Cinta adalah saat aku bercerita tentang dirimu, dan tersenyum saat melihat wajahmu.
-Rezvan Pradika-
Istirahatt!!
Bunyi bel berkumandang menyerbak ke seluruh ruangan, menghentikan segala pekerjaan berbau 'pelajaran' itu. Renita mengakhiri pelajaran Bahasa Inggrisnya dalam kalimat see you next time.
Ataya mengerjapkan kedua matanya, menarik seluruh kekuatannya penuh lebih untuk menenangkan pikirannya setelah sekian lama ia kembali mendapatkan materi Bahasa Inggris.
"Van, kantin gak?" Seorang cewek tinggi, cantik, lekukan tubuhnya sempurna menyuarakan suara serak khasnya pada pria lantang di sebelah Ataya.
Pria yang Ataya taksir namanya Pradika itu hanya melengos mendapati ocehan cewek itu. "Mager." ucapnya. Ia menimpalkan tatapanya pada Ataya, mengisyaratkan sesuatu "Sama lo aja sana."
"Gue?" sergah Ataya dengan jari telunjuknya mengacungkan pada dirinya.
"Buruan jadi nggak Van?" Felice menaikkan suara seraknya. Menunggu kepastian ringan dari Rezvan Pradika. "Keburu bel masuk bego!"
"Nggak mau gue, lo aja sana, sama tuh anak baru." timpalnya.
Felice kembali menata setiap katanya, agar dirinya tidak akan salah dalam menguatkan rasa amarahnya. "Lo ikut gak?"
"Engga, lo aja. Gue nggak laper."
"Bilang aja lo nggak mau kan jauh-jauh dari gue." Mulut receh itu menggantungkan kalimatnya, membuat tenggorokan Ataya hampir tersedak, mendapati perkataan gila Pra-di-ka.
"Jaga mulut receh lo ya!"
Felice tak kuasa lagi menghadapi aksi demi aksi antara Rezvan dan Ataya, ia melangkahkan kaki keluar sebelum sepuluh menit bel masuk akan berdering, wajahnya menguatkan jika Felice sedikit kesal. Untung tampang cewek tomboy sepertinya, dia nggakan alay buat ngapresiasin rasa kesalnya.
Ataya merapikan tumpukan buku yang berserakan di atas mejanya, dan setelahnya ia pergi ke balkon untuk mengamati secara seksama sekolah impiannya ini. Mungkin sejenak, ia tak memikirkan jika lima tahun terakhir ia hanya sekolah privat, home schooling. Tidak punya teman bicara, selain ayah dan gurunya itu Gibran.
"Chell, bengong aja."
Ataya sedikit lambat dalam merangsang balik ketika seseorang memanggilnya dengan kata 'Chell'. Nama yang akan diabadikan dalam sejarah hidupnya, pria dihadapannya itu yang pertama kali mengubahnya. Ataya tersenyum padanya, tanpa beradu kalimat di mulutnya.
Pria yang diduga anak OSIS kini mendekatkan badannya pada tubuh Ataya, hampir bersentuhan. "Kenalin gue Fathan." ucapnya memperkenalkan diri. "Fathan Bagaskara." lanjutnya.
"Senang berkenalan denganmu, Fathan." balas Ataya bersunggut.
"Btw, lo udah dapet angket ekstrakulikuler sekolah ini kan?" Pertanyaan antusiasnya pada Ataya.
"Udah gue isi juga, btw makasih. Lo baik banget emang nggak kaya Pradika."
Fathan menimpalkan senyum wibawanya itu pada Ataya, membuat Ataya hampir tenggelam dalam kendali. Siapa wanita yang tidak mau memiliki pria seperti Fathan, benar-benar gambaran pria idaman. Jika dipikirkan sungguh berbanding terbalik dengan kelakuan Pradika.
"Lo isi apa?"
"Kepo ah." ledek Ataya melarikan diri. Membuat candaan bersama Fathan, berlari bersorai mengitari sekolah itu.
Fathan mengejar tentu saja, mereka berkeliaran mengganggu jalan orang yang lewat. Bagaikan kucing dan tikus, memancing perhatian dari orang-orang sekitarnya. Ataya berlari tak kenal arah, baginya menghindari kejaran tak masuk akal dari Fathan sangat sulit, ditambah ia menggunakan rok panjangnya itu. Rambutnya bergelantungan di belakang seperti ekor kuda.
"Ataya awas di depanmu." teriak Fathan.
Ataya menghantamkan tubuhnya ke pelukan Rezvan, tangannya menggertak pada dada bidang milik Rezvan Pradika, sementara kepalanya menyampik minuman bersoda di tangan Rezvan yang membuat minuman itu harus menumpahi seragam Ataya dan Rezvan. Eratnya pelukan di antara keduanya kembali menjadi bahan perbincangan.
"Aaah ... baju gue!" Kalimat spontanitas yang Ataya keluarkan.
"Lo lagi? Baju gue juga kotor bego. Kenapa jadi lo yang marah? Lo yang salah, harusnya gue yang marah!" Sorot mata tajam Rezvan kini melahap mata Ataya yang berisikan segala rasa amarah. "Lo tuh ya? Bisa ngga si nggak ganggu hidup gue. Semenjak lo ada, lo tuh selalu aja nyari masalah ke gue. Kenapa si?!" Rezvan mengutarakan segelintir kata menyeramkan itu.
"Bukannya lo yang nyari masalah ya?" sahut Ataya tanpa ragu.
"Gue? Udah jelas-jelas lo yang salah, masih aja nggak ngaku! Inget ya, sejak ada lo hidup gue jadi nggak tenang di sekolah ini! Dasar perusak!" Rezvan mengatakannya dengan nada sangat ketus, bahkan terdengar cukup mengerikan.
Hati Ataya tertutup serapat mungkin, seperti ada kerusakan di dalamnya akibat benturan keras dari perkataan Rezvan. Ia tak membuka mulutnya, pandangannya tertunduk. Entah kenapa seketika mulutnya terkunci begitu rapat, tak kuasa membuka. Tidak seperti biasanya, apa yang Ataya rasakan? Kenapa? Ia tak bisa membela dirinya dalam kalimat pedas yang biasa ia tuturkan.
"Nggak usah bentak Chella gitu Van! Kalo lo gentle man lo nggak perlu kasar sama cewe." Fathan akhirnya maju menghadapi amarah Rezvan Pradika di hadapan banyak orang, sekarang kedua sahabat itu berseteru.
Tubuh Ataya bergetar menyaksikan perseteruan yang terjadi, pucat pasi menghiasi wajah mungilnya itu. Tangannya menampakkan keringat dingin yang kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya.
Rezvan menyunggingkan senyum sinisnya. "Kalo gitu jaga cewek lo! Jauhin dia dari jangkauan gue." ucapnya yang kemudian berlalu.
"Ataya bukan cewek gue."
"Oh bukan? Jangan sok pahlawan gitu deh!!"
Suasana ricuh itu, lagi-lagi Ataya yang membuatnya. Ia menitikan air matanya menyadari apa yang sudah pria itu katakan. Perkataan yang menusuk sedalam relung hatinya, hatinya terluka. "Pria itu benar, gue hanya perusak." batinnya menatapi seragam kotornya yang terkena siraman minuman soda Rezvan.
"Pradika tunggu." Ataya menggertakkan langkahnya dan berlari menuju Rezvan.
Pria itu membalikkan wajahnya, menatap gadis yang tengah berlari menghampirinya.
"Lo nggak akan marah lagi kalo gue minta maaf kan?" ucap Ataya mencoba berkata setenang mungkin. Dan mata barbie itu beradu menatap Rezvan dalam penyesalan. "Gue minta minta maaf." lanjut Ataya mengulurkan tangannya.
Rezvan hanya melototinya, dan mengabaikan tangan putih itu lalu pergi dengan segerombolan temannya.
"Van, apa yang lo lakuin pada Chella benar-benar kelewatan!!" timpal Fathan mengejutkan, kembali membela Ataya. Di sisi lain, Rezvan bahkan tak merespon apa yang Fathan katakan barusan.
Ataya semakin terperangkap dalam rasa bersalahnya, kali ini emosinya meluap tak lagi dapat dibendung. Pertahanannya telah hancur. Perlakuan Rezvan barusan benar-benar membuat Ataya kehilangan akal dan sejuta kalimat pedasnya dalam kesehariannya.
"Pradika ... maafin gue, gue mau nglakuin apapun asalkan lo mau maafin gue." teriak Ataya sekencang mungkin.
Rezvan menghentikan langkahnya ketika mendengar perkataan Ataya, ia berbalik arah padanya, dan berjalan mendekatkan tubuhnya pada Ataya "Lo serius?" tanyanya.
Ataya mengangguk.
"Pulang sekolah lo ke rumah gue, alamatnya ntar gue kasih tau. Nggak boleh telat." tukasnya.
"Lo mau apain Chella?" Kali ini Fathan yang menyahuti. "Chell, jangan terima tawaran itu, gue mohon." Kalimatnya barusan mengarah pada gadis itu.
"Bukan urusan lo, dia bukan cewek lo kan?" Rezvan mencari simpati Ataya agar ia benar-benar pergi ke rumahnya saat itu juga. "Satu hal lagi, jangan bawa Fathan. Gimana lo sanggup?" sambungnya.
"Oke, gue mau." sahut Ataya.
"Baguslah." Rezvan membuat garis senyum di tepi bibirnya, menandakan jika perseteruan itu dimenangkan dirinya. "Gue tunggu." ucap kali terakhir sebelum akhirnya pergi meninggalkan.
"Chell, apa yang lo lakuin."
"Gue pasti baik-baik saja Than, lo nggak usah khawatir."
Fathan menghela napas, tak berdaya merubah keputusan Ataya.