Chereads / You Need Her, Not Me / Chapter 2 - YNHNM | Kesatu

Chapter 2 - YNHNM | Kesatu

Jangan palingkan tatapan itu dariku, sejujurnya aku merindukannya.

-Ataya Marchella-

ATAYA memacu matanya untuk tetap konsisten mempertahankan keseimbangannya dalam membuka kelopak matanya dengan sedikit bantuan tangannya itu, ia berusaha menguatkan tatapannya. Bagaimana ia bisa sengantuk ini? Oke ini semua karena film action yang ditontonnya sewaktu malam dan berhasil menyita waktu tidurnya.

Pria berkumis tipis itu mendekatkan wajahnya pada putri semata wayangnya yang tengah melahap sepotong roti selai yang sudah disiapkan oleh bik Surti untuk sarapan pria paruh baya dengan putrinya itu, beginilah keadaan setiap kalinya semenjak kepergian Hasna, Surti-lah yang tiap kali membuat sarapan untuk mereka.

Di suatu meja makan, Galih tampak mendapati tingkah putrinya yang kurang fokus dalam melahap sarapan paginya. Dengan nada maskulinya, ia mengutarakan gelak nada, "Sayang, ada apa? Ayah lihat kamu tidak bersemangat untuk sekolah barumu? Bukankah ini sekolah impianmu?" ucapnya.

Ataya mengeratkan kuciran rambutnya, dan mengusap wajahnya itu, lalu membuka mata selebar mungkin menyikapi Sang ayahnya. "Seperti yang Ayah lihat, aku sangat bersemangat untuk sekolah baruku." ucapnya.

Galih hanya tertawa melihat tingkah putrinya, ia tahu persis jika Ataya tengah berakting seolah-olah dia tidak apa-apa.

-0o0-

"Dah Yah, hati-hati di jalan ya." gadis itu berpamitan dengan ayahnya.

"Semangat belajarnya ya sayang ...." balas Galih saat dia mengantarkan putrinya itu di sebuah sekolah yang sudah Ataya impikan.

Ataya berjalan tanpa ragu, pandangannya kali ini segar, tidak mengantuk seperti tadi. Matanya begitu banyak melihat pemandangan yang ada di sekolah itu, tentu saja banyak anak yang melihatnya balik, mungkin karena asing.

Kucir rambut itu bergerak mengikuti gerak langkah Ataya yang lengkap dengan seragam osis SMA miliknya, ia mengaitkan tangannya pada sisi kanan dan kiri tas, ia berjalan bak seorang putri raja. Dengan penuh kesenangan ia akhirnya menjejakkan kakinya di SMA itu, satu kata WOW.

Ia hanya perlu mencari di mana letak kantor guru, lalu dia akan dengan segera menemukan kelas barunya itu, dan yah! Tak lama bagi gadis berusia enam belas tahun itu, kehidupan pribadinya selalu mengajarkan Ataya untuk 'ramah' dengan siapapun dan kapanpun.

Begitu banyak sorot mata yang menampakkan kekaguman pada gadis yang tengah melangkah dengan lihainya, aroma parfumnya bertebaran di sepanjang jalan yang ia lalui.

Sebuah ruangan minimalis dengan design estetik akhirnya berhasil Ataya masuki, ruang guru. Jajaran meja dan kursi guru serta beberapa peralatan penunjang lainnya tampak menjadi suatu ciri khas ruangan tersebut. Ataya, gadis yang ramah itu menyapa setiap guru yang ia lalui, tak luput ia juga mengumbar senyum kebanggaannya.

"Sebelas Mipa lima." gumam gadis itu setelah mendapat suatu informasi, dengan segera mungkin ia berkelana mencari di mana letak kelas barunya.

Di sebuah tempat terbuka, dengan sebidang petak, langkahnya terhenti, matanya memusatkan pandangannya pada objek yang tengah ia amati, segala obsesi yang dulu sempat ia gali, namun apa daya jika obsesi untuk hal itu terhenti hanya karena suatu persoalan.

Benaknya mulai larut dalam kenangan masa lalunya, berharap semua kenangan itu akan kembali hadir bersamanya, namun tidakk! Ataya bukan gadis seperti itu, ia tak ingin membuat ayahnya kembali sedih.

Lamunan itu seolah-olah membuat Ataya tampak seperti patung, seluruh tubuhnya mengeras, menarik di antara otot-otot lainnya hingga sebuah bola basket meluncur dengan segera melesat di bagian depan wajah mungil itu, hampir saja mengenai wajah Ataya itu. Namun kemampuan skill ahlinya dalam bermain basket tak perlu diragukan. Dengan lihainya dia mengambil posisi badan untuk sedikit membungkuk dan menghindari bola basket tersebut. Ia tak mempermasalahkan kejadian itu, bahkan Ataya menganggap itu suatu persoalan yang wajar. Dan pada akhirnya ia kembali memfokuskan langkahnya mencari kelas barunya.

"Hei kemarikan bola itu!" ucap salah seorang yang tengah bermain basket itu, membuat Ataya menghentikan langkahnya.

Ataya melirik bola basket yang tergeletak persis di samping langkahnya, ia menatapnya semu. Tak ingin memori yang telah ia lenyapkan itu kembali hadir terpaku.

"Woy lo denger nggak si omongan gue?!" timpalnya semakin kencang.

Gadis itu bersedekap mengamati pria bersuara lantang barusan yang kini sudah ada di depan matanya, "siapa si lo, beraninya neriakin gue kaya gitu?" sahut Ataya menghantam perkataannya.

"Lo nggak tahu siapa gue? Lo manusia bukan si?" gidiknya mempertegas.

Ataya semakin tak mengerti dengan ucapan pria gila yang ada di hadapannya itu.

"Gue ke sini bukan mau ngajak ribut sama lo ya, denger gue nggak peduli siapa lo! Dan gue nggak pengen tau siapa lo! Ya lo barusan nanya ke gue, oke gue manusia." Ataya pergi menjauhi pria itu selepas melayangkan dan menyerang pria itu dengan perkataan yang tak terduga.

Pria lantang itu kemudian menarik tangan Ataya sekuat mungkin, menghentikan langkahnya lalu memutar badan Ataya untuk menghadap pada dirinya, jaraknya hanya terpaut tiga puluh cm. Wajah di antara keduanya bertaut dalam satu titik.

"Lo bakal nyesel udah ngomong gitu ke gue!" ancamnya.

"Lepasin tangan gue!" sergah Ataya melepaskan genggaman tangan pria itu.

Tampak raut wajah kesal yang ditampakan pada pria itu, mendapati langkah Ataya yang semakin dari jauh pandangannya.

-0o0-

"Sebelas Mipa lima, akhirnya aku menemukannya." Ataya mengaitkan pandangannya pada sebuah ruangan yang tertata itu. Ia melengguh duduk di sebuah kursi kosong terdepan. Mustahil baginya mendapat kursi di barisan depan seperti itu, tentu dia akan mengalami perubahan fase yang drastis. "Anak rajin." gumamnya.

Bel masuk sudah berdering, sudah menjadi keharusan jika para siswa memasuki ruangan kelas masing-masing. Bertumpuk anak-anak mengambil jalan untuk mendapati sebuah ruangan yang konon katanya akan menentukan masa depan mereka.

"Elo?" Alisnya bertaut mengerut menimpalkan wajah tak suka, "ngapain lo di sini?"

Ataya hanya menatap sekilas pria yang barusan mengajaknya berbicara, enggan untuk menjawab pertanyaan itu. Pria lantang tadi rupanya akan duduk bersama Ataya kali ini, memang hanya tersisa bangku itu yang masih kosong.

Guru dengan seragam batik khasnya pun menjejakan kakinya di depan kelas saat lima menit setelah bel tanda masuk berkumandang. Ia mengaitkan tatapan misteriusnya pada sekelompok siswanya sebelum akhirnya mulai mengeluarkan serangkaian kalimat basa-basi sebagai permulaian.

Pria itu melirik lagi gadis yang masih sibuk menyimak perkataan guru yang tengah berbicara itu. "Awas aja lo macem-macem sama gue." ucap pria itu lagi, kali ini lirih.

Ataya beralih memfokuskan pandangannya pada pria itu "Lo takut sama gue?" pekiknya berselaras getir.

"Sialan, diem lo!!" Jari telunjuknya menunjuk hidung mancung milik Ataya.

Ataya menyingkirkan telunjuk itu dari hadapannya, "Singkirin telunjuk lo ini buat nanti kalo pelajaran telah usai!"

Kata kata Ataya sukses membuat pria lantang itu tutup mulut diam dalam sejuta bahasa.

Ataya pun kembali memfokuskan pandangannya pada LCD proyektor yang sudah terpampang di hadapannya, sesekali matanya melirik pria lantang itu dengan sembunyi-sembunyi. Entah kenapa pancaran matanya kembali mengingatkan Ataya pada salah seorang, tapi siapa?

"Siapa dia?" pikirnya.