Satu hal yang harusnya kamu tahu, cintaku padamu tidak akan pernah berkurang sedikit pun.
-Ataya Marchella-
ATAYA mengepalkan tangannya pada sesosok pria berambut hitam lurus, deretan gigi yang tersusun rapi serta lekukan tubuh yang sempurna nan dihiasi kulit eksotis itu dalam pancaran sinar rembulan. Tubuhnya kaku, bergidik ketakutan. Rangkulannya ke tubuh Rezvan semakin erat. Embusan angin malam menyapa kehangatan mereka berdua, saat Arga belum menjumpai salah seorang dari mereka yang kala itu tengah bermain 'petak umpet'.
"Aku takut," ucap Ataya dengan menyandarkan kepalanya pada bahu kanan Rezvan.
"Aku mendengar suara aneh di sekitar sana Rezvan." Suaranya yang lirih itu kembali merenggut jutaan kata dalam pikiran Rezvan.
Rezvan saat ini mengalami kaku yang menjalar pada dirinya saat mendapat perlakuan dari gadis kecil yang tengah bersandar di bahunya itu.
"Kamu jangan khawatir, aku ada bersamamu. Dan lupakan suara itu." Rezvan mengusap rambut hitam lurus Ataya yang tergerai dengan sempurna.
Malam semakin larut, namun apa kabar dengan Arga? Bagaimana aksi pencariannya?
"Hei ... kalian berdua di mana? Sudah hampir satu jam aku berkeliaran mencari kalian, sudahlah cukup, aku menyerah. Malam sudah semakin gelap, apa kalian tidak ingin pulang?" teriak Arga membuat Ataya seketika melupakan rasa takutnya.
Mata gadis itu, menatap lihai bola mata Rezvan yang terpaku di hadapannya.
"Rezvan, kau dengar itu. Arga menyerah. Kita harus segera menemuinya dan keluar dari persembunyian ini, ayo!!" pekik Ataya memecahkan keheningan malam itu.
Rezvan menurut saja, ia keluar dari tempat persembunyian itu bersama Ataya, mereka menemui Arga yang saat itu tengah bersandar pada sebuah pohon beringin, tentu saja ekspresi wajahnya sangat lucu. Napasnya terengah-engah, perut buncitnya itu mengatup berkali kali serta secucuran keringat yang membasahi seluruh pakaian yang ia kenakan malam itu.
"Ho ... jadi ini yang kamu lakukan, pantas saja kamu tidak berhasil menemukan kami. Dasar anak manja!" omel Ataya mencubit pipi tebal milik Arga itu.
Arga hanya menyurutkan tatapannya pada mata gadis kecil itu, dan berlalu.
"Sudahlah, aku lelah."
Rezvan berjalan menghalangi Arga, ia menegakkan jari kelingking tangan kanannya dan menatap Arga yang sudah dipenuhi oleh rasa kesal dan gelisah itu.
"Oke, aku minta maaf atas semua ini."
Ataya merapatkan tubuhnya juga ketika itu.
"Aku juga, jangan ngambek gitu dong. Aku tahu kamu sudah bersusah payah mencari kita, tadi aku hanya bercanda. Arga senyummm dong ...." sergah Ataya kemudian.
Malam itu, jari kelingking milik mereka masing-masing bersatu dalam naungan persahabatan. Ataya, Arga dan Rezvan. Bahkan rembulan dan bintang kerap menjadi saksi bisu di antara mereka bertiga. Sungguh balutan rasa yang benar-benar menempatkan Ataya pada zona kenyamanan.
-0o0-
Sorak ria berkumandang, saat beberapa para pembisnis sudah menyelesaikan rapatnya, saat jam menunjukan pukul sebelas malam. Dialog-dialog tersebut melahirkan satu kekuatan penuh yang mengganggu, suara ricuh. Tentunya.
"Ataya, pulang sekarang!!" ucap suara maskulin yang menyerbak ke telinga gadis itu dengan cara dadakan.
"Lain kali kau tidak perlu lagi sekolah basket ataupun bermain bahkan bertemu mereka lagi, Ayah melarangmu!!" Tambah seorang pria mapan, dengan kemeja hitamnya itu membuat Ataya bingung dibuatnya setelah menjalankan sesi pertemuan dengan semua temannya kala itu.
Seketika Ataya tersentak, ia kemudian menatap ayahnya ragu, entah apa yang membuat pria yang selama ini tergolong jarang berteriak pada putrinya kini justru berteriak di hadapan para sahabatnya.
"Ayah, apa maksud Ayah? Ataya tidak keberatan punya teman seperti mereka, lagian apa salah mereka sampai Ayah berkata seperti tadi kepada Ataya dan bahkan tiba-tiba. Bukankah selama ini Ayah menggangap mereka semua baik?" Gadis itu mengucapkan kalimatnya dengan polos. Tak paham apa yang Galih ucapkan.
"Ada alasan tersendiri yang tidak bisa Ayah jelaskan sekarang, yang pasti Ayah sudah tidak terikat lagi dengan mereka, jadi Ayah minta jauhi mereka. Dan kalian jangan dekati Ataya lagi. Ayo sayang kita pergi dari sini." Tanpa tahu apa alasan sebenarnya, pria itu mencoba membawa Ataya jauh dari kedua sahabatnya itu. Namun Ataya masih tak mengerti dengan situasi ini, gadis sebeblas tahun ini diam dalam sejuta tanda tanya dibenaknya. Langkahnya terhenti tak mengikuti langkah ayahnya.
Ayahnya telah berjalan terlebih dulu menuju ke tempat parkiran mobil yang ada di sebuah rumah makan itu, tampak semakin jauh punggung itu terlihat. Ataya menatap kedua sahabatnya dengan tatapan sendu, ia tak tahu apa yang harus ia perbuat. Benaknya terlalu berat untuk pergi dan melupakan mereka, namun bagi gadis sebelas tahun itu ayahnya adalah segalanya, hanya dia satu-satunya kehidupan tersisa yang ia miliki. Ia pun akhirnya mantap melangkahkan kakinya perlahan, mengikuti langkah kaki ayahnya. Dengan berat hati, gadis itu membuat jarak di antara mereka bertiga semakin ada dan terlihat.
"Ataya tunggu ...."
Rezvan beralih mendekati gadis kecil itu, lalu memeluknya. Tidak, air mata itu jatuh di pundak Ataya dengan deras, sederas hujan yang turun bersama kencangnya angin, dan guratan-guratan awan hitam. Tangannya mencengkeram tubuh gadis kecil itu dengan kuat.
Di sisi lain Ferdi Pradika mengusap punggung putranya itu, melihat bagaimana kesedihan yang tengah ditimpa putranya kala itu ketika dirinya menguatkan pelukannya pada Ataya.
"Maafkan Papa Van, semua ini salah Papa." desisnya.
Rezvan melepaskan pelukannya. "Papa apa yang Papa lakukan pada Ayah Ataya? Kenapa dia sampai melakukan ini pada kami dan begitu tiba-tiba. Ada apa Pa?" Rezvan menimpalkan keluh kesahnya pada Ferdi.
"Apa Papa ingin aku membenci Papa sendiri hanya karena ini? Aku tidak ingin Ataya pergi jauh dariku. Ia milikku, lakukan sesuatu Papa."
Ferdi hanya menatap diam putranya, dan sedikit membendung setetes air matanya.
"Putraku, kamu belum cukup mengerti untuk hal ini. Papa harap kamu mengerti maksud Papamu. Papa akan menceritakan saat kau dewasa nanti."
"Apa yang tidak ku mengerti Pa? Aku sudah dua belas tahun tahun, aku bukan anak kecil lagi." ucap Rezvan menaikkan nada suaranya.
Ataya gemetar menyaksikan perkelahian antara seorang anak dan ayah, hatinya teriris melihatnya. Baginya itu semua karena Ataya. Ataya yang selalu membuat siapa saja yang ada di dekatnya merasa terbebani dan menderita, bahkan ia telah menciptakan pertikaian antara Rezvan dan Ferdi.
"Hentikan Rezvan jangan salahkan papamu!" sulut Ataya yang kemudian mencurahkan air matanya itu.
Ataya berjalan mendekati Arga dan Rezvan, ia mengepalkan kedua tangannya pada masing-masing tangan mereka.
"Arga, Rezvan, kalian jaga diri baik-baik yah. Ataya pasti akan merindukan kalian." Rintih suara itu menggema ke atas langit, dalam suatu lingkar persahabatan.
Mereka saling mengangguk, tak bicara. Kini, langkah Ataya pun mulai bisa diperhitungkan seberapa ia akan pergi jauh, jauh dari mereka semua.
Tangannya melambaikan tanda perpisahan serta merta mengukir senyum manisnya itu.
Sebelum gadis itu pergi menjauh, Rezvan kini beruapaya menggenggam tangan mulus Ataya, mencoba sekuat mungkin untuk menyikapi kepergiannya secara tiba-tiba.
"Barbie ku, jaga dirimu baik-baik." ucap kali terakhir Rezvan acap kali Ataya melangkah semakin jauh, jauh menghilang dari sudut pandangnya.
Ataya tersenyum, ia merasa sedikit lega, lukanya tidak sedalam dan sesakit yang ia rasakan tadi. Ataya yakin Rezvan akan mengingatnya sampai kapanpun. Kata 'Barbie' yang sudah lama tak ia dengar dari mulut Rezvan itu. Dan akhirnya ia kembali mendengarnya.
"Selamat tinggal pangeran Kenku ...."
pikirnya.