Walaupun kedua orang tuanya menyiapkan Dokter pribadi untuknya, Starla tetap memilih pergi membeli obat di apotek, selain sedikit merepotkan memanggil Dokter, ia juga ingin melihat-melihat sebentar pemandangan kota meski demikian, ia tetap memilih apotek yang dekat dengan sekolahnya.
Keberuntungan Starla membaik setelah melihat pengunjung di apotek cenderung sepi.
Starla segera keluar setelah Arthur memarkir mobil di depan apotek. Matanya melirik ke lemari kaca besar yang berisi obat-obatan di dalamnya.
"Bisa saya bantu?" tanya salah satu petugas.
"Um," Starla masih bingung apakah ia harus membeli satu box ataukah beberapa lembar masker, batuknya memang ringan tapi siapa tahu hari esok, kan? Seperti kata Gea: jangan egois, ikuti etika batuk. Sedia payung sebelum hujan. "Aku mau memesan masker satu box, ya."
"Sebentar, ya."
Sambil menunggu, Starla mengeluarkan dompet dari tasnya, sayang tangannya slip karena ia batuk lagi membuat dompetnya jatuh ke tanah. "Ck," ia mendecih kecil, dan membungkuk untuk mengambilnya sambil tangan yang lain menutupi bibirnya dengan tisu, sebelum ia dapat meraihnya, satu tangan sudah mengambil dompet miliknya. "Ah," ia menegakan tubuhnya untuk melihat siapa yang mau mengambil dompetnya.
Seorang lelaki berambut hitam pekat dengan sepasang mata abu-abu mengulurkan dompet pink ke Starla. "Here, Miss."
Starla untuk beberapa saat tidak bergerak, ia terpesona akan sepasang mata abu-abu milik lelaki itu, di luar dugaan begitu indah sekali, ia memang belum pernah melihat langsung orang yang memiliki mata abu-abu sebab di Indonesia cenderung memiliki mata hitam dan cokelat; apa juga tahi lalat di bawah mata kirinya? Mengejutkan itu lihat imut baginya? Ia baru tersadar dari lamunan setelah lelaki itu berdeham dua kali. "Oh, thank you." katanya malu; ia yakin lelaki itu tidak nyaman ditatap olehnya.
Lelaki misterius itu tidak menjawab hanya mengangguk kecil, kembali fokus ke petugas yang sedang sibuk mencari pesanan Starla.
Starla menepuk keningnya, tak habis pikir dengan kejadian barusan; ia tidak menyangka sudah berbuat tidak sopan menatap lelaki asing hanya karena mata. Kendati demikian, ia masih sedikit penasaran, diam-diam ia melirik lelaki penolongnya melalui celah bulu matanya.
Starla tidak begitu yakin apakah lelaki itu seumuran atau lebih tua darinya sebab ia tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena tertutup masker hitamnya, lelaki itu juga mengenakan jaket biru gelap polos yang tidak menandakan logo sekolah atau universitas mana pun, ia dapat melihat kerah putih yang mencuat dibalik jaketnya tetapi yang mengenakan kerah putih bukan hanya anak sekolahan bisa juga pekerja.
Melihat dari tinggi badan juga tidak terlalu membantu, memang tinggi lelaki misterius itu kurang lebih sama seperti Rendy, tetap saja tidak bisa menyimpulkan masalah semudah itu, perkembangan tubuh itu rumit dan ia bukan seorang Dokter.
Starla hanya bisa menyimpulkan bahwa lelaki itu kemungkinan seorang turis, yang mungkin dari Eropa? Mengingat data yang dipelajarinya bahwa pemilik mata abu-abu kebanyakan dari Eropa. Dan juga lelaki di depannya ini bukanlah anak baru yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan.
"Maaf, maskernya sudah habis, De."
Starla terkejut. "Oh begitu, tak apa, terima kasih ya," gumamnya kecewa, berarti ia harus ke apotek lain, mau tak mau harus, ia tidak mungkin hanya mengandalkan tisu. Ia segera memasukan dompetnya lagi ke dalam tasnya sambil mengembuskan napas kecewa.
"Here."
"Eh?" Starla sedikit terkejut melihat sepasang tangan mengulurkan tiga buah masker kepadanya, dan matanya melebar mengetahui orang yang menawarkannya adalah lelaki yang tadi memungut dompetnya.
"For you." kata lelaki itu lagi.
"Are you sure?" tanya Starla, masih belum mau menerimanya.
"Sure," kata lelaki itu lagi, suaranya kali ini terdengar lebih lembut seperti mencoba meyakinkan bahwa memang tulus diberikan.
Starla menerimanya dengan senang hati. "Thank you so much!" serunya riang; dengan begini ia bisa pulang cepat dan melanjutkan lagi menggambar.
Lelaki itu tertawa kecil.
Starla menjadi malu sudah bereaksi berlebihan hanya karena tiga buah masker, walaupun sedikit menyenangkan bisa mendengar lelaki penolongnya tertawa dan itu karenanya juga.
Lelaki itu berhenti tertawa setelah petugas memberikan selembar uang lima ribu serta recehan lima ratus rupiah, ia menerimanya dan berbalik pergi.
Starla pun pergi dari apotek, ia sedikit melirik ke arah mana lelaki itu pergi, sedikit terkejut lelaki itu naik bus umum sendirian, mungkin salah dugaannya jika lelaki itu turis? Mungkin sudah tinggal lama di sini? Apa pun itu, ia berterima kasih bisa pulang lebih cepat untuk mengerjakan komiknya.
***
Starla menghempaskan tubuhnya ke ranjang kamarnya setelah mandi, sejenak ia menghela napas panjang yang tak lama kemudian disusul batuk-batuk kecil, ia mengerang pelan merasakan tenggorokannya semakin terasa sakit dan kepalanya mulai pening.
'Hari ini terasa berat sekali.'
Starla memiringkan tubuhnya, ia meringkuk seperti bayi dibalik selimut pink tebalnya.
Berangkat sekolah, pulang, menggambar, berangkat sekolah, pulang, menggambar.
Apakah sampai lulus sekolah tetap seperti itu-itu saja aktifitasnya? Ia mulai merasa bosan, ia masih remaja, yang memiliki banyak rasa ingin tahu yang tinggi, tidak seharusnya ia berada di rumah. Tetapi bermain di luar pun dengan siapa? Ia tidak memiliki siapa-siapa, teman-temannya asyik dengan dunia mereka sendiri.
Starla memiliki hobi, bukan berarti ia selalu nyaman dengan hobinya, ia sudah selesai menggambar sketsa kasar komiknya namun, tidak ada kepuasan sama sekali karena sejauh apa pun ia membuatnya, ia takkan pernah mempublikasikan komiknya.
Bagaimana bisa ia mengirim komiknya ke penerbit bila Ayahnya tidak mengijinkan? Memang tidak secara langsung Ayahnya mengatakan menolak mendukungnya, hanya pernah sekali Ayahnya menemukan komiknya, yang berakhir membuat nyalinya hilang.
"Ugh," erang Starla, ia di sini pusing memikirkan masa depan, sedangkan teman-temannya bersenang-senang.
Masa depan dipikirkan nanti, yang pertama ia harus menyusun rencana agar bisa pergi sekolah naik bus bersama teman-temannya.
"Hm," Starla berpikir keras bagaimana caranya membuat Arthur tidak bisa mengantarnya ke sekolah, pelayannya itu bangun pagi-pagi di saat dirinya enak-enak terlelap, jadi haruskah ia memasang alarm lebih pagi? Akan tetapi jam berapa? Selama ini ia tidak memerhatikan jadwal bangun Arthur, ia bukanlah tipe yang senang mengingat jadwal kerja pelayannya. "Ini mustahil," keluhnya. Ia tidak bisa melakukan itu kecuali memaksa Arthur. "Hm," otaknya terlintas sebuah ide. "Aku bisa mencoba mengempeskan ban mobil." gumamnya.
Namun, lagi idenya buntu mengetahui jika ia harus mengetahui kapan Arthur tertidur dan ia harus berhadapan dengan penjaga rumah.
Kenapa juga garasi mobilnya terpisah dari rumahnya?
Starla merasa kedua orang tuanya merencanakan hal tersebut mengingat adik angkatnya, Denis suka diam-diam mengambil motor di rumah mereka yang dulu. Setelah pindah rumah, nampaknya kedua orang tuanya belajar dari kecerdikan Denis dengan memisahkan garasi sampai membuat pintunya berhadapan dengan pos keamanan rumahnya.
"Uhuk-uhuk." Starla kembali terbatuk; batuk ini sama sekali tidak membantunya—"Oh!" ide lain muncul, kali ini cukup meyakinkan. Ia segera lari jendela kamarnya dan mendesah kecewa. "Kamarku di lantai dua." gagal lagi.
Starla merasa ide kali ini meyakinkan hanya di bagian turun dari jendela yang mustahil, kondisinya sedang tidak fit, dan harus memakai apa ia turun? Kain? Butuh berapa banyak? Pelayan akan curiga padanya. Rambut? "Aku bukan Rapunzel." gumamnya.
Berpikir.
Berpikir.
Berpikir—
"Ah!" setelah sekian lama, ide lain muncul, dan kali ini benar-benar cocok dengan rencananya. Kemungkinan suksesnya juga jauh lebih besar. "Jenius Starla strike again." pujinya pada diri sendiri.
Ia jadi tidak sabar menunggu besok.
"Tetapi sebelumnya..."