Just once, give me a hint as to who the owner is, I am no stranger to recognize him.
-Ataya Marchella-
"Siapa dia?"
Suara dari dalam hatinya terus saja menggertakkan pikirannya ketika ia tengah melamun di ambang khayalan, menampaki guratan-guratan bentuk wajah milik pria yang kini tengah bermalas-malasan di sebelahnya. Ia larut dalam fase 'tak mendengar dan tak melihat'. Ataya merasakan sensasi tubuhnya seperti tengah terbaring di sebuah hutan belantara di mana ia hidup tanpa aturan apapun.
Renita, guru cantik bertubuh mini lagi-lagi menggertakkan suaranya pada dinding-dinding kelas Ataya, ketika mendapati murid barunya itu tidak merespon apa perintahnya.
"Ataya Marchella, silahkan perkenalkan diri kamu." Guru itu kembali mengulang perkataannya entah yang berapa dengan nada selantang mungkin, membuyarakan lamunan Ataya.
Lamunannya pada pria lantang itu seketika sirna, pandangannya kacau mendapati sorot mata yang mengarah licik ke arahnya. Ataya yang sedari tadi melamun, langsung menegakkan tubuhnya itu dan mengambil langkah ke depan kelas untuk melakukan apa yang guru itu perintahkan, "Ah kurang ajar guru itu, secara tidak langsung ia sudah merebut sesi perkenalanku kerena sudah memanggilku dengan nama itu." gumamnya dalam lubuk hatinya.
Sorot mata tampak meraup banyak menuju bola mata gadis kecil itu, ia berdiam sejenak. Menghela napas mengikuti irama hatinya untuk memulaikan sesi perkenalan singkat ini.
"Selamat pagi semua, kenalin gue Ataya Marchella. Kalian bisa manggil gue dengan nama apapun, asalkan masih menyangkut nama lengkap gue." cetusnya.
Nada bicaranya terkesan singkat, tegas dan tidak dibuat-buat. Dan satu hal, dalam sesi perkenalan singkat itu ia bahkan tak mengucapkan sepatah kata 'sopan' karena memakai kata 'gue', ya walaupun Renita masih mensejajarkan bahunya di sebelah Ataya. Entahlah, Ataya 'ramah' kenapa bisa jadi seburuk itu. Untung saja Renita tidak mempermasalahkan kelakuan murid barunya.
"Baiklah seputar perkenalan tadi, apa di antara kalian ada yang ingin bertanya?" lanjut Renita pada murid lainnya.
Tidak ada tanggapan apapun, suasana kelas tampak sepi, mereka hanya melototi Ataya dengan sudut pandang mereka masing-masing. Membuat Ataya berdiri cukup lama di depan.
Di waktu yang sama, suara hembusan napas pria yang tengah tertunduk lesu tepat di hadapan Ataya begitu terdengar hebat, membuat Renita harus angkat tangan menyikapinya. Siapa lagi kalau bukan pria si pemilik suara lantang itu.
"Pradika!! Kembali pada posisi duduk yang benar." Suara Renita menggema sampai ke pori-pori kulit, membuat bulu kidik naik ke atas. Mata jeli Renita memang dibekali untuk menampakki setiap kesalahan yang dilakukan muridnya secara diam-diam. Suaranya begitu mengejutkan setiap murid yang berada di sekitarnya.
Pria itu kemudian menegakkan tubuh dan kepalanya yang sedari tadi bersandar di meja dengan lelapnya, ia bahkan tak pedulikan tentang sesi perkenalan itu. Kali ini, Rezvan mencoba membuka sedikit matanya, dan merapikan kembali rambut yang acak-acakan itu.
Tidak ada perkataan apapun yang terlontar darinya, mungkin sudah menjadi kebiasaan bagi Rezvan untuk tidak meminta maaf kepada siapapun, karena batinnya selalu berargumen bahwa dia benar. Renita hanya menghela napasnya dalam, kembali menyatukan kepingan-kepingan kata dan pikirannya yang kacau barusan.
"Baiklah tidak ada pertanyaan untuknya?" gidik Renita sekali lagi dengan intonasi yang diperlembut dari sebelumnya.
"Chella." celetuk salah seorang dari sudut bangku pojok. "Gue bakal manggil lo dengan nama itu." Pria berseragam OSIS menampilkan senyum khas—nya. Tampak senyum penuh wibawa itu menguatkan akan penampilannya jika dia adalah gambaran pria rajin, pintar serta IDAMAN.
CIE ...
Suara gaduh ricuh seketika bersangkutan di setiap dinding melantunkan setiap suara 'cie' yang mereka semua buat secara kompak sekaligus dadakan.
Jantung Ataya tersentak mendapati perlakuan yang berbau 'cinta' itu dalam dirinya. Ia bahkan tak tahu siapa pria itu, hal ini membuat Ataya kembali menyusun serangkai kata untuk menenangkan pikirannya sekaligus menghantarkan jiwanya pada situasi yang normal.
"Chella, oke nama yang indah." sahut Ataya setengah ragu, menggigitkan bibirnya menampakkan satu giginya itu.
Kembali pada suasana sebiasa mungkin, tidak ada lagi yang berkata. Hanya hening, dan suara udara lewat.
Ataya dengan senangnya berhasil merebut sejuta perhatian banyak orang di kelasnya. Pengalaman pertama dalam penyesuaian dirinya di lingkungan barunya. Ataya kembali pada posisi duduknya, dan terbenam dalam lamunannya kembali, melihat sorot mata pria lantang yang tergerak itu.
"Pradika, itu seperti ..." gumam Ataya sejenak mengingat perkataan Renita barusan. "Ah rasanya tidak mungkin jika Pradika yang Renita maksud barusan adalah Rezvan Mahendra Pradika. Tidakk!! Ataya kau bermimpi. Dia Pradika, hanya Pradika." batinnya.
"Kenapa lo liat-liat gue, ntar suka!" timpalnya sembari tetap mempertahankan posisinya dalam menggoreskan tinta-tinta pada lembaran kertas bergaris itu.
"Siapa juga yang ngeliatin lo!" Ataya mengucapkan kebohongan, karena sejatinya pandangannya memang selalu tertuju pada pria lantang itu.
Pria itu menaikkan alis sebelah kanannya, menyorotkan tatapannya pada mata gadis kecil yang tengah menyunggingkan senyum manisnya lengkap dengan gigi gingsul yang ia punya. "Chell lo waras kan?" pekiknya.
Ataya yang barusan menyadari jika dirinya tengah menjejakan senyum manisnya itu tepat di wajah pria lantang langsung salah tingkah. Apa yang bisa ia lakukan selain itu? Kini mungkin pipinya itu sudah menampakan rona merah dengan sekali saja. "Diem lo, Pra-di-ka."