Bersamaan dengan berlalunya Sonya dan Shandy, Fatir tersenyum getir pada dirinya sendiri. Matanya menjadi terlihat lebih .... menakutkan. Rahangnya terkatup. Dia mengepalkan tangannya dan melempar tinju ke udara. Segera setelahnya, motor ninja pun dipacu dengan kecepatan tinggi mengikut arah kepergian Sonya.
Shandy melambatkan laju motornya, dia sedikit melirik kaca spion.
"Itu siapa sih?"
"Siapa apa?" Sonya bertanya tanpa menoleh, dia mengetik sesuatu di telepon genggamnya.
"Itu, ketua tim basket sekolah ya?" Shandy mengisyaratkan dengan telunjuknya. Sonya segera menyadari bahwa Fatir sedang berkendara di belakangnya. Kaca helm yang tak ditutup memperlihatkan keganasan matanya yang tertuju pada seseorang di depannya.
"Shan, kencengan dikit kenapa," Sonya memberi perintah. Jantungnya bergetar hebat, dia mengenal Fatir sejak lama, dia tidak akan memiliki tatapan seperti itu kecuali benar-benar marah. Dan sekarang, apa yang sedang membuatnya marah? Sonya menghela napas berat dan menggeleng menyingkirkan pikirannya sendiri.
"Dia punya masalah sama lo?" Shandy tak menggubris perintah Sonya. Seperti yang dia lihat, Fatir tidak segera mendahuluinya, jadi dia bukan berniat menyerang.
"Kayanya kalo sama gue nggak ada yang punya masalah deh."
Bibir Sonya tak bergerak, dia hanya menggeleng tanda tak tahu. Shandy memperlambat laju kendaraannya lagi, dan begitupun Fatir, dia segera menyesuaikan.
"Pegangan Sun," Shandy menutup kaca helmnya dan memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Fatir masih tak mau kalah, motornya yang memang mendukung aksi itu pun segera mengikuti gerakan Shandy. Fatir pasti memendam sesuatu yang tidak diketahui orang lain. Lalu apa?
Sonya berdecak kagum dengan kedua laki-laki itu. Bagaimana bisa mereka melakukan aksi seolah mereka sedang dalam sirkuit.
Tiba-tiba Shandy membawa motornya menuju pinggir jalanan dan berhenti.
"Kenapa malah diberentiin sih? Kita masih jauh dari butik," Sonya terkejut dengan tindakan Shandy, dia pun menginterupsi Shandy seperti seorang tersangka. Sedangkan di sisi lain, Fatir juga menghentikan kendaraannya dan turun.
"Turun dulu," perintah Shandy kepada Sonya. Suara Shandy dingin, tidak bisa menerima penolakan apapun dari siapapun. Dia bulat dengan kehendaknya, seperti biasa. Sonya menyadari hal itu, sehingga dia pun ikut turun.
Shandy menatap kedatangan Fatir tanpa berkedip. Dia menganalisa sendiri apa tujuan Fatir sebenarnya. Mata dingin keduanya saling bertemu. Sonya hanya memandangi mereka berdua dengan tatapan bingung. Dia bukan takut dengan Fatir, tapi lebih karena dia ingin menghindari orang lain.
Tangan Fatir cekatan, bahkan sebelum matanya menyentuh tangan Sonya. Pergelangan tangan wanita itu telah diikatnya. Dia menarik Sonya mendekat, namun tindakan itu dilihat oleh Shandy dengan aneh. Sebelah alis Shandy terangkat, dia berusaha memahami, namun tidak mampu.
'Apakah Sunny terlibat hutang dengan pria ini?' Shandy menebak, namun tebakan itu justru membuat dirinya cemas.
"Apaan sih lo? Buntutin gue dari tadi?"
"Gue udah bilang kan, kalo lo mau ngobrol urusan basket, nanti-nanti, atau besok. Gue punya urusan lain, dan itu lebih penting."
"Urusan jalan sama dia?" Fatir menjawab dengan tenang, namun telunjuknya tak bisa lagi menahan dirinya.
"Telunjuk lo santai dong. Mentang-mentang lo ketua tim basket sekolah, jadi lo bisa seenaknya gitu?" Shandy menangkis tangan Fatir dengan keras, sebelum akhirnya diingatkan oleh Sonya.
"Apa itu urusan lo?" Sonya berucap dingin, untuk kesekian kalinya.
'Apa sikap lo harus beda banget gini Son? Lo bisa baik sama ini orang, tapi lo dingin sama gue,' Batin Fatir bergejolak, semua pertanyaan itu semakin membuatnya kesal. Di satu sisi, dia sadar bahwa hatinya tidak ingin diam saja. Tapi dia juga tidak bisa memaksa.
Dia ingin sekali menendang laki-laki yang merebut Sonya dari tumpangannya. Namun sayangnya dia harus menahan sampai semuanya jelas. Matanya melirik sedikit ke arah Shandy, namun laki-laki itu menyeringai, seolah taring keluar dari gusinya.
"Lo masih mau diem narik tangan gue? Dan gue punya urusan. Jadi lepas," Sonya menggeram kesal dengan Fatir. Baginya, Fatir dan Ben adalah makhluk rusuh yang akan membuat hidupnya rumit.
Fatir tak menjawab, matanya melihat ponsel di tangan Sonya. Tidak biasanya dia menggunakan Smartphone. Segera ditarik ponsel itu, matanya terkejut melihat wallpaper itu, Sonya berusaha untuk merebut, namun sayang, tangannya tidak cukup panjang untuk menjangkau.
Dengan gesitnya, Fatir menekan-nekan tombol angka di ponsel itu, dan terakhir, dia menekan tombol panggil.
Bunyi ponsel lain menyahut, kali ini ponsel Fatir dalam saku. Dia menyeringai tajam pada Sonya, dan mengembalikan ponsel itu. Sonya hanya termangu tidak mengerti dengan cara bodoh Fatir untuk mendapatkan nomor teleponnya.
"Makasih," Fatir tersenyum pada Sonya, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Shandy, rasa batinnya bergejolak lagi. Ingin mencabik pria itu lain kali.
Fatir segera kembali menuju motornya, kemudian melaju lagi. Meninggalkan keinginan untuk mengantarkan Sonya.
'Lain kali Tir, lain kali,' Fatir bergumam sendirian, menenangkan hatinya yang kacau dihantui rasa benci pada laki-laki itu.
***
Flashback On:
Fatir adalah seseorang yang tidak peduli dengan lingkungan sekolahnya. Termasuk siapa yang mengejar-ngejar agar diberi hati. Namun sejak memasuki SMA X elit, gadis itu mulai menarik perhatiannya. Gadis itu tidak terlihat tertarik dengan siapapun kecuali Shandy. Pada awal kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah, Fatir mendapatkan hukuman dari OSIS yang bertugas sebab mengacau dengan menolak untuk mematuhi aturan PLS. Tidak di sangka tindakannya didengar oleh guru BK dan terancam panggilan dari Ruang BK.
Fatir berjalan malas, kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya. Dia berlalu tanpa mengamati teman-teman wanita di sekolah itu riuh membicarakan tentang... ketampanannya.
"Ya ampunnn, itu anak baru ganteng banget sumpah."
"Gilaaa, itu anak kelas 10? Terancam jatuh cinta sama adek kelas dah gue."
"Itu besok pasti udah terkenal deh."
"Ga pake nunggu besok-besok, hari ini dia udah berhasil narik banyak perhatian."
"Permisi, Bu." Fatir berdiri di depan pintu, masih dengan tangan yang berada dalam saku celana. Rambutnya tidak rapi, rapi membuatnya terkesan, indah. Seorang guru BK melirik kehadiran Fatir dan tersenyum sambil mempersilakan masuk. Sedangkan wanita di depan beliau nampak tidak peduli.
"Maaf, tadi katanya saya dipanggil," Fatir melihat sekilas wajah wanita berseragam SMA di sampingnya. 'Deegggg!!' jantungnya berdetak kencang, darahnya berdesir, matanya membelalak terkejut. Dia sudah menjadi idola di hari pertamanya, namun wanita itu tidak mempedulikannya? Menarik!
"Kamu Fatir?"
"Benar Bu. Saya Fatir," dia menjawab seadanya, matanya masih belum berpaling dari ...
"Nah, Fatir. Kenalkan, ini Sonya. Sonya, ini Fatir. Kalian sama-sama siswa baru di sekolah ini." Sonya akhirnya kalah, dia menengok pada pria di sampingnya yang disebut bernama Fatir. Setelah itu dia kembali memfokuskan tatapannya kepada Bu Mely.
'Deg'
'Manis'
'Dingin'
Tiba-tiba Fatir bergumam sendiri, melengkungkan bibirnya membentuk senyuman kecil.
'Jadi, wanita ini yang akhirnya membuatku terpesona?'
"Hmm," Bu Mely memahami situasi yang menjadi sedikit lebih canggung.
"Kalian ini baru hari pertama sekolah, tetapi sudah membuat kekacauan. Ini baru masa pengenalan sekolah, belum masuk pelajaran. Jadi bagaimana ini akan diatasi?" Bu Mely menatap kedua murid baru bersamaan. Tangannya spontan menyilang angkuh di dada.
Kedua siswa itu tetap diam, bibir dan matanya seolah tidak menandakan ada ketakutan.
"Begini saja, Sonya, jika kamu mengulang untuk membantah kakak OSIS yang bertugas untuk mengenalkan lingkungan sekolah lagi, maka kamu terancam dikeluarkan dari sekolah ini. Kamu tahu bahwa kamu seharusnya menjadi siswi yang baik, sebab orang tua kamu tidak berpengaruh sama sekali. Sekolah ini, seperti yang kamu ketahui, merupakan sekolah elit yang menjunjung tinggi keunggulan," Bu Mely duduk dan meletakkan kedua tangannya berhadapan di meja.
"Bukan mengembangkan pembangkang."
Mata Sonya terbelalak mendengar ucapan guru BK yang tidak semestinya berucap demikian. Sekolah elit memang terkenal disiplin, tetapi dia tidak menyangka akan diperlakukan sebagaimana yang Bu Mely lakukan. Dia bahkan merasa direndahkan sebab tidak menjadi 'sesuatu' di sana. Bahkan sejak hari pertamanya, salah satu guru membawa ketidakberdayaan orang tuanya. Rahang Sonya terkatup, matanya gelap. Dia meremas rok miliknya, berusaha untuk menahan mulut guru yang keterlaluan itu.
Di sisi yang lain, Fatir memperhatikan ekspresi yang Sonya tunjukkan. Dia menyeringai mengetahui bahwa wanita itu adalah seorang pemberontak. Akan terkesan cocok jika dia menjadi teman Fatir, yang sama-sama memberontak OSIS. Sayangnya Sonya bukan hanya tidak suka dengan wanita setengah baya dihadapannya. Namun dia juga tidak tertarik dengan apapun, termasuk yang dibicarakan Mely.
"Dan kamu, Fatir. Beruntung kamu memiliki penga..." Belum selesai bicaranya, Fatir menyela.
"Saya mengerti, Bu Mely. Saya minta maaf dan tidak akan mengulanginya lagi. Tetapi, saya minta Ibu tidak perlu mengatakan hal yang berlebihan terhadap dia," Fatir tersenyum kepada Bu Mely, dia yakin bahwa permintaan itu tetap akan dilaksanakan sebagaimana sebuah perintah atasan.
Mely menahan amarahnya, dia tau kedudukannya tidak cukup untuk melawan pria muda dihadapannya. Akhirnya wajah merah itu ditenangkan sendiri, dan mengangguk.
"Baik, jika kalian berjanji akan menjadi siswa yang baik dan berguna untuk sekolah ini," kali ini tatapannya ditujukan pada Sonya yang masih dengan tatapan marah.
"Saya tidak keberatan menjadi berguna bagi siapapun. Tetapi saya tidak suka menjadi rendahan hanya karena saya tidak memiliki status keluarga berpengaruh. Berikan saya pilihan lain, jika Ibu yang terhormat memilikinya."
Mata Mely merah padam. Suhu tubuhnya naik drastis. Dia tidak mengira perempuan kecil itu berani mengatakan hal seperti itu padanya.
'Dia pikir, dia siapa?' Mely menggeram dan mengembuskan napas berat.
"Sonya. Apa kamu tahu kamu sedang berbicara dengan siapa di sini?"
"Saya tidak perlu tahu. Bagi saya, tidak seharusnya seorang guru memberikan contoh tidak baik terhadap siswa baru. Jadi, saya tetap menghargai Ibu, sebagaimana Ibu menghargai saya."
Tangan Mely bergetar. Dia tergoda untuk menampar mulut Sonya yang berani berkata lancang kepada seseorang yang bertitel gurunya.
"Saya lebih baik dikeluarkan dari sekolah ini, daripada seseorang menginjak harga diri saya. Tidak peduli siapapun dia, dia tidak cukup menarik minat saya untuk tunduk, jika dia tidak mengerti cara menghargai."
"Cukup!" Tangan Mely menggebrak meja di depannya. Amarahnya menuju puncak. Kepalanya terasa sakit sebelah.
"Ibu Mely yang terhormat," Fatir menyeringai mengatakannya. Dia tidak perlu mengatakan banyak hal hanya untuk membungkam amarah wanita tua itu.
"Baik, saya minta maaf telah merepotkan Ibu. Saya akan menerima saran untuk menjadi berguna di sini. Mengabdikan diri selama bersekolah di sini. Namun itu bukan karena Ibu. Itu hanya karena ..." Sonya tak melanjutkannya. Hanya dia yang harusnya cukup tau apa alasannya. Dia tidak mungkin mengecewakan wanita yang memberinya jalan bersekolah di tempat elit ini.
"Baik. Silakan kalian keluar." Mely menurunkan emosinya, dan berusaha berbicara setenang mungkin. Tidak perlu menunjukkan keganasan itu dihadapan harimau yang sewaktu-waktu dapat menyingkirkannya dari kehidupan, harimau itu anak-anak, namun dia cukup kuat dan berkedudukan untuk membunuh kesempatannya menjadi guru elit.
***