Pluk.
Di saat Starla bersedih ria, sebuah gumpalan kertas kecil mengenai wajahnya, tentu ia syok sesaat, siapa yang tega melemparkan kertas padanya yang sudah malang ini, ia mencari siapa pelakunya—terkejut lagi itu adalah Kak Rendy, melambaikan tangan padanya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Rendy penasaran.
Starla menyadari jika Rendy mengenakan pakaian olahraga sekolah yang berarti kelas 3 IPS 4 sedang di mata pelajaran olah raga, ia syok melihat orang-orang di belakang Rendy sedang berbisik-bisik bahkan tertawa kecil memandang dirinya; karena tidak mungkin berteriak takut ketahuan Pak Agus, ia pun mengisyaratkan dengan gerakan bibirnya: aku dihukum.
Rendy untungnya mengerti. "Yang sabar ya!"
Starla menepuk keningnya. "Kenapa dia berteriak begitu? Teman-temannya jadi melihatku," gumamnya, walau begitu ia mengangguk.
Rendy kembali ke lapangan sambil membawa bola voli yang keluar jauh dari lapangan, ia bersiap-siap di area servis, dan melakukan servis melompat, menghasilkan servis keras yang tidak bisa dibalas oleh lawan mainnya.
Starla terkagum melihatnya, detik kemudian tertawa kecil mendengar mereka protes pada Rendy untuk berbuat adil.
Mungkin hukuman mulai berjalan dari kata buruk baginya.
Starla antusias lagi melihat Rendy bersiap-siap melakukan servis lagi, kali ini hanya melakukan servis atas yang juga bisa dikembalikan oleh lawan; perlawanan begitu ketat hingga akhirnya lawan Rendy mencetak skor.
"Kenapa dia terlihat tidak asing." gumam Starla yang melihat lawan main Rendy mulai melakukan servis, ia sedikit kesulitan karena pohon di depan kelas menghalangi matanya, makanya sejak tadi ia hanya melihat tim dari Rendy. Ia bergeser sedikit supaya mendapat pemandangan lebih jelas, dan membeku saat mengetahui pemuda itu bermain juga. "Huh?"
Pemuda itu satu kelas dengan Rendy? Kenapa ia tidak pernah melihat? Atau memang benar anak baru.
Debaran jantungnya semakin cepat tak kala melihat pemuda itu bersorak gembira bersama teman yang lain ketika mencetak angka lagi.
Tanpa sengaja pandangan mata mereka bertemu, Starla otomatis memberikan senyum kaku yang dibalas senyum juga, hatinya terasa mencair mendapat senyum manis itu lagi. "Tidak, tidak seharusnya aku tersanjung,"
Starla seharusnya merasa malu dipergoki oleh pemuda itu sedang dihukum konyol seperti ini bukan malah senang, tanggapan pemuda itu bisa jelek terhadapnya, kan?
Hukuman pertamanya ini juga dikarenakan pemuda itu juga sudah sepantasnya ia jengkel bukan mudah memaafkan begini.
Walau begitu, Starla mendapati dirinya memandang pemuda itu lagi, ia bahkan ikut merayakan dengan berdansa kecil ketika tim dari pemuda itu mencetak angka lagi.
Hukuman ini terus-terusan membaik. Tepatnya hukuman yang termanis.
"Baiklah, Starla, sudah cukup hukuman hari ini," suara Pak Agus mengembalikan Starla dari khayalan indahnya. "Kembali ke dalam kelas."
"Tapi Pak, bukankah terlalu cepat." kata Starla; ia masih mau melihat pemuda itu.
"Terlalu cepat? Ini sudah lima belas menit," kata Pak Agus.
"Eh? Sungguh?" lima belas menit begitu cepat berlalu.
"Kau terdengar kurang puas aku beri hukuman, Starla." kata Pak Agus. "Kalau begitu akan aku tambah, berdiri di depan kelas sekarang."
"Huh?" bagaimana bisa Pak Agus memberikan hukuman tambahan hanya karena kebingungan dirinya, dan lagi di dalam kelas, kalau di luar mau berapa lama pun ia mau.
"Cepat, Starla." perintah Pak Agus.
"Ya, Pak," Starla menyahut kecil lalu berjalan ke dalam penuh kecewa tidak bisa melihat pemuda itu bermain lagi.