Chereads / Sepotong Candumu / Chapter 6 - 6 Siapa?

Chapter 6 - 6 Siapa?

"Siapa orang yang akan melakukan hal konyol kaya gitu?" seseorang memajukan wajahnya ke belakang Shandy san Sonya.

Shandy memutar wajahnya dengan alis berkerut. Sedangkan Sonya tersedak ludahnya sendiri.

"Sepertinya kali ini lo nggak perlu ikut campur. Iya kan Sun?" Shandy meminta persetujuan dari Sonya.

Sonya tidak menjawab, sedangkan dua laki-laki itu menatapnya dengan penuh harap.

"Itu... Gue cuma becanda." Sonya membalikkan badannya lagi, menatap lurus pada Ben yang menyeringai padanya.

"Drrrt... drrrtr..." ponsel Shandy bergetar, Shandy merogoh sakunya dan mengangkat telepon.

"Hallo..." sekaligus memberi tanda kepada Sonya untuk keluar dari ruangan. Sonya tidak menjawab. Dia tau siapa yang bisa menelepon di jam-jam sekolah.

"Kenapa? Lo cemburu?" Laki-laki yang tadi ada di belakang Sonya segera berpindah ke tempat duduk milik Shandy.

"Nggak!" Mata Sonya menatap dengan tajam.

"Apa kalo nggak cemburu?" Fatir semakin meledek. Namun hatinya benar-benar sedang tergores dengan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Diam-diam dia berharap Sonya memberi jawaban yang dia ingin.

"Lo nggak akan pernah ngerti." Sonya tak lagi ingin menghiraukan Fatir. Dia segera berdiri dan keluar dari ruangan tersebut.

Mata Fatir memerah. Dia sedang menahan banyak hal dalam hatinya. Sedih, kecewa, dan juga marah. Dia segera memfokuskan matanya pada Ben. Satu-satunya yang saat ini lebih berbahaya adalah Ben. Tidak lama kemudian Ben mengumumkan anggota-anggota OSIS baru yang akan mendampingi masa jabatannya.

"....

Sonya Ameliandra sebagai bendahara

Renata Angeline Vista sebagai sekretaris

...

...

...

Fatir Dimelga Rajendra sebagai ketua seksi bidang olahraga

..

..."

Fatir segera menyeringai. Namanya berhasil ikut serta dalam keanggotaan OSIS. Itu berarti dia tetap bisa bersama Sonya, meski Ben sebagai pemimpinnya. Dia melipat tangan dan terus mengikuti acara hingga usai. Kali ini dia membiarkan Sonya pergi semaunya. Sebab dia akan aman jika Ben dalam pengawasannya.

Flashback off.

***

Hari-hari berlalu seperti air yang mengalir begitu saja, terlewati dengan mudahnya. Minggu-minggu berlalu menandakan kegiatan OSIS baru akan segera dilaksanakan. Hari ini adalah hari H turnamen antar kelas yang diselenggarakan oleh OSIS masa jabatan baru. Tentunya ini adalah kegiatan perdana yang akan menopang popularitas Ben sebagai Ketua OSIS sekaligus Ketua Pelaksana kegiatan itu. Ben pasti menginginkan semua berjalan dengan sempurna. Sehingga dia membiarkan Sonya mendampingi tim Fatir.

"Son, lo di mana?" Fatir berbicara dengan telepon yang menempel di telinganya.

"Basket udah mau mulai. Lo ke sini sekarang, soalnya gue mau tanding. Gantiin gue buat mimpin tim."

"Oke. Kalo gitu gue ganti baju, lo segera gantiin."

Fatir tersenyum mendengar jawaban Sonya dari seberang. Sejak adegan merampas nomor hp Sonya kemarin, baru hari ini akhirnya dia berani menelepon. Dia bergegas menuju ruang ganti, dia harus segera menghadapi tim yang sudah lama diincarnya.

"Okay, tim, kita harus menang hari ini. Lo semua tau kan, hari ini adalah final basket yang akan menentukan siapa yang tergeser dari tim basket kelas 10. Kalo diantara kita bermain jelek, lo tau konsekuensinya. Gue nggak menghakimi. Gue juga sama punya resiko kaya lo pada. Bahkan taruhannya adalah jabatan yang baru gue sabet, yaitu sebagai kapten basket kelas 10 sekaligus ketua sekbid olahraga."

"Siap!" semua anggota tim serempak menjawab. Pemenang basket sebelumnya adalah tim yang harus berjuang keras sejak awal, kemudian di pertandingan final, mereka akan bertemu dengan tim basket sekolah yang diwakili oleh tim Fatir.

Sebelum ke pertandingan, Fatir menuju meja panitia yang sudah berdiri Sonya di sana. Namun sayangnya, Shandy juga sedang berada di samping Sonya, mengobrol beberapa hal dengannya. Pakaian Shandy sama dengan milik Fatir. Mereka akan segera menjadi rival di lapangan. Mata Fatir memerah, jantungnya berdegub keras. Ketidak sukaannya pada Shandy memuncak.

"Son," Fatir menyapa Sonya, namun matanya mengganas pada Shandy. Meski tatapan Shandy sebaliknya, dia terlihat sangat tenang dan justru merasa bingung dengan ekspresi Fatir.

Sonya segera membalikkan badannya dan mengerutkan alis.

"Apa Tir? Gue udah di sini. Lo mau marah apa lagi?"

"Ngapain dia di sini?"

"Apa?"

"Oohh, Shandy? Kenapa emang?"

"Dia bukan panitia kan, seharusnya nggak di sini."

Shandy segera mengerti, dan berbisik pada Sonya.

"Sun, singa lo udah mulai ngeselin, gue pergi dulu ya," lalu melambai pergi. Ucapan Shandy membuat perut Sonya tergelitik. Dia berusaha menahan tawa hingga wajahnya memerah.

Di sisi lain, wajah merah Sonya diartikan berbeda oleh Fatir. Dia mengira Shandy mengucapkan kata-kata romantis yang membuat Sonya tersipu. Hatinya yang belum mendingin semakin membuatnya ingin menghabisi laki-laki itu segera.

Kedua tim segera bertanding. Poin demi poin didapat oleh kedua tim. Kedua tim tampak gagah dan seimbang, membuat mereka saling kesulitan untuk mengalahkan lawan. Perebutan skor terlihat sangat adil, namun kobar cemburu Fatir membuat semangatnya berpacu berkali-kali lipat. Skor seimbang, tinggal satu langkah lagi yang akan menentukan pemenang turnamen. Shandy memegang bolanya, dia terus memantulkan bola sambil berlari dan menghindari lawan. Ia melemparkannya pada kawan, namun bola berhasil direbut oleh tim Fatir. Shandy dengan gesit menyerobot bola dan menembakkannya ke jaring. Namun kakinya tergelincir, membuat Shandy terjatuh dan bola menggelinding menuju luar lapangan. Suara peluit menghentikan pertandingan. Sorak yang riuh menjadi sepi penuh rasa cemas.

Mengetahui Shandy terkulai di atas lapangan dengan cidera, Sonya segera berlari memanggil petugas medis.

"Shan, lo? Aduh.. gimana dong ini?" raut wajah Sonya berubah cemas, dia tidak ingin mengambil langkah yang salah. Di satu sisi dia tidak ingin seseorang yang sudah dianggap menjadi bagian hidupnya itu terluka, di sisi lain dia tidak bisa melakukan apa-apa. Fatir menangkap ekspresi cemas Sonya dan menyeringai. Tentu saja itu terjadi secara alami ketika dia merasa Sonya mendapat hukuman.

"Sun, gue nggak apa-apa kok. Jangan bikin orang panik deh. Awas ya kalo lo bilang-bilang sama Kakak."

Sonya tidak menjawab, namun kekhawatirannya mereda seiring petugas medis yang selesai menangani cidera Shandy. Shandy berdiri lagi, berjalan dengan kaki terpincang-pincang. Sonya menatih Shandy dengan hati-hati. Segera pertandingan dilanjutkan, tak berselang lama, kemenangan akhirnya menjadi milik Fatir. Senyumnya mengembang bersamaan dengan tetes-tetes keringatnya. Bukan karena bangga menjadi pemenang, sebab ini bukanlah kemenangannya yang pertama, tapi dia senang karena mengalahkan lawan yang menjadi incarannya. Walaupun kecelakaan yang terjadi di lapangan murni karena lantai yang licin. Tidak ada siapapun yang menyabotase keadaan.

Fatir berjalan menuju meja panitia. Kemenangan timnya secara otomatis mengakhiri tugasnya sebagai panitia. Dia sudah tidak menemukan Sonya di sana, berarti UKS adalah tempat yang mungkin akan dia kunjungi selanjutnya.

Dari balik pintu UKS yang sedikit terbuka, Fatir mendengar percakapan Shandy dengan Sonya.

"Shan, bilang sama gue, lo tadi kenapa bisa jatuh?"

"Gue emang terlalu bersemangat sampe ga liat kalo lantainya licin Sun."

"Beneran? Bukan karena ada yang ngedorong lo kan? Ini tanggung jawab gue sebagai panitia. Jadi lo nggak usah ngebohong."

"Nggak ada lah. Lo jangan nuduh sembarangan dong Sun. Mentang-mentang gue yang jatuh, lo protektif banget."

"Gue mau bilang apa ke Mbak Melda kalo keadaan lo kayak gini coba?"

"Udahlah, gue nggak apa. Cidera kaya gini ya biasa aja. Besok juga sembuh. Lo kayak nggak pernah cidera juga deh."

"Yaudah lah kalo gitu. Asal lo emang kecelakaan aja."

"Dasar. Malah nyumpahin gue lo."

"Ekhm.." Fatir berdehem dan masuk ke ruangan.

"Lo sehat bro?" Fatir menyeringai, namun kali ini pada Sonya.

"Santai. Olahraga."

Tiba-tiba seorang wanita terburu-buru menyusul mereka.

"Sayang, kamu kenapa bisa cidera gini?" Wanita itu spontan menuju Shandy, melupakan bahwa di ruangan tersebut ada orang lain. Alis Sonya kembali mengkerut, tatapan tidak sukanya membuatnya begidik dan membuat ekspresi aneh. Kakinya cepat-cepat meluncur ke luar ruangan, takut matanya melihat hal-hal yang lebih jauh dilakukan wanita itu. Fatir menyusul langkah Sonya. Mereka berdua duduk di depan UKS. Percakapan ringan di mulai.

"Lo kenapa selalu berekspresi kaya gitu sih?"

"Apaan?"

"Itu," Shandy menunjuk wajah Sonya lalu tertawa.

"Gue... risih aja."

"Risih atau cemburu?"

"Lo kenapa rese banget sih? Selalu mau tau urusan gue," Sonya mendesis kesal.

"Hahahaha... Gue kan temen lo. Wajar dong."

"Dih. Sejak kapan, gue ga nerima temen siapapun itu."

"Tuh, si Shandy bisa jadi temen lo," Fatir mengelap keringatnya.

"Dia kan..." Sonya berpikir sebentar, namun akhirnya dia memutuskan untuk tidak melanjutkan kalimatnya.

"Dia apa?" Fatir penasaran dengan sepotong lagi kalimat yang belum tuntas. Namun dijawab dengan gelengan kepala.

"Sun, gue pulang duluan ya," tiba-tiba suara Shandy mengejutkan Fatir dan Sonya. Dia berjalan pincang, namun ditopang oleh wanita yang memanggilnya sayang.

"Yaudah, yuk." Sonya berdiri dan menepuk roknya yang tidak kotor.

"Nggak, biar diantar dia aja yah," Shandy meringis lalu mengerling pada Sonya.

"Dasar modus. Awas lo nggak langsung pulang."

"Iya-iya bawel," Shandy berjalan lagi, namun tatapan wanita di sisinya begitu tajam, nyaris melukai mata.

Begitu bayangan Shandy dan Lia menghilang, Sonya duduk lagi di samping Fatir yang masih belum beranjak. Dia menyandarkan bahunya ke kursi dan menyilangkan kedua tangannya di dada.

Seketika mata Fatir menembus ke angan-angan Sonya.

"Son, gue mau nanya dong, boleh nggak?"

"Nggak."

"Gue maksa aja deh kalo gitu."

"Kenapa sih Shandy selalu manggil lo Sun? Bukannya Son?" Sonya mendelik, memutar matanya sejenak, lalu menghela napas panjang.

"Males gue ceritanya."

"Kenapa sih? Panjang banget ceritanya?"

"Yaudah deh, kalo lo mau tau banget, anterin gue dulu. Nanti gue cerita di jalan."

Fatir terkejut dengan pernyataan yang baru saja keluar dari mulut Sonya. Pernyataan yang tidak pernah dia duga akan diucapkan oleh wanita itu padanya. Dia langsung berdiri dan berjalan menuju tempat parkir motornya. Sonya terheran dengan tingkah laki-laki itu, sedikit pintu hatinya terketuk untuk menerimanya menjadi teman. Bibirnya menyeringai, kemudian membentuk garis melengkung.

Keduanya bergegas menuju tempat yang diinginkan Sonya.

"Jadi? Gimana ceritanya?"

"Cerita apa?"

"Yang tadi," Fatir mendengus, berpikir bahwa dia telah dibohongi.

"Oooh, nanti lo tanya sendiri aja deh sama bos gue."

"Lah? Apa urusannya?"

"Nanti lo ngerti sendiri."

"Kita mau ke mana sekarang?"

"Ke rumah atasan gue."

"Lo... selama ini kerja di mana sih?"

"Butik."

"Son, gue nggak ngerti, kenapa lo nggak mau temenan sama siapapun, termasuk gue yang udah berjuang tiap hari."

"Dih, kayak apaan."

"Itu... gue nggak mau bahas itu deh."

"Jadi gue nganterin lo nggak jadi dapet cerita apa-apa dong?" Fatir mengembuskan napas beratnya.

"Jadi lo nggak mau? Ya udah berentiin aja."

"Yaudah." Fatir menghentikan laju motornya di sisi jalan. Menunggu Sonya turun.

"Apaan berenti?" Sonya terkejut Fatir akan melakukannya.

"Katanya lo mau turun. Kan lo nggak mau cerita apa-apa."

"Lo nggak mau tanya yang lain aja apa?" Fatir menyeringai, wanita di belakangnya benar-benar berbeda dari dugaannya. Atau mungkin, ini adalah sisi lain dirinya.

"Ngeselin banget sih jadi orang." Fatir melajukan motornya lagi.

"Kalo ngeselin ngapain lo mau temenan sama gue?"

"Jadi, gue sekarang udah jadi temen lo?" Fatir tersenyum tak percaya.

"Bukannya tadi lo bilang gitu?"

Akhirnya wanita itu luluh juga dengan usahanya. Akhirnya dia mau membuka hati untuk berteman dengannya. Jika hanya mengatakan "dia adalah temanku" maka Sonya akan mengatakan hal yang sama, maka betapa bodohnya Fatir tidak mengatakan itu sejak lama.