Aku harap pertemuan kembali ini tidak akan lagi menyakiti.
-Ataya Marchella-
Perumahan Grand Zafira Harmoni, blok F nomor sembilan belas. Akhirnya Ataya tiba di perumahan elit itu. Perumahan dengan design interior megah kini tengah memenuhi bola mata Ataya. Rumah bertingkat, dengan paduan cat warna hijau toska dan putih dengan bentuk simetris sedikit membuat Ataya menampakinya kagum. Benar-benar arsitek yang mahir. Ataya berdecak kagum, mengingat bagaimana apartemennya yang sungguh berbanding terbalik.
Ataya terus menekan bel, mengisyaratkan ada tamu di luar sana. Tak lama kemudian, keluarlah sesosok wanita dengan tampang keibuan dengan jilbab yang terpaut menutupi rambutnya, serta tangan kanannya membawa peralatan kebersihan.
"Sore Bi, saya Ataya temennya Pradika. Saya ke sini ingin bertemu dengannya." sapa Ataya dengan kalimat 'ramahnya'.
"Oh iya, masuk atuh Neng." jawabnya dengan logat sundanya.
Ataya semakin kagum menampaki isi rumah itu, beragam ruangan tertata dengan rapi. Paduan warna dinding abu-abu membuat ruangan itu terlihat bersih, harum pengharum ruangan menusuk ke hidung Ataya. Ataya beralih pada sebuah sofa berwarna coklat keemasan, dan duduk di sana. Menunggu bi Minah yang tengah memanggil tuan mudanya itu.
Ataya melihat deretan foto yang tertaut di setiap dinding ruang tamu tersebut, penataannya benar-benar sempurna. Gadis itu terus saja merutuki dirinya betapa ia sangat kagum dengan rumah itu. Bermacam-macam foto terpajang di sana tentu saja dengan lain event.
"Benar-benar keluarga yang sempurna." desis Ataya menampaki foto kelurga Pradika itu dengan pose gembira tentunya. "Andai saja keluargaku seperti ...." gumam Ataya menghentikan kalimatnya.
Gadis itu akhirnya melanjutkan penelusurannya pada deretan foto-foto lainnya. Membelai setiap pigura yang terpaku di sepanjang dinding. Pandangannya terhentikan saat mendapati sebuah foto hitam putih, berkualitas rendah. Tampak di sana seorang pria kecil tengah menjunjung sebuah piala kejuaraan basketnya. Ataya tersenyum melihatnya, melihat senyum yang tampak pada pria itu. Ataya mendekatkan foto itu lebih ke matanya, memfokuskan tulisan yang terukir di piala itu, namun tidak bisa. Kualitas foto itu benar-benar jelek, fotonya juga buram sekali. Tapi Ataya rasa, ia tidak terlalu asing menampaki semua foto-foto tersebut. Sayangnya, dia lupa siapa mereka?
"Eh lo ngapain di situ!!" deru suara lantang mengejutkan Ataya yang kala itu tengah melihat-lihat foto keluarga Pradika tanpa izin.
Ataya menghentikan aktivitasnya, dan berjalan mendekat ke arah pria itu. "Cepat katakan lo mau apa?"
Rezvan mendekatkan wajahnya pada Ataya, dan menepis seketika. Lalu bergerak menjauhi Ataya.
"Gue mau lo bantuin gue caranya nembak cewek." ucapnya seketika.
Ataya terbelalak mendengar kalimat pria itu barusan, mengingat tampangnya yang tidak punya koleksi teman cewek, hanya ada Felice. But she is not really girl, tampangnya agak seperti pria. "Hellow? Gue nggak salah denger kan? Lo serius mau nembak cewek? Siapa? Mana ada cewek yang mau sama lo."
"Tutup mulut lo, mana ada cewek yang mau nolak Rezvan Mahendra Pradika. Pria tampan, famous dan tajir ini, yang ada tuh cewek matanya katarak."
Ataya tersentak mendengar perkataan Rezvan itu, "Apa yang dia katakan, Rezvan Mahendra Pradika?" batinnya. Tubuhnya seketika mengalami penaikan suhu, dan AC yang ada di dalam ruangan itu tak menggoyahkan Ataya. Ataya hanya bisa memantapkan pikirannya untuk benar-benar memastikan jika yang ia dengar barusan tidak salah.
"Woy kok malah nglamun si."
"Rezvan, itu nama asli lo?" Ataya mengucapkannya dengan terbata-bata.
Rezvan menaikkan alisnya tak paham dengan tingkah gadis itu yang mendadak gugup. "Rezvan Mahendra Pradika." timpalnya. "Kenapa?"
Benar-benar hati Ataya kembali runtuh, hancur saat mendapati dirinya kembali bertemu dengan Sang Ken. "Van, jadi ini lo? Kenapa gue ngga sadar. Dan apa? Lo mau nembak cewek lain." batin Ataya semakin teriris. "Van, apa lo udah ngelupain Barbie?" gumamnya sekali lagi. Hampir, hampir saja air mata milik Ataya jatuh sederas air hujan.
"Loh kok lo malah nangis? Gue paling anti sama cewek nangis tau, gue nggak tegaan. Bawaanya pengen meluk." gidiknya tanpa ragu.
Ataya berusaha menjaga pertahanannya itu, ia tak ingin Rezvan tahu siapa dirinya, percuma saja jika ia mengatakan tentang dia adalah Ataya Marchella Narendra. Tak mempan, dia sudah menemukan barbie lain. "Peluk saja Van, gue kangen." desisnya di dalam relung hatinya itu. Ataya mengusap beberapa air matanya itu, "Dasar modus, gue cuma kelilipin debu kali."
"Kalo gitu sini gue tiupin." Rezvan mendekatkan wajahnya pada mata gadis itu, lalu meniupkan debu pura-pura yang Ataya setting.
Kali ini Ataya benar-benar ingin kembali pada saat-saat di mana dirinya dan kedua temannya itu bersama, di sana Ataya mendapat kehangatan yang lebih dari sekedar api unggun yang menyala di malam hari.
"Thanks Van."
Rezvan menganggut dan tersenyum, senyum itu? Kali ini Ataya sudah menemukan atas pertanyaan yang selalu bergelut di dalam pikiranya. Senyum yang mengingatkan Ataya dengan seseorang, jawabannya adalah Rezvan.
"Aku harap pertemuan kembali ini tidak akan menyakiti lagi, be as attentive as possible Ataya."