Sejak kejadian itu, Emma berusaha keras terus menjalani hidupnya senormal mungkin. Ia menyelesaikan revisinya dengan baik dan mengumpulkan hasil skripsinya tersebut. Sembari mencari pekerjaan, ia juga mulai mencari-cari tempat tinggal baru. Ia menemukan yang termudah dicari adalah di apartemen yang sama dengan Wolfy, namun berbeda tower.
Ia mendapat sewa di lantai satu dengan tipe studio, ukurannya kecil hanya untuk satu orang, namun cukup nyaman dan harga sewa juga lebih terjangkau. Emma mengurus segala surat-surat dan dokumen yang dibutuhkan dengan cepat, dan ia akan pindah mulai bulan depan. Salah satu alasannya mencari tempat tinggal di apartemen itu juga karena ia berharap sesekali masih bisa melihat Wolfy. Dalam hatinya, ia masih sulit membayangkan ia tak bisa melihat Wolfy lagi.
Emma mulai mempacking barang-barangnya yang akan dia bawa turun ke apartemennya sedikit demi sedikit. Ia jarang bertemu Wolfy lagi, Wolfy mulai menghilang lagi seperti dulu. Terkadang saat Emma tak kuasa menahan keingintahuannya, ia keluar kamar pura-pura ke toilet saat Wolfy baru saja pulang. Tubuhnya dipenuhi luka goresan lagi, seperti saat ia berlatih dengan kawanan.
Emma: "Wolfy masih didalam kawanan? Badannya dipenuhi luka goresan setiap malam."
Gaia: "Kurasa begitu. Kudengar dari Bram, Wolfy dipaksa untuk stay di kawanan oleh Luna. Dasar wanita jalang itu!"
Emma membaca isi chat nya dengan gaia kemudian menghela nafas kesal. 'Pasti si Luna itu mengancam Wolfy sampai Wolfy mau saja menurutinya!' Emma melempar handphone nya ke kasur dengan kesal.
Hari terakhirnya telah tiba, Emma membawa tas ransel dan membawa boneka ikan di tangan kirinya. Ia tersenyum kecil memandang ke seluruh kamarnya, menutup pintu perlahan dan berjalan ke arah pintu apartemen. Langkah Emma terhenti, Wolfy baru saja masuk ke apartemen dan memandang Emma sejenak kemudian melirik boneka ikan dan ransel yang Emma bawa.
Wolfy: "Kamu mau pergi?"
Emma: "Hari ini aku pindah. Barang-barangku sudah di pindah ke apartemenku yang baru." Emma mengakhiri penjelasannya dengan senyum kecil.
Wolfy: "Oh..Malam-malam begini? Mau kuantar?" Emma menggeleng sambil masih tersenyum.
Emma: "Nggak perlu. Aku cuma dibawah aja, lantai 1." Mata Wolfy melebar menggambarkan keterkejutannya.
Wolfy: "Oh, ok."
Emma: "Thank you bantuanmu selama ini. Aku pergi ya.." Emma tersenyum lagi, dan berjalan keluar, meninggalkan Wolfy yang masih terdiam ditempatnya berdiri.
Emma masuk ke apartemen kecilnya, melihat ke sekeliling dan menghapus air mata yang tak berhasil dibendungnya. 'hanya beberapa bulan saja, tapi rasanya dia sudah membuatku terbiasa dengan kehadirannya di sekitarku. Membuatku merasa kesepian di tempat baru ini..'
Belum pulih perasaan sedih Emma, namun ia sudah disibukkan dengan persiapannya untuk bekerja. Pikirannya teralihkan karena ia cukup sibuk mempersiapkan diri untuk mulai bekerja. Setiap minggu ia menjalani interview dan test psikologi untuk pendaftaran menjadi karyawan perusahaan.
Emma mendapat pekerjaan di suatu perusahaan sebagai asisten pribadi direktur marketing. Di hari petamanya bekerja ia merasa beruntung setelah melihat bos nya. Namanya Pak Jonathan, umur 33 tahun. Bisa menjadi direktur di umur muda, tentu saja dia bukan orang biasa. Ia adalah anak dari salah satu pemegang saham di perusahaan tersebut.
Tubuhnya kurus tinggi, wajahnya tampak tegas, menunjukkan kepercayaan dirinya yang tinggi. Bagi karyawan wanita di perusahaan ini, pak Jonathan terlalu sempurna untuk menjadi nyata hingga mereka menjulukinya pria yang keluar dari kartun. Emma tak menyangkalnya, ia pun jatuh hati sejak pertama kali melihat sang bos. Apalagi sang bos sangat ramah kepada semua orang, ia menjadi sosok yang dikagumi karyawan wanita dan dibenci oleh para lelaki.
Pak Jonathan: "Emma, Emma? Kamu melamun?" Emma tersentak dari lamunannya, buru-buru merespon pertanyaan dari bos nya.
Emma: "Ah, maaf pak. Ada yang bisa saya bantu?" Pak Jonathan tersenyum kecil melihat asistennya yang tampak gugup.
Pak Jonathan: "Saya ada meeting di luar. Kamu ikut saya ya. Bawa tas mu, nanti saya antar pulang."
Mereka meeting hingga malam dan makan malam bersama client. Setelah selesai, mereka pun berpamitan dengan client.
Pak Jonathan: "Maaf ya sampai malam begini. Memang client yang satu ini suka ngobrol."
Emma: "Oh iya nggak apa-apa pak. Dan terima kasih saya diantar pulang. Sebenarnya nggak perlu, saya bisa pulang sendiri kok pak." Emma dan pak Jonathan baru saja masuk ke dalam mobil untuk pulang bersama.
Pak Jonathan: "Jangan, nggak aman perempuan pulang malam sendirian. Lagi pula rumah kita lumayan searah." Pak Jonathan memberi senyum simpulnya sambil menjalankan mobil.
Pak Jonathan: "Gimana setelah tiga bulan kerja disini? Betah nggak?" Emma mengangguk dan tersenyum.
Pak Jonathan: "Saya baca resume kamu, kamu jurusan teknik industri. Kenapa kamu malah jadi asisten pribadi?"
Emma: "Hmm.. saya baru lulus, dan nggak pilih-pilih pekerjaan. Karena saya butuh segera, jadi saya terima yang pertama terima saya aja." Jawaban Emma membuat pak Jonathan tertawa.
Pak Jonathan: "Langkah awalmu akan menentukan kemana kamu akan melangkah. Saya rasa kamu lebih cocok di posisi asisten manager, beberapa tahun ke depan kamu bisa jadi manager. Jalur itu lebih tepat, tapi saya rasa saya nggak bisa merelakan kamu pindah." Emma menoleh memandang wajah Pak Jonathan dari samping. Pak Jonathan meliriknya sesaat dan tertawa kecil.
Pak Jonathan: "Meskipun kamu nggak punya pengalaman kerja, tapi kamu cepat belajar. Saya suka. " Emma tersipu, menundukkan kepalanya menutupi senyum lebarnya yang tak bisa ia tahan.
Pak Jonathan: " Lobby yang mana?" Pak Jo bertanya setelah mobilnya sudah memasuki apartemen Emma.
Emma: "Lurus saja pak, yang itu." Emma menunjuk tower apatemen di depan. Emma melepas seat belt, berterima kasih dan berpamitan dengan pak Jo. Saat ia turun, dan menutup pintu mobil, pak Jo membuka jendela mobil.
Pak Jonathan: "Jelaskan ke pacarmu biar nggak salah paham saya antar kamu ya."
Emma: "Oh saya nggak punya pacar pak, tenang saja, nggak ada yang salah paham kok." Emma melambaikan kedua tangannya untuk menjawab pak Jo. Pak Jo terdiam sesaat dan tersenyum.
Pak Jonathan: "Baguslah." Ia mengangguk sekali dan menjalankan mobilnya, meninggalkan Emma yang kaget dengan jawaban singkat itu. Emma masih terdiam terkejut dengan jawaban ambigu pak Jonathan.
'Apa maksud jawabannya? baguslah karna nggak ada yang salah paham, atau baguslah karna aku nggak punya pacar? Apa maksudnya?!' Emma berteriak dalam hati, menoleh memandang mobil pak Jo yang semakin menjauh dan hilang di ujung jalan. Emma menggeleng-gelengkan kepalanya, 'nggak, nggak mungkin lelaki kartun itu tertarik padaku yang biasa saja ini. Sadarlah Emma!'.
Emma berjalan menuju lobby apartemen, melihat ke sekitar dan menghela nafas. 'Wolfy nggak pernah terlihat...' Ia berjalan menjauhi lobby apartemen Wolfy, berjalan pelan menuju lobby apartemennya yang berbeda dua tower dari tower apartemen Wolfy.
Emma selalu menyempatkan diri melewati apartemen Wolfy, berharap suatu saat ia bisa melihat Wolfy walau hanya sebentar saja. Namun selama beberapa bulan ini, ia tak pernah bertemu Wolfy. Emma mencari tahu kepada teman-teman di kampus, Wolfy sudah menyelesaikan sidang skripsinya sekarang. 'Apa yang dia lakukan sekarang?' Emma tenggelam dalam pikirannya yang campur aduk sambil berjalan mendekati apartemennya yang tinggal beberapa langkah.
Ares: "Mau menemaniku minum?" Emma menoleh dan tersenyum saat melihat Ares menunjukkan plastik belanjaan.
Emma: "Masuklah." Emma membuka pintu apartemennya.
Ares: "Wah... kecil juga yah tipe studio. tapi rapih. Menyenangkan." Ares duduk di meja makan dan membuka beer kaleng yang baru saja ia beli. Ia membuka dua kaleng dan memberikan satu kaleng kepada Emma.
Ares: "Kudengar kamu sudah bekerja sekarang." Emma mengangguk, memberikan senyum kecil kepada Ares.
Ares: "Hmm.. tampaknya kamu menyukai pekerjaanmu, dilihat dari ekspresimu." Emma tertawa dan mengangguk.
Emma: "Menyenangkan, dan aku punya bos yang sempurna. Dia seperti karakter yang keluar dari webtoon." mereka berdua tertawa bersama.
Ares: "Oh ya?! Pasti pria idaman sekali ya." Emma mengangguk meyakinkan.
Ares: "Baguslah, kamu bisa cepet-cepet move on dari si serigala." Emma terdiam, pikirannya bercampur antara 'baguslah' yang dikatakan pak Jo, dan 'move on dari si serigala'.
Ares: "Atau kamu sudah move on? dan jatuh cinta sama si bos?!" Emma tertawa dan mengangkat kedua bahunya, memberi jawaban mengambang pada Ares.
Emma: "Bagaimana pekerjaan membasmi para monster? Lancar?" Ares mengangguk setelah meneguk beer nya.
Ares: "Lancar. Tapi aku mulai kewalahan, belakangan di daerah sini jadi semakin banyak. Aku sedang menyelidiki kenapa bisa begitu. Kau tahu kejadian bunuh diri yang terjadi satu bulan lalu? No, no, itu bukan bunuh diri. Ada yang aneh dengan kejadian itu. " Emma membelalakkan matanya, tertarik dengan penyelidikan yang dilakukan Ares.
Ares: "Aku mencari tahu tentang kejadian itu, dan aku menemukan goresan-goresan yang kurasa nggak normal ada di situ. Kurasa orang itu diserang, tapi monster itu tak bisa dilihat oleh manusia biasa, bisa jika levelnya tinggi dan memang berniat untuk menunjukkan wujudnya. Dan monster tak bisa membuat goresan. Mereka hanya menghisap energi dari manusia."
Emma: "Jadi ada makhluk yang menyerang manusia? di apartemen? Aneh sekali. Makhluk apa kira-kira?"
Ares: "Aku belum menemukannya. Aku nggak bisa mendeskripsikan makhluk hanya dengan goresan. Itu yang membuatu frustasi, aku nggak bisa menemukan jawabannya hingga sekarang." Ares meneguk habis beer nya, dan membuka kaleng baru.
Emma pun meneguk habis beer nya, membuang kaleng-kaleng beer yang sudah kosong ke tempat sampah. Sampahnya sudah terlalu penuh, sehingga ia membungkus sampah untuk dibawa ke tempat sampah besar di depan agar petugas kebersihan bisa mengambil sampah tersebut.
Emma membuka pintu apartemennya untuk membuang sampah, namun ia terkesiap, menahan nafasnya saat melihat sosok yang ia cari berada beberapa meter di depannya. Wolfy tampak kaget karena Emma tiba-tiba membuka pintu, Kakinya tampak ingin pergi namun Emma terlanjur melihatnya. Wolfy memutuskan tetap berdiri di sana, menatap Emma dengan tatapan yang tajam dan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Emma. 'apa yang sedang ia pikirkan?' Emma bertanya dalam hati.
Emma: "Wolfy?"
EPILOG
Wolfy baru saja pulang dari kerja sambilan saat ia melihat Emma turun dari sebuah mobil di depan apartemennya. Ia bersembunyi di balik dinding aar Emma tak bisa melihatnya. 'Lagi? dia masih saja berhenti di lobby apartemenku.' pikirnya sambil berusaha mendengar percakapan Emma.
Pak Jonathan: "Jelaskan ke pacarmu biar nggak salah paham saya antar kamu ya."
Emma: "Oh saya nggak punya pacar pak, tenang saja, nggak ada yang salah paham kok."
Pak Jonathan: "Baguslah."
Wolfy mengerutkan kedua alisnya saat mendengar percakapan itu, kemudian ia menyadari bahwa lelaki itu tertarik pada Emma. Ia mengintip sebentar, namun langsung menyembunyikan diri saat Emma mulai melihat ke kanan dan kiri. Wolfy menundukkan kepalanya, wajahnya tertutup oleh topi yang ia gunakan. 'Apa dia masih mencariku?' Wolfy menghembuskan nafas dan berjalan masuk ke apartemennya.
Wolfy berhenti dilantai satu, mencari Emma. Ia berusaha untuk tak mempedulikan Emma, tapi ia berpikir, kali ini saja, ia ingin melihat Emma masuk ke apartemen dengan aman. Ia mendengar suara Ares, dan ia mengikuti arah suara itu. Wolfy melihat dari kejauhan, Emma dan Ares masuk ke dalam. Wolfy berhenti beberapa meter di depan apartemen Emma, mendengar suara Emma yang sudah lama tak ia dengar.
Emma: "Menyenangkan, dan aku punya bos yang sempurna. Dia seperti karakter yang keluar dari webtoon."
Ares: "Oh ya?! Pasti pria idaman sekali ya."
Ares: "Baguslah, kamu bisa cepet-cepet move on dari si serigala."
Ares: "Atau kamu sudah move on? dan jatuh cinta sama si bos?!"
Wolfy tak mendengar jawaban Emma, Ia hanya mendengar keduanya tertawa. Ia tersenyum kecil dan menundukkan kepalanya kemudian tenggelam dalam pikirannya. Wolfy tertegun saat Emma tiba-tiba muncul di depannya. 'Rambutnya sudah panjang, dan dia mengubah rambutnya jadi bergelombang. Sangat cocok untuknya.'