dagu Maria lalu diarahkan untuk menatap matanya dengan lekat.

Untuk beberapa saat Maria terlena dalam pandangan sayu Zen. "Maria, dengarkan aku. Apa kau mau jadi istriku?"

Maria tampak kaget. Selintas bayangan tentang pernikahannya di masa lalu berputar cepat di dalam otaknya sehingga Maria memutuskan pandangan. Debaran jantung tidak ada lagi melainkan wajah pucat dan raut wajahnya terlihat resah.

"Maaf aku tak enak badan. Aku harus pergi." Maria tak memberikan ketiga orang itu untuk berbicara malah langkahnya bergegas menuju lantai dua rumah.

"Kalian sudah lihat bukan reaksi Maria, bagaimana?" tanya Zen menggunakan nada datar tak lembut dari tadi membuat Selly dan Sesil bingung.

"Asal kalian tahu saja Maria dikecewakan oleh suaminya sendiri. Hal itu yang membuatnya juga trauma dengan pernikahan jadi jangan pernah membahas tentang pernikahan di depannya lagi. mengerti?" Sesil dan Selly kemudian mengangguk.

Raut wajah mereka tampak bersalah. Mereka bertiga lalu makan siang bersama-sama tanpa adanya Maria.

Di balkon rumah, Maria tampak resah. Memori tentang pernikahannya selalu saja berputar dibenaknya yang menciptakan rasa sedih, kesal marah bercampur. Dia ingin sekali meluahkan semua rasa itu tapi dengan cara apa.

Yang bisa dia lakukan hanyalah mengerang dan menangis. Maria ingin sekali menghapus kenangan manis sekaligus pahit kenangannya bersama Taffy. Dalam kekalutan Maria yang hampir membuat dirinya kehilangan akal, datanglah Zen dengan membawa nampan yang berisi makan siang untuk wanita itu.

Dari sudut pandangnya, Zen bisa mengerti Maria merasakan tertekan. Dia lalu meletakkan nampan tersebut di meja lalu mendekat dan menyentuh bahu Maria.

Maria menoleh, memperlihatkan matanya yang berkaca-kaca sementara napasnya tak teratur. "Kau tertekan ya?" Wanita itu langsung mengangguk.

"Lepaskan saja. Tak perlu tegar terus, apa kau mau pelukan?" Sekali lagi Maria menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah.

Lengan Zen terbuka dan Maria masuk ke dalam pelukan Zen. Dia mendekap erat lalu menangis sekencang-kencangnya. Zen membalas pelukan sembari mengusap lembut Maria yang terisak sampai Maria tenang.

Maria menarik dirinya dalam pelukan Zen sambil mengesat air matanya sendiri. "Sudah baikkan?"

"Iya." balas Maria serak.

"Kalau begitu ayo makan." Maria lalu melirik pada nampan yang dibawa Zen lalu memandang sekali lagi pada pria itu.

"Kau membawakanku itu?"

"Iya, kau dari tadi tak makan jadi aku membawakannya. Ayo makan." Zen lantas menarik Maria ke sofa lalu memberikan nampan itu pada Maria.

"Terima kasih."

"Sama-sama. Maafkan keponakanku yang berucap enteng, mereka tak tahu kalau kau punya masalah dengan soal pernikahan."

"Tak apa-apa. Aku juga seharusnya tak terbawa emosi."

"Makanlah dari pada makanannya dingin." Maria memberikan senyuman tipis lalu menyendokkan nasi ke dalam mulut.

Zen terus berada di sana melihat hingga Maria melahap habis makanannya. "Lain kali kau harus makan siang bersama kami."

Setelah itu Zen bergerak pergi beserta nampan yang sudah kosong. Awalnya Maria menahan Zen tapi Zen tak keberatan dan menolak Maria yang ingin membawa piring kotor itu.

"Sudah aku duga kalau mereka itu cocok tapi yah bagaimana lagi kita tak bisa melakukan apa-apa jika Maria masih trauma yang namanya pernikahan." ucap Sesil sambil melihat Maria dari kejauhan.

Dia melihat segalanya bagaimana Zen menenangkan Maria dan lain-lain bersama dengan Selly. "Tapi menurutku, Maria sudah punya perasaan pada Om kita cuma dia belum menyadari."

"Bagaimana dengan Om Zen? Aku cukup kaget saat tiba-tiba ekspresinya berubah 180 derajat."

"Hmm ... aku sih tak tahu tapi bagaimana caranya memperlakukan Maria, aku yakin Om juga punya perasaan sekali lagi mereka berdua tak menyadari hal itu."

"Jadi; apa yang harus kita lakukan?"

"Kita buatlah mereka sadar dengan perasaan mereka masing-masing, bagaimana sih kau ini?"

"Tapi bagaimana caranya? Kau itu psikiater, kau tahu bukan bagaimana caranya membuat dua orang menyadari kalau mereka jatuh cinta?" pertanyaan dari Selly mendapatkan delikan dari Sesil.

"Ya aku ini psikiater tapi bukan mengurus hal yang begituan. Aku bukan penyihir! tapi aku tahu kita harus melakukan apa. Hanya perlu dorongan sedikit saja."