Pikiran Starla berkecamuk apakah ia harus menyapa pemuda di sampingnya, rasa percaya dirinya cukup tinggi namun, tetap saja bila ia salah akan memalukan diri sendiri juga; lain ceritanya bila ia melihat wajah pemuda itu.
'Kenapa aku harus peduli juga?'
Tentu pemuda itu membantunya kemarin, tetap tidak membuat mereka dekat.
Starla mengembuskan napasnya; padahal sudah berharap ada beberapa lelaki tampan di bus ternyata malah banyak perempuan di sini.
'Tampaknya memang aku tidak akan memiliki pacar sampai lulus.'
Namun, Starla mengambil sisi positif, ia sedikit bahagia bisa sedikit bebas.
Starla melirik keluar jendela, melihat kendaraan yang lewat sungguh berbeda dari atas, untunglah Luna mencegahnya duduk di lantai bawah, padahal pemandangan seperti ini sudah setiap hari dilihatnya, memang benar adanya mood bisa mempengaruhi pandangan seseorang. "Ya sungguh berbeda."
"Aku lihat sepertinya, sudah baikan, ya?"
Starla terkesikap mendengar suara berat di sampingnya, ia menoleh untuk melihat siapa yang bertanya, dan mendapati pemuda di sampingnya
"Maaf jika tiba-tiba," kata pemuda itu lagi. "Kau pasti tidak mengingatku, kita bertemu di apotek kemarin sore."
"Ti-tidak apa," kenapa ia menjadi gugup begini? Mungkin disebabkan pemuda itu yang mulai mengajaknya berbicara. "Oh, tentu saja aku ingat!"
'Siapa yang bisa melupakan mata abu-abu indahmu...'
Starla terbatuk akan pikirannya. "Aku tidak berani menyapa karena takut salah." akuinya. "Terima kasih sekali lagi buat maskernya, aku sungguh-sungguh tertolong. Keadaanku juga sudah membaik."
"Oh, tentu saja," pemuda itu mengerti. "Syukurlah jika kau sudah baikan."
"Apakah kau sakit juga?" tanya Starla penasaran mengingat pemuda itu sekarang pun mengenakan masker.
"Tidak, aku hanya melindungi diriku dari debu kendaraan," kata pemuda itu. "Polusi udara tidak bagus bagi tubuhku."
"Ya," Starla menyetujui; kenapa ia merasa seperti mengobrol dengan seorang Dokter? Mungkin karena pemuda itu berbicara formal padanya.
"Maaf jika ucapanku membosankan." kata pemuda itu sambil tertawa kecil.
"Tidak!" sahut Starla cepat; kalaupun benar membosankan setidaknya bisa memandang mata abu-abu itu, anehnya ia merasakan sisi misterius di pancaran mata tersebut. "Aku
"Oh." Pemuda itu teringat sesuatu. "Aku belum memperkenalkan diri, tentu kau tidak merasa nyaman. Maaf." sesalnya, kemudian ia melepas tali masker di telinganya satu per satu.
Starla menunggu dengan irama jantung yang berdetak cepat.
Begitu banyak tebakan di pikirannya mengenai wajah pemuda itu, mulai dari bibir, apakah kecil berisi, tipis atau besar, namun, yang paling membuatnya antusias justru tahi lalat pemuda itu apakah ada di tempat lain selain di bawah mata. Dan tentu saja yang tak kalah penting bagi perempuan yaitu apakah tampan atau tidak.
Setelah selesai membuka tali yang sebelah kanan, ia membuka tali yang sebelah kiri, mengambil napas sekali sebelum kemudian memandang Starla lagi. "Namaku Ao—"
"Sudah sampai, silakan turun, anak-anak." suara Supir memutus ucapan pemuda itu.
"Sepertinya kita sudahi percakapan ini. Senang berbicara denganmu, Starla-san." kata pemuda itu dengan ekspresi menyesal, lalu ia bangkit dan menuruni tangga.
Starla sendiri masih terdiam di tempatnya duduk, sampai-sampai Luna menghampiri tempatnya duduk.
"Ayo kita turun, La." ajak Luna.
Tidak ada jawaban.
"Starla?" Luna memanggil lagi, tetap tidak dijawab, ia melambaikan tangan di wajah temannya, tidak berkedip sama sekali mata Starla; ada yang aneh ini. Ia memerhatikan dengan seksama wajah temannya; pipi yang merona merah, mata cokelat yang melebar seperti terkejut akan sesuatu, bibir yang agak terbuka. "Starla!" panggilnya keras.
"Apa!?" Starla akhirnya sadar. "Apa yang baru terjadi?" tanyanya kebingungan.
Luna memandang dia tidak percaya.
Starla yang bertingkah aneh, Starla juga yang kebingungan—mungkin energi percaya diri temannya terlalu hebat hingga menyebabkan lupa mendadak?
"Apa yang kau bicarakan?" Luna bertanya balik. "Kau membatu seakan baru pertama kalinya melihat artis idolamu."