Setelah makan malam bersama Denis, Starla balik ke kamar tidurnya melanjutkan lagi membuat sketsa komiknya, kali ini ia memilih menggambar di balkon jendela kamarnya sekaligus memandang langit yang dihiasi bintang-bintang malam ini selain indah mungkin ia bisa mendapat ide menggambar.
Starla mengembuskan napasnya, berpikir apakah ia harus membeli screen tone yang harganya mahal? Ia mengembuskan napas sekaligus menutup sketchbook miliknya.
Kendatipun ia membeli screen tone, ia takkan mengajukan komiknya ke penerbit.
Starla teringat kalau Gea membuatkannya akun fakebook kemarin, dan ia belum bisa mengeceknya sama sekali. "Ya, dia memang tidak suka melihat temannya kuno sendiri." katanya pada dirinya sendiri.
Starla masih ingat Gea juga membuatkannya akun friendstar namun, belum sempat ia bermain, fakebook muncul dan segera mengambil alih tren anak-anak di sekolahnya tepatnya seluruh remaja di Indonesia, ia sedikit sedih sebab jujur ia lebih suka friendstar karena bisa memakai tema-tema imut di beranda akun berbeda dengan fakebook yang tidak ada pemilihan tema, ia berharap akan ada tema juga di fakebook suatu saat nanti.
"Hm," Starla menyalakan jaringan internet di ponselnya, lalu membuka situs fakebook, memasukan alamat serta sandi yang dikirim Gea lewat pesan, barulah mengklik masuk. "Huh!?" ia sedikit terkejut sudah memiliki pertemanan mencapai ratusan padahal ia kan baru membuka akun ini. Ia yakin Gea memainkan akun miliknya. Tangannya bergerak ke bawah untuk melihat status 'teman-temannya' dan matanya tertuju pada gambar seorang lelaki yang sedang membaca sesuatu di tangannya, di sebelahnya ada Ibu Kepala Sekolah. "Anak baru itu," begitulah tulisan foto tersebut.
Starla tidak dapat melihat jelas wajah anak baru itu karena gambarnya hanya diambil dari samping ditambah wajahnya tertutup masker hitam—
"Tunggu dulu!" Starla merasa tidak asing dengan tubuh pemuda itu, ia mengecek lagi secara seksama. "Ini perasaanku atau dia memang mirip dengan lelaki di apotek tadi?"
Yang membedakan hanya pakaian saja, lelaki di apotek tadi memakai jaket biru gelap sementara pemuda itu mengenakan seragam sekolahnya.
Starla mendekatkan ponsel ke wajahnya, tidak lupa ia memperbesar gambar itu ke satu titik yaitu wajahnya mencari tanda tahi lalat dan jika beruntung bisa mendapat warna mata pemuda itu, dan mengembuskan napas kecewa tidak satu pun didapatnya. "Fotonya diambil di sisi kanan dia sementara tahi lalat itu ada di bawah mata kirinya."
Starla benar-benar tidak beruntung jika berhubungan dengan masalah lelaki.
"Terserah," katanya acuh tak acuh; benar atau tidak takkan mempengaruhi, kan? Anak baru itu akan cuit kalau sudah mendengar nama keluarganya. "Kutukan Tuan Putri takkan membuat cintaku lancar. Ingat?"
Pemuda itu juga belum tentu akan setampan Rendy, Ferdian atau lelaki yang lain.
Yang sudah-sudah si Iqbal yang katanya dulu dirumorkan anak baru yang tampan yang bakal menyaingi Rendy dan Ferdian, ternyata tidak sesuai dengan ekspestasinya.
"Mungkin bukan lelaki yang kabur, tetapi akulah yang menetapkan standar terlalu tinggi." gumam Starla terheran-heran pada dirinya sendiri.
Walaupun Iqbal nakal, patut diacungi jempol bahwa wajahnya tampan namun, entah kenapa ia tidak tertarik sama sekali, matanya yang salah atau—
"Mungkin memang ada sesuatu yang salah dengan diriku." Starla menebak-nebak, tak lama ia menepuk keningnya. "Bagus. Aku berbicara pada diriku sendiri. Tetangga akan mengira yang tidak-tidak." ia tidak mau ada lagi masalah. Ia menguap kecil.
Apa pun itu bisa dipikirkan nanti.
"Aku harap besok berjalan lancar." pinta Starla pelan.
***
Tok. Tok. Tok.
Starla terbangun dari tidurnya mendengar ketukan pintu di kamarnya, ia menggerutu pelan, membenarkan posisi tidurnya agar lebih nyaman, dan menutup matanya lagi. Ia yakin siapa pun itu akan segera pergi.
Tok. Tok. Tok.
Segera pergi—
Tok. Tok. Tok.
Segera per—
"Kakak?"
Starla akhirnya menyerah, ia bangun dari tidurnya, sambil menggembungkan pipinya, ia menghentak-hentakan langkah kakinya menuju pintu kamarnya.
Cklek.
Wajah Denis yang sok polos menyambutnya. "Pagi, Kak."
Starla memutar bola matanya; Denis berusaha bermain polos-polosan dengannya? Sayangnya ia tidak berniat. "Apa maumu?"
"Wow," Denis merasa takjub dengan ucapan 'manis' Starla. "Aku kemari cuma ingin membangunkan, heran juga kenapa Kakak belum bangun."
"Apa?" Starla sudah menyetel alarm lebih cepat dari biasanya kemarin, alarmnya belum berbunyi yang berarti Denis membangunkan lebih pagi, atau alarm berbunyi tetapi ia tidak mendengarnya? "Memangnya sekarang jam berapa?" tanyanya panik.
"Setengah tujuh," sahut Denis dengan polosnya.
"Apa!?" Starla berseru panik, tanpa berpikir panjang ia segera menutup pintu kamarnya, dan berlari cepat ke kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat sekolah.
Sambil menggosokkan sabun ke seluruh tubuhnya, Starla bertanya-tanya dalam hatinya kenapa alarm ponselnya tidak berbunyi, ia yakin baterai ponselnya tak habis, yakin juga sudah menyetel jam setengah enam pagi jadi bagaimana bisa tidak berbunyi? Apakah ponselnya rusak?
Starla menyalakan keran shower untuk membersihkan sabun di tubuhnya lalu segera mencuci muka, menyikat gigi dari atas, bawah, depan, belakang secara teratur, kemudian berkumur, dan melilitkan handuk di tubuhnya.
Starla membuka lemari pakaian mencari seragam putih abu-abu miliknya, dan segera memakainya setelah ketemu, begitu selesai, ia duduk di kursi tempat biasa ia berdandan, karena dikejar waktu, ia hanya memakai bedak dan lip gloss tak lupa memakai pelindung tabir surya di tubuhnya yang terbuka serta wajahnya.
Untunglah semalam ia sudah membereskan keperluan pelajaran sekarang, jadi ia hanya tinggal memakai tas tak lupa ponselnya dan berjalan keluar menuruni anak-anak tangga dengan cekatan.
"Pagi." Denis yang tengah memainkan ponselnya menyapa sekali lagi.
"Pagi juga Denis." Starla membalas hangat, melirik penasaran apa yang sedang ditulis oleh Denis di ponsel.
Denis membalikan tubuhnya menghindari Starla untuk melihat layar ponselnya; kebiasaan suka mengintip privasinya, walau lebih tua, ia takkan membiarkan Starla melihat privasinya.
Starla memutar bola matanya. "Pelit." protesnya.
Denis tidak memperdulikan ucapan Kakaknya, masih sibuk mengetik, setelah selesai ia mengirim pesan tersebut dan kembali menghadap Starla lagi. "Jadi tidak melakukan pekerjaan kotor ini?"
Starla menepuk keningnya; lagi, Denis membuatnya merasa seperti seorang kriminal, sudah dibilang untuk tidak berkomentar yang tidak-tidak. "Motormu sudah diperiksa belum?"
"Aku sudah mengakali motorku, tenang saja, Kak," sahut Denis. "Kakak tunggu sinyal yang akan aku berikan saja."
"Apa?" Itu bukan yang mereka sepakati semalam, Starla ingin memprotes tetapi Denis sudah berlari keluar, ia mengikuti hanya sampai di dekat pintu, melihat apa Arthur ada di luar, dan benar saja Arthur di sana sedang membersihkan mobil.
Denis segera berlari menuju garasi di mana motornya berada, berpura-pura menyalakan motornya yang berkali-kali gagal, setelah di rasa cukup meyakinkan, ia segara turun dari motornya. "Arthur!" panggilnya.
"Ya?" Arthur menjawab dengan berteriak juga.
"Sebentar ke sini, ada yang tidak beres dengan motorku!" seru Denis lagi.
Arthur segera menghampiri dan memeriksa motor milik Denis.
Starla yang sejak tadi melihat, berpikir-pikir apa yang sudah terjadi, ia menunggu sinyal dari Denis dengan was-was, berpacu dengan waktu pemberhentian bus sekolahnya. "Kalau dia memberi sinyal apakah aku harus mulai mengempeskan ban?" tanyanya. Jika benar adanya, takkan ada waktu kalau menunggu sinyal, ia akan melakukan sekarang. Ia pun berjalan menuju mobilnya berada, langsung berjongkok di sampingnya, tangannya dengan cekatan memutar katup ban yang kencang menjadi longgar.
Di luar dugaan udara yang keluar tidaklah sebesar yang ia kira, membuatnya semakin cemas bila akan gagal. Mungkin ini sebabnya Denis memintanya untuk bangun lebih pagi karena memang membutuhkan waktu yang lama.