Setelah mengangkat kakinya sendiri dari ruang BK, Sonya berjalan tanpa permisi terhadap siapapun. Dia berjalan masih dengan amarah di hatinya, meskipun tatapannya tetap tenang seperti air.
Tiba-tiba sosok manusia yang sama-sama mengacau di hari pertama menyentuh pergelangan tangannya.
"Tunggu."
Merasa tangannya terkait, Sonya menghentikan langkahnya, namun tidak segera berbalik.
"Apa mau lo?" Ucapannya masih tenang, namun tidak menyembunyikan sedikitpun bahwa dia memendam amarah terlalu dangkal.
"Nama lo?"
"Bukan urusan lo."
"Gue Fatir. Lo sepertinya manusia yang tidak peduli dengan apapun, apa aku salah?"
"Bukan urusan lo."
"Apa motif lo sekolah di SMA elit, kalau lo bukan orang yang berlabel?"
Sonya berbalik dan menyeringai tajam tanpa menjawab. Hal itu dibalas pula dengan seringai Fatir yang menang karena berhasil membuatnya berbalik.
"Apa ada ketentuan harus manusia berkedudukan yang sekolah di sini?" pertanyaannya terkesan seperti penegasan bahwa dia memang tidak pernah peduli dengan apapun yang benar-benar ada di sana.
"Gue terus terang tertarik dengan keberanian lo. Hanya saja gue punya pertanyaan yang perlu untuk lo jawab dengan rasa peduli." Fatir menunggu respon dari Sonya, namun tak kunjung diberikannya.
"Apa lo mau berteman sama.... gue?" Fatir merasakan keraguan di hatinya. Untuk pertama kali dia kehilangan kepercayaan dirinya di hadapan seorang wanita. Seorang wanita tanpa label yang akhirnya menjatuhkan harga dirinya untuk meminta pertemanan.
"Gue nggak punya alasan untuk berteman dengan siapapun."
"Lepasin gue."
Akhirnya Fatir merasakan apa artinya penolakan. Ajakannya untuk berteman telah ditolak begitu saja.
'Wanita bodoh mana ini?' selama kehidupannya, sama sekali tidak pernah diperlakukan seperti itu. Apalagi dia adalah seorang putra Radika, pengusaha ternama seantero negeri.
'Apa wanita itu benar-benar tidak membaca berita?'
'Apa kurang kepopuleran gue selama ini?'
'Wanita itu bahkan tidak tau gue?'
Sebelum tersadar dari lamunan, Fatir telah kehilangan cengkeramannya yang kuat. Sonya melepaskan tangan Fatir dan pergi menuju kelasnya.
***
Hari kedua dan seterusnya Fatir masih melakukan hal yang sama. Dia tidak bosan untuk menakhlukkan pertahanan Sonya agar menjadi temannya. Hanya sekedar teman, sebelum akhirnya menjadi lebih. Fatir benar-benar kehilangan rasa malunya, dia bahkan mengalami penolakan setiap hari dan masih memperjuangkannya di hari esok.
Sampai suatu hari Fatir nekat menemui Sonya yang berdiam diri di kelasnya. Dari ambang pintu Fatir melangkah, matanya tidak terkecoh dengan apapun. Tujuannya datang adalah untuk Sonya. Sonya yang saat itu sedang sibuk membolak-balikkan informasi perekrutan OSIS.
"Sampai kapan lo mau bersikeras menolak ajakan baik gue?" Sonya sudah terbiasa dengan kehadiran Fatir yang tidak terduga. Selama ini dia selalu seperti itu, datang di saat dia mau.
"Berhenti gangguin gue," Mata Sonya belum beralih dari kertas selebaran.
"Gue mau lo temenan sama gue." Seseorang tertawa mendengar percakapan keduanya dari balik pintu. Orang itu adalah Ben. Sosok yang akan maju sebagai kandidat ketua osis.
Fatir menengok dan menatap tajam ke arah Ben datang, tetapi pria itu sama sekali tidak punya ketakutan.
Suasana kelas sedang sepi, akan lebih banyak orang menghabiskan waktu istirahat yang berkualitas, dan meninggalkan Sonya sendirian. Dia gadis yang semaunya sendiri. Hanya akan pergi ketika yang meminta adalah hatinya sendiri. Sebenarnya banyak yang berusaha menjadi teman bagi Sonya, baik dari kalangan wanita maupun pria. Tapi Sonya bersikukuh untuk tetap tidak berteman dengan siapapun. Shandy adalah satu-satunya orang yang dia percaya.
"Seorang Fatir akhirnya jatuh tertunduk di hadapan wanita ini? Wanita yang sama sekali tidak memiliki kedudukan sepertimu?" suara Ben menggema di ruangan kelas itu. Fatir menggeram marah dengan ucapan Ben. Namun Sonya membeku, dia sudah sering mendengar penghinaan itu. Satu-satunya yang ingin dia lakukan adalah diam dan mengamati kejatuhan mereka perlahan-lahan.
"Apa yang membuat Ben Affandi Arfa melangkahkan kaki menuju hadapan seorang pecundang?" Fatir mantap dengan kata-katanya. Laki-laki itu tidak akan datang tanpa maksud.
"Wah, sayang sekali Fatir, gue datang ke sini bukan untuk kehormatan seperti lo. Gue datang khusus untuk Sonya," matanya liar menjelajahi tubuh Sonya.
"Keluar sekarang!" Sonya menyadari tatapan kotor Ben. Hatinya berontak. Ingin dia mencabik pria malang itu.
"Ga usah buru-buru Sonya. Gue ke sini untuk mengundang lo mencalonkan diri sebagai anggota osis." Beberapa siswa memang sudah mendengar janji Sonya kepada Mely. Salah satunya adalah Ben. Dia mencari orang-orang yang berpotensi mengamankan posisinya ketika dia sudah menjadi ketua osis. Orang-orang yang cakap dan handal dalam bidangnya.
"Gue nggak mau."
"Oh ya? Lo mau nurut sama gue, atau..." matanya melirik kaki jenjang Sonya.
"Atau apa?"
"Atau lo harus jadi pacar gue."
Fatir membelalakkan matanya. Di sekolah elit seperti ini, akan dikuasai oleh mata keranjang? Laki-laki itu menyeringai, tatapan benci itu sekaligus menyapu tanpa terkecuali.
"Apa untungnya buat gue, keduanya hanya sama-sama memberi keuntungan buat diri lo sendiri."
"Silakan pilih aja. Lo mau keluar dari sekolah elit ini?" Ben tersenyum senang dengan kata-katanya. Dia yakin Sonya akan menerima tawarannya. Jika pun dia keberatan menjadi anggota OSIS, bukankah pilihan lainnya hanya akan memberi keuntungan untuk dirinya juga.
"Ben. Sebelum kesabaran gue habis, lo keluar dari sini!" Fatir maju dan mendorong tubuh Ben keluar. Kelicikan Ben mendadak lenyap dan berganti menjadi amarah. Namun dia sangat menyadari kekuasaan Fatir. Dia tidak bisa menyingkirkan Fatir dengan mudah. Sebelum pergi, Ben meludah tepat di hadapan Fatir. Namun kepalan tangan Fatir menyambut, mengeksekusi perut Ben yang tidak siap. Laki-laki itu terhuyung ke belakang dan meninggalkan Fatir dengan sejuta dendam.
"Son, lo liat sendiri kan, banyak yang mau gangguin lo. Sedangkan lo, selama yang gue lihat, nggak punya temen yang ngelindungin lo."
"Gue punya," Sonya menatap ambang pintu, di matanya Ben belum menghilang, hingga dia benar-benar menyadari kesalahannya.
"Siapa?"
"Shandy."
"Shandy?" Fatir bingung, apakah Shandy yang Songa maksud adalah teman kelas sebelahnya.
"Nggak peduli siapapun itu, mulai sekarang lo temen gue. Panggil gue kalo lo butuh sesuatu. Gue, nggak akan pergi ninggalin lo sendirian ngadepin makhluk kaya Ben tadi."
Sonya menatapnya tajam, sudut bibirnya ingin tersenyum. Namun segera ditahannya. Di sisi lain hatinya, dia senang, seseorang memperhatikannya begitu saja.
"Son, lo gak perlu buat nurutin omongan dia. Gue sendiri yang akan jamin lo aman sekolah di sini." Fatir menyentuh kedua pundak Sonya.
"Gue... gue akan daftar," matanya nanar.
"Gue gak akan biarin lo keluar dari sekolah ini tanpa kesalahan fatal Son. Percaya gue. Gue punya akses untuk itu."
"Gue tau lo punya kedudukan yang dihormati di sini. Meskipun gue nggak tau dan nggak mau tau alasannya. Gue akan daftar OSIS, bukan buat Ben. Tapi gue nepatin janji yang gue utarakan ke Bu Mely. Gue nggak akan ingkarin janji itu begitu aja. Terlepas dari siapapun yang akan menang sebagai Ketua Osis tahun ini."
"Tapi Son," mata Fatir melebar mendengar keputusan bulat Sonya. Gadis itu benar-benar keras kepala.
"Makasih atas tawaran lo. Gue ngerti lo baik, tapi lo berhak untuk berteman dengan orang-orang yang nerima lo. Dan lo tau, itu bukan gue." Sonya duduk di bangkunya dan membuka bukunya secara acak.
"Oke. Kalo itu mau lo. Dasar keras kepala." Fatir bergegas meninggalkan Sonya sendirian di bangkunya. Gadis itu melirik kepergian Fatir dengan getir. Dia sama sekali tidak berharap laki-laki itu menyerah begitu saja. Namun cepat-cepat pikiran itu ditepisnya. Dia harus menghindari perasaan yang akan membuatnya menjadi rumit.
Seminggu setelah pencalonan Osis.
"Kandidat yang terpilih menjadi Ketua OSIS SMA X ELIT adalah....."
"Ben Affandi Arfa."
Suara tepuk tangan dan sorak riuh memenuhi aula. Hari ini adalah awal dari kepicikan yang akan terjadi dan terjadi. Beberapa orang sangat menunggu momen hari ini, baik yang menginginkan Ben menang, dan juga sebaliknya.
Dua orang yang duduk tepat di depan pembawa acara menyeringai.
'Ini bukan awal yang baik.'
"Lo pikir, kenapa Ben begitu senang hanya karena menjadi ketua osis?" Shandy bertanya setengah berbisik kepada Sonya.
"Lo nggak akan pernah tau rencana busuk apa lagi yang dia punya. Gue yakin, pemilihan hari ini pun nggak jujur."
"Lo sepemikiran sama gue. Dia kelihatan sangat terobsesi menjadi pemimpin."
"Tepatnya pemimpin yang akan menyalahgunakan kekuasaannya."
"Lo tau banyak soal dia?"
"Sedikit. Dia nyuruh gue nyalon jadi anggota. Kalo nggak, dia punya pikiran mesum ke gue."
"Apa?" Shandy menutup mulutnya. Dia berharap apa yang didengar adalah sebuah kepalsuan. Untuk pertama kalinya Shandy berharap wanita ini berkaf bohong.
"Jadi itu alasan lo daftar?" Shandy masih tak habis pikir dengan semua yang Sonya jalani.
"Nggak. Gue nggak akan pernah takut sama orang kaya dia. Kalo gue mau, seseorang bisa aja hancurin dia. Tapi gue biarin aja, biar alam yang menyeleksi."
"Jadi kenapa kalo gitu lo mau daftar? Lo kan sibuk juga di butik."
"Itu udah gue pikirin. Gue udah bilang sama Mbak Melda. Lagi pula, gue udah janji buat menjadi berguna di sini."
"Astaga. Lo udah ngalamin banyak hal selama di sini? Gue tau lo adalah orang yang kuat. Gue percaya lo bisa hadapin apapun itu. Termasuk dia," mata Shandy melirik pada pemenang yang memberi sambutan. Tatapannya menjadi sedikit lebih padam.
Sonya dan Shandy sibuk membicarakan sosok licik di hadapan mereka, hingga mereka tidak sadar dengan seseorang yang duduk mendengarkan mereka dari belakang.