Pintu kaca terbuka tiba-tiba, padahal sudah dia pasang tulisan "istirahat" di sana. Sonya segera menengok ke arah pintu.
"Oh, Mbak sudah kembali?" Sonya tersenyum ramah kepada wanita berusia 23 tahun yang menjadi atasannya itu.
"Iya, Sunny," Mbak Melda selalu memanggil Sonya dengan sebutan Sunny, katanya, itu lebih unik, cantik, dan pas sekali untuk Sonya.
"Bagaimana tanda tangan kontrak dengan Laura?"
"Emh.." Sonya mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu. "Baik mbak, baik. Semua berjalan lancar, Laura menandatangani kontrak. Walau dia seperti tidak mengingatku sama sekali," nada bicara Sonya meredup, ingin sekali rasanya menangis jika tak memikirkan malu.
"Sunny," Melda menghentikan gerakannya, dia menyadari betul bahwa bawahan yang sudah dianggapnya seperti adik ini sangat menyayangi Laura.
"Jangan begitu, mungkin Laura yang kamu temui tadi sedang menjaga profesionalitasnya saja saat bertemu klien. Aku tau, kamu sayang sekali sama Laura Kecil, tapi itu sudah lama sekali berlalu, kan?" tangan Melda menyentuh punggung Sonya pelan.
"Yah, mbak benar. Mungkin memang keadaan sekarang dan dulu sudah jauh berbeda," Sonya memaksa kepalanya berdiri tegak lagi, walau hatinya masih carut marut kehilangan sahabatnya.
"Profesionalisme itu penting juga Sunny. Dalam bekerja, memang terkadang harus mengesampingkan urusan pribadi. Dan mungkin itu patut untuk kamu tiru ke depannya," Melda tersenyum manis, seperti seorang kakak yang tau betul hati Sonya.
"Tapi, kenapa mbak justru selalu menanggappku seperti seorang adik? Bukankah itu tidak profesional?" Sonya menatap Melda penuh tanya. Namun seperti biasa, Sonya akan mendapatkan jawaban mantap dari atasan kesayangannya itu.
"Sunny, beberapa hal perlu dikecualikan. Dalam bekerja sama, saling bekerja seperti kita, sama-sama membesarkan nama Primary Boutique. Aku tentu sangat menghargai usahamu yang sudah membantuku 2 tahun terakhir. Semua kerja kerasmu tidak sebanding dengan gaji yang kamu dapatkan, dan kamu layak untuk dianggap sebagai keluarga Perusahaan Prima," perempuan bernama lengkap Imelda Prima ini mengesampingkan wibawanya saat bersama Sonya.
"Kamu juga pernah mendengar kan, kalau mbak ini punya adik kembar yang mengalami kecelakaan sewaktu dia berusia enam tahun," Melda menghela nafas panjang, lalu melanjutkan bicaranya, "Itulah sebab mbak juga senang menamaimu Sunny, sebab selalu merasa Sunnyku telah kembali," Wanita itu begitu tulus mengungkapkan. Dia sangat menyayangi adiknya, Sunny.
"Ah, iya mbak. Maaf mengingatkan tentang itu lagi,"
"Never mind. Itu sekaligus pembelajaran buat kamu. O ya, kamu sudah ketemu sama Shandy?"
"Belum mbak, sepertinya belum pulang dari basket. Biasanya kalau pulang langsung mampir sini dulu."
"Anak itu. Selalu saja membuat khawatir. Apa memang harus latihan setiap hari sampai sesore ini?"
"Turnamennya memang akan dilaksanakan lusa mbak," Sonya mengingat.
"Hah, coba kamu telpon Sun, mbak khawatir," Melda mengambil jarum-jarum di bantalan untuk menyusun potongan kain yang akan dijahit.
"Baik mbak," Sonya menelpon Shandy.
"Hallo, kenapa tumben nelpon?" sahut Shandy terengah-engah. Sonya kaget dan langsung menyerahkan telponnya ke Melda. "Ini mbak."
"Speaker aja," Melda meminta.
"Hallo? Kepencet apa gimana Sun?"
"Shan, kamu masih latihan?" Melda bertanya setengah berteriak agar Shandy mendengar.
"Oh, iya Kak. Bentar lagi pulang. Tapi langsung ke rumah aja ya?"
"Loh, bukannya kamu harus jemput Kakak dulu? Mandi di sini aja."
"Emh, nanti aku jemput kalo udah pulang dulu, aku ada perlu sebentar di rumah, oke?"
"Tapi kan Shan,"
"Tutt tutt tutttt..."
"Itu anak bener-bener ya, mau main ke mana tuh, pake acara bilang pulang duluan,"
"Kamu tau kan Sun, dia nggak mungkin pulang duluan, biasanya juga kalo nggak kesini, pasti main lagi, keluyuran,"
"Padahal tanggung jawabnya itu gak kalah besar sama aku, dia kan harus belajar juga bantuin bisnis."
"Hehe," Sonya hanya terkekeh melihat Melda naik darah dan ngedumel tidak jelas. Shandy memang sering pergi sama "temannya".
"Tau gitu kan tadi gak usah bawa mobil aku. Coba sekarang gimana kalau nggak dijemput? Masa mbak mau pulang jalan kaki? Udah tau kalau aku pulangnya malem-malem terus. Dasar anak bandel."
"Mungkin emang ada urusan dulu mbak di rumah," Sonya membela sedikit.
"Ah, masa iya? Nggak mungkin ah. Dia kan begitu, udah biasa bohongin aku Sun."
"O ya mbak, baju ini jadi dipakai Laura buat photo shoot?" Sonya mengambil juntaian kain dan membantu Melda memasangnya.
"Iya, desain kamu cantik banget, mendingan dipakai buat iklanin butik kan? Sayang kalau dijual, biar jadi koleksi aja," Melda tersenyum sambil terus memasang jarum di pinggang manekin.
"Ah, mbak bisa aja. Bukannya mendingan pakai yang rancangan mbak itu? itu kayanya lebih cocok mbak?"
"Rancangan mbak yang mana?" Melda melirik gaun-gaun di manekin lainnya.
"Yang tosca itu mbak, kayak serasa alami, cantik, bikin mood orang jadi baik," Sonya menunjuk manekin di pojok ruang desain tersebut.
"Hmm... Boleh juga, selera kamu bagus," Melda tersenyum lalu menjarumi kain lagi.
"Tapi Sun, mbak boleh tetep jadiin karya kamu ini sebagai koleksi kan?"
"Yah mbak, aku kan kerja di sini, karya yang aku bikin ya itu milik butik ini, jadi semua terserah sama Mbak Melda," jelas Sonya sambil terkikik pelan.
"Mbak pengen ini dipajang pas pameran. Tapi nggak buat dijual. Sayang kan?"
"Hihi, terserah Mbak Melda aja deh aku mah."
"Mbak mau pakai ini sendiri, nanti, kalau mbak nikah," Melda membayangkan dirinya yang menggunakan gaun putih simple, ringan, namun tetap elegan dengan beberapa permata dan payet yang nantinya akan menjadi hiasan.
"Emang kapan mbak jadinya?"
"Hmh..."
"Tauk," Melda mengangkat bahu dan mendengus, mengingat hingga saat ini Viko belum juga melamarnya.
"Mbak sabar aja, siapa tau nanti Mas Viko tiba-tiba datang ke rumah bawa rombongan," Sonya tertawa geli membayangkan Melda yang akan dilamar tiba-tiba.
Melda tak menjawab, mungkin dia juga sedang melamunkan hal yang sama.
Ponsel Sonya bergetar, sebuah pesan mendarat.
"Mbak, aku ijin cek hp sebentar ya,"
"Iya Sunny,"
"Sun, bisa nggak nanti kamu anterin Kakak? Aku belum bisa pulang, nganterin Lia belanja. Kamu jangan bilang-bilang sama Kak Imel."
Sonya melirik Melda sebentar, apa nggak masalah kalau Melda diantarnya. Kalau tau Shandy belum sampai rumah, apa jadinya?
"Mbak, nanti pulang bareng aku aja yuk. Kasian Shandy kalau harus ke sini lagi jemput. Pasti dia capek, abis latihan.".
"Iya sih, yaudah kalau kamu nggak keberatan nggak apa-apa. Lagian ini juga mbak mau cepet-cepet istirahat. Capek seharian ketemu klien sana-sini,"
"O ya, kamu bawa helm dua emangnya?"
"Bawa kok mbak," Sonya cepat-cepat mengantongi hpnya lagi tanpa membalas Shandy.
"Yaudah, yuk kalo gitu beres-beres."
Sonya dan Melda membereskan alat-alat kerjanya. mereka bergegas pulang karena memang searah, dan kebetulan rumah Melda dan kontrakan Sonya nggak begitu jauh.
"Sun, kita makan dulu yuk, asik tuh makan nasi goreng dingin-dingin gini," Melda menelan ludah ketika melintasi tukang nasi goreng pinggir jalan.
"Boleh mbak, tapi depan aja ya, di sana nasi gorengnya enak banget," goda Sonya.
"Oke."
Tukang nasi goreng langganan Sonya itu hampir tiap malam melayani Sonya setelah pulang dari butik. Sonya dan Pak Untung si penjualnya itu juga lumayan akrab. Sudah sejak dia bekerja di butik, Sonya sering memilih makan di sana.
"Waahhh.. ini sih juaraaa. Top," Melda mengacungkan dua ibu jarinya ke Sonya.
"Alhamdulillah kenyang," Sonya mengelus perut yang akhirnya terisi juga.
"Kapan-kapan ajak Shandy juga yuk, biar seru," Melda lanjut menyendok nasi gorengnya lagi.
"Iya mbak," Sonya lebih dulu selesai melahap sepiring nasi goreng pedas.
"Pak Untung, hari ini rame?"
"Rame neng, ini tadi barusan ada ribut-ribut di persimpangan jalan sana."
"Eh? maksud aku warungnya rame pembeli nggak pak?" Sonya terkekeh mendengar jawaban Pak Untung yang salah tangkap.
"Ooohhh. Alhamdulillah neng, lancar jaya," Pak Untung meringis mengacungkan jempol. Melihat keduanya begitu akrab, Melda pun tersenyum diam-diam. Sonya memang selalu akrab dengan semua orang.
"Ngomong-ngomong, ribut kenapa pak di persimpangan?"
"Itu neng, ada orang bawa mobil kenceng banget, trus nabrak trotoar deh. Katanya remnya blong, jadi banting stir dianya."
"Waah? Ada-ada aja. Trus gimana pak?"
"Untungnya sih nggak ada korban neng. Cuma mobilnya mungkin agak luka sedikit."
"Pak Untung mah, mana ada mobil luka. Kalau nggak rusak ya lecet, Pak," Sonya kembali tertawa.
"Iya neng, itu maksudnya. Wajar sih neng, itu soalnya anak muda yang nyetir. Mungkin anak SMA." Sonya tiba-tiba teringat Shandy, dan ekspresinya langsung ditangkap Meldi.
"Mobilnya, jenis apa pak?" Sonya terus menelisik.
"Wah, nggak tau neng, warnanya hitam metalik pokoknya."
"Yang nyetir cowok pak?" Meldi ikut nimbrung.
"Cewek neng. Kayaknya bukan remnya blong, tapi emang nggak bisa nyetir. Untung aja nggak dilaporin polisi. Bisa rumit masalahnya."
"Oh, cewek." Meldi berdiri dan membayar dua porsi nasi goreng.
"Wah, mbak. Jangan. Saya bayar sendiri aja. Jangan dibayarin."
"Udah nggak apa-apa. Nggak apa ya Pak Untung?" Meldi meminta persetujuan.
"Iya neng. Sekali-kali dibayarin temen," Pak Untung meringis.
"Makasih ya mbak,"
"Sama-sama. Anggap aja imbalan karena kamu udah mau temenin makan di sini. Sekaligus rekomendasi makanan enak. Selera kamu emang selalu bagus."
"Biasa aja mbak," Sonya tersipu.
"Makasih ya, Pak Untung."
"Iya neng, sama dua." Ucapnya sambil melambaikan tangan.
"Sama dua maksudnya apa Sun?"
"Sama-sama mbak, itu bahasanya Pak Untung emang gitu,"
"Ooohh, kirain apa. Gaul banget tukang nasi gorengnya."