Chapter 10 - BAB 10

Di rumah, Heswa sudah siap berada di dapur. Lagi lagi Heswa mengikat rambutnya ke belekang dan memasang celemek. Baru saja Heswa mau memulai memasak ternyata ponsel yang terletak di meja makan berdering nyaring. "Ibu" nama yang selalu Heswa tunggu.

"Halo! bu...Apa kabar?" Heswa sumringah saat menerima telepon itu.

"Baik Wa, kamu gimana? lagi apa sekarang?" Suara bu Sari yang hangat dan merindukan.

"Alhamdulillah bu baik. Aku lagi mau masak buat nanti malam!" Heswa duduk santai di atas kursi makannya.

"Bagaimana kabar Jati? dia lagi kerja ya?" Heswa mengeryitkan dahinya karena takut ibunya kecewa kalau tahu Jati memang sedang bekerja.

"Mas Jati baik juga kok bu. Iya hari ini mas Jati lagi kerja. Tadi katanya ada kerjaan penting yang gak bisa ditinggal. Tadi aku juga ke kampus jadi memang kita udah harus jalani kegiatan lagi." Heswa menjelaskan semua ke bu Sari.

"Ya sudah. Kamu masak yang enak buat Jati. Perempuan bisa menunjukkan rasa cinta dari masakannya. Karena setiap mereka memasak tidak hanya memikirkan racikan bumbunya tapi juga memikirkan orang yang akan menikmatinya. Ya sudah ya, ibu mau melanjutkan pekerjaan rumah ibu." Bu sari segera menutup teleponnya setelah memberi wejangan ke Heswa.

Heswa kembali kedapur dan memasak untuk makan malam Jati dan dia nanti. Belum selesai memasak Jati sudah membuka pintu dan bergeas menuju dapur. Jati melihat pemandangan yang menurutnya indah di dapur itu.

"Mas Jati sudah pulang?" Heswa kaget karena mendapati suaminya sudah berada di kursi makan seraya memandang lekat kearah Heswa.

"Iya, kamu udah selesai masaknya?" Jati mulai mencium bau yang menyeruak di penjuru dapur.

"Belum, sebentar lagi mungkin baru selesai. Mas jati mandi dan ganti baju dulu saja!" Jati hanya menggelengkan kepalanya dan kembali menatap Heswa yang sedang asik dengan panci dan penggorengan.

Saat asik memandang istrinya ponsel Jati berdering nyaring dan membuyarkan semuanya.Ponsel Jati terus berdering nyaring. Jati segera menerima panggilan dari mamanya itu.

"Halo ma, ada apa?" Jati masih memandang Heswa yang sedang memasak.

"..."

"Iya, sekarang?"

"...." Jati menutup sambungan teleponnya.

"Wa, mama mau mampir kesini. Udah deket katanya. Cuma mau nganter kue aja" Jati menjelaskan lalu pergi dari hadapan Heswa.

Sekitar sepuluh menit berlalu bu Grace menampakkan batang hidungnya. Bu Grace hanya ingin memberikan kue yang tadi dia beli lalu bergegas pulang karena tak ingin mengganggu waktu anak dan menantunya.

"Hallo sayang, kalian lagi ngapain?" Tanya mama Grace sambil memasuki rumah setelah mencium pipi anaknya.

"Heswa lagi masak ma!" Jati lega karena sudah berganti pakaian santai sebelum mamanya datang.

"Wah, mama ganggu kalian ya?" mama Grace mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum pada Jati.

"Ga kok ma! Mama ikut makan di sini ya?" Heswa merayu mama mertua bulenya.

"Hehehmmm... Tidak tidak mama sudah ada janji sama papa makan bersama. Mama kesini cuma mau nganterin kue ini. Tadi kebetulan mama beli deket sini." Mama Grace menyodorkan sekotak kue yang tadi dibawanya. "Ya udah, mama langsung pulang ya!" Sambung mama Grace berpamitan pada kedua anaknya.

"Hati hati ma, salam untuk papa!" Jati dan Heswa mengantar mama Grace menuju mobil.

Heswa segera kembali dengan kegiatannya sedangkan Jati hanya melanjutkan memandangi pemandangan favoritnya.

Menjelang malam Jati dan Heswa makan bersama. Mereka masih melanjutkan pembicaraan soal saling mengetahui satu sama lain. Pertanyaan yang terlontar mulai dari hari ulang tahun, warna favorit, tempat makan favorit, dan lain lain.

***

Tiga hari kemudian, pagi pagi sekali Jati menuju kekantor perusahaanya dengan penuh semangat. Ya, hari ini Jati naik jabatan menjadi CEO. Pak Hermanto sudah menyiapkan semuanya termasuk pesta perpisahan kecil kecilan untuk para karyawan kantornya.

"Selamat Jati, akhirnya naik jabatan juga" Ujar Rizal yang berbisik di telinga sahabatnya.

"Thanks" Jati menjawabnya sambil tersenyum puas.

"Kenapa kamu tidak mengajak Heswa ke sini?" Papa Jati begitu terkejut begitu Jati datang tanpa istrinya di hari penting ini.

"Dia masih belum siap terkenal pa!" Candaan itu berhasil membawa tawa pada keduanya.

"Dia memang unik. Seperti mamamu yang super itu." Kembali tawa bahagia terlihat jelas dari wajah keduanya.

Jati pulang kembali ke rumah setelah semua selesai. Tak lupa Heswa juga menyiapkan pesta kecil untuk mereka rayakan berdua. Heswa juga membelikan dasi baru sebagai hadiah untuk suaminya.

"Selamat mas, ini hadiah buat kamu Heswa mencium tangan suaminya." Sebenernya tadi Heswa sudah berencana ingin memeluknya tapi tiba tiba detak jantungnnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Karena takut merusak suasana Heswa mengurungkan niatnya yang sudah ditata sebelum kedatangan Jati.

"Thanks. Apa ini?" Tanya Jati penasaran

"Buka saja!" Heswa berlalu menuju meja makan yang sudah terhidang makanan favorit Jati.

"Wah...dasi baru!!" Jati tersenyum bahagia. Jati menemukan ide baru untuk semakin intim dengan istrinya. "Sepertinya kamu harus belajar memasangkan dasi untuk suamimu" Sambung jati yang berhasil Heswa melongo.

"emmh... Siapa takut." Heswa menjawab dengan percaya diri. Sebenarnya Heswa masih belum percaya dengan apa yang dia ucapkan tapi dia yakin akan melakukannya.

***Keesokan harinya saat Jati akan berangkat kerja dia keluar kamar dengan membawa dasi ditangannya.

"Heswa!!" Jati menyodorkan dasi yang ada di tangannya.

"Iya" Heswa menuju ke arah jati mengambil dasi itu dan berusaha menyimpul dasi untuk Jati. Tak bisa dipungkuri tangan Heswa terasa lemas saat harus memasangkannya di leher Jati.

"Boleh pegang kepala kamu?" Jati meminta izin untuk mengusap lembut kepala Heswa. Heswa hanya mengangguk lemah sambil menutup matanya.

"Hiks, maaf ya mas. Kamu..." Belum selesai Heswa mengatakan bebannya, Jati segera meraih tangan Heswa untuk menenangkannya.

"Jangan dipikirin. Aku tahu ini memang sulit tapi kita juga harus yakin dan terus berusaha. Aku menikahimu untuk menjadi istriku, untuk menjadi orang yang special sampai kapan pun. Jangan menangis lagi. Ini bukan salah kamu jadi jangan meminta maaf seperti itu. Kita harus terus berusaha agar kamu bisa menghilangkan trauma itu." Jati begitu sakit ketika melihat air mata Heswa yang mengalir di pipinya. Entah mengapa ini pemandangan yang buruk baginya.

"Iya mas...makasih mau menerima kondisiku." Heswa menghapus air matanya dan memberikan senyum manisnya pada Jati.

"Aku hari ini cuma sebentar saja. Sebelum makan siang aku usahakan langsung pulang. Masak yang enak ya!" Jati kembali mengusap puncak kepala Heswa.

Jati bergegas pergi menuju kantor setelah berhasil membelai kepala istrinya. Jati memang sudah berjanji pada Heswa dan dirinya sendiri untuk tidak bertindak seenaknya saat ingin menyentuh Heswa. Sebisa mungkin dia akan meminta izin dulu pada istrinya.