"Mbak.. maaf hari ini aku ijin libur ya, ada kegiatan sekolah sampai sore nanti soalnya," Sonya berbicara dengan telepon genggamnya.
Beberapa saat kemudian terdengar jawaban dari seberang.
"Iya Sunny, ga apa."
"Makasih ya Mbak Melda, lain kali aku nggak akan bolos banyak lagi."
"Kamu emang masih punya tanggung jawab di sekolah Sun, jadi tenang aja, mbak bisa ngerti. Jangan terlalu terbawa kerjaan, lagi pula ini kerjaan paruh waktu kamu kan, bukan kerjaan pokok."
Sonya mengangguk memahami apa yang Melda katakan, walau sesungguhnya Melda pun tentu tidak akan melihat anggukan yang Sonya berikan.
"Baik mbak kalau gitu aku tutup dulu ya," setelah jawaban setuju Melda, Sonya pun menutup teleponnya dan masuk ke dalam ruang rapat.
***
Seminggu yang lalu, sudah diadakan rapat untuk pelaksanaan kegiatan futsal, takraw, voli, bulu tangkis, dan basket. Kegiatan tersebut diberi nama "OSIS-tour class". Semua akan diikuti oleh perwakilan antar kelas, baik putra maupun putri yang akan menjadi 1 regu. Tentu saja, dari pihak osis akan mengurus semua hingga acara tuntas. Baik rapat umum pembagian kepanitiaan, maupun rapat kecil panitia penyelenggara.
Di pertemuan yang lalu, tim panitia sudah terbagi rata dari pihak Osis. Sonya tidak menjadi anggota panitia kegiatan, sebab dia adalah seorang bendahara Osis yang akan sibuk dengan pembagian keuangan dan pengelolaannya. Sebagai bentuk solidaritas, Sonya akhirnya menentukan dirinya akan membantu di panitia mana saja yang membutuhkan bantuan jika dia sedang tidak sibuk.
Mendengar Sonya mendeklarasikan solidaritasnya, tentu saja Ketua OSIS Ben menyeringai. Dia orang yang paling senang dengan sikap Sonya yang selalu powerful, dan bersemangat tinggi. Dia yakin, jabatannya tahun ini akan mendapat apresiasi dari sekolah berkat tim yang handal.
"Good job, Son," seseorang melempar pujian pada Sonya yang telah merincikan keuangan dan juga keputusannya. Orang itu tentu adalah, Ben. Di sisi lain, Sonya hanya diam tak menanggapi pujian ketua osis tersebut. Pria yang sejatinya merupakan salah satu idola banyak makhluk wanita di sekolah, setelah Shandy yang ke dua, dan Fatir yang pertama.
"Jadi, panitia kegiatan mana yang sekiranya cukup repot dan membutuhkan bantuan?" Sonya kembali pada audience rapat. Tawarannya adalah hal yang jarang terjadi, sebab Sonya biasa disibukkan dengan pekerjaan paruh waktunya, dan kali ini, dia akan mendedikasikan waktunya untuk kerja OSIS sepenuhnya.
Lagi-lagi seseorang menyeringai, memandang jauh kepercayaan diri Sonya. Dia akhirnya mengangkat tangan kanannya memberi tanda.
"Fatir?"
"Semua tim panitia penyelenggara sepertinya butuh bantuanmu, sebab tidak ada yang tidak cukup repot. Namun saya kira, tim panitia basket lebih rumit, kami kekurangan satu orang lagi untuk membantu, dan kami tahu bahwa tidak ada lagi tersisa anggota OSIS untuk itu."
Sonya menghela nafas panjang, senyumnya getir dan dipaksakan.
"Ben? Boleh bendahara tercintamu ini membantu di tim kami, kan?" Fatir menambahkan. Kali ini tujuannya adalah Ben. Sebab jika Ben sudah mengiyakan, tidak akan ada penolakan lebih lanjut dari Sonya.
"Tentu," Ben menjawab dengan mudahnya. Mata Sonya terbelalak, jantungnya berdebar sangat keras. Jika suasana rapat tidak cukup riuh, mungkin degubnya akan terdengar.
"Deal." Fatir segera menuliskan nama Sonya sebagai anggota kepanitiaan yang baru. Tentu dia tidak benar-benar membutuhkan bantuannya. Empat orang pria sudah cukup untuk mengurusi turnamen basket- antar kelas.
"Tapi harus dijelaskan ulang bahwa bantuan saya bersifat tidak tetap. Dalam artian, ketika saya sedang dalam urusan menjadi bendahara, maka saya tidak akan ikut dalam kepanitiaan basket."
"Ok." Fatir tahu itu, dan sesederhana itulah Sonya berkata untuk penolakan. Namun kali ini Sonya tidak akan bisa lari.
Rapat ditutup setelah sekretaris menuliskan semua isi rapat dan menjelaskan ulang di depan. Renata adalah sekretaris handal milik Ben. Tentu, Ben menyukai orang-orang yang bisa diandalkan untuk menjadikan namanya tetap bersinar. Dan Renata? Dia tidak terlalu peduli pada apapun jabatannya. Selama dia bisa menunjukkan pada Ben bahwa dia yang terbaik, dan cukup baik untuk menjadi 'pacar' bagi ketua osis idola.
"Gue pulang duluan," Sonya berdiri dan menjinjing tas miliknya. Di luar rapat Sonya akan tetap berbicara selayaknya seorang anak SMA. Lo, gue. Dia akan menyesuaikan kalimat dan tutur katanya sesuai dengan siapa lawan bicaranya.
Sonya berjalan keluar kelas, terburu-buru. Dia tidak akan menuju butik untuk bekerja, tapi untuk hal lain.
"Son? Mau kemana buru-buru?" Renata menyusul Sonya, dan berjalan di sampingnya. Renata dan Sonya adalah rekan kerja dalam OSIS, tapi tidak sepenuhnya demikian.
"Oh, gue mau ke... pulang."
"Mau bareng gue aja? Biar dianter sama Pak Bon," Pak Bon adalah sopir pribadi Renata.
"Makasih, gue bisa sendiri aja,"
"Duluan ya."
"Oke," Renata mengernyit sekaligus menepikan pikiran yang menggantung.
Sonya kembali berjalan menuju gerbang. Akan ada orang lain yang segera menyusulnya jika dia tidak berjalan dengan cepat. Suara motor dan mobil berjalan keluar sekolah. Dia segera membelokkan tubuhnya ke arah pulang yang berlawanan. Ben segera membelokkan motor ninjanya menuju jalan yang biasa dilalui Sonya.
"Hmh?" Sonya menyeringai, Ben tidak pernah lelah.
Sonya berusaha sebaik-baiknya bekerja dalam organisasinya, meskipun ada beberapa yang membuatnya merasa terganjal. Bagaimanapun keinginannya menyerah, dia tidak bisa begitu saja menyerahkan tempat duduknya di OSIS kepada sembarang orang. Sekolahnya cukup elit di kota S. Fasilitasnya sangat baik. Namun di manapun dia akan tetap bertemu dengan orang-orang yang.. licik.
Dia berbalik, tubuhnya menabrak dada kuat seseorang. Membuatnya terhuyung ke belakang. Namun Sonya merasakan ada tangan menghalanginya terjatuh. Pandangannya sontak bertemu dengan mata itu. Seseorang yang mungkin telah diam-diam menyelinap di baliknya, membuatnya terkejut setelah menabrak tubunya. 'Dia lagi, darimana dia datang?' Sonya mengingat, sejak tadi tidak ada orang lain di sana kan?
"Maaf," Sonya segera sadar dan bangkit.
"Kenapa? Diikutin lagi?" dia tidak pernah berhenti menyeringai. Membuat Sonya sebal lagi, dan lagi.
"Bukan urusan lo," Sonya bergegas, namun pergelangan tangannya masih dicengkeraman.
"Mau kemana?"
"Pulang."
Dua orang itu bercakap seolah telah terjadi sebuah peperangan dalam mata yang dingin.
"Ikut gue," Fatir menarik Sonya berjalan masuk gerbang kembali. Darah Sonya terasa mengalir di dalam tubuhnya, jantungnya, pelipisnya berdenyut dan membuat kepalanya terasa sakit. Tangan Fatir lebih kuat dari yang dia bayangkan, tangan itu menariknya, tidak sakit, namun memaksa. Akhirnya langkah Sonya pun mengikuti.
"Gue ada urusan penting. Besok aja bahas basketnya." Sayangnya, Sonya hanya mengoceh sendirian. Fatir tidak akan banyak bicara hanya untuk meladeni penolakan Sonya. Langkah mereka berhenti di samping Motor Ninja ZX-10-R. Pelupuk mata Sonya berkedut. Firasatnya tidak baik.
"Naik," Fatir memerintah. Namun Sonya tak bergerak. Tatapannya dingin dan mematikan. Untuk sesaat Fatir merasakan bulu kuduknya berdiri, namun segera ditakhlukkannya.
"Gue, mau, pulang." Tidak ada kata lain yang terucap selain itu dan itu. Kemudian Sonya melenggangkan kakinya menuju gerbang lagi.
"Sun, lu ke butik nggak?" suara yang Sonya kenal itu meneriakinya dari jauh. Disusul motor menggerung di belakangnya.
"Kenapa emang?" Sonya berhenti dan menjawab Shandy. Entah bagaimana, sejak bertemu dengan Melda dan Shandy, dia merasa sesuatu bergetar di hatinya. Sesuatu yang lain. Terasa seperti menggelitik, dan membuat Sonya selalu menjadi kekanak-kanakan saat bersama dua orang itu.
"Kalo mau ke butik, sekalian aja, bareng. Motor lu mogok lagi?"
"Iya," Sonya ingin segera naik ke atas motor Shandy. Namun otaknya masih mencerna berbagai hal.
"Apaan lagi? Buruan naik." Tanpa pikir panjang, Sonya mengikuti perintah Shandy. Mereka menghilang di balik gerbang. Tanpa sadar, ada mata tajam yang mengintai mereka sedari tadi.