"Apa?"
"Kau meneteskan air liurmu," kata Luna.
Giliran Starla yang memandang Luna tak percaya lebih ke arah jijik.
"Hanya istilah saja La, bukan berarti kau benar-benar begitu." kata Luna. "Maksudku kau seperti orang yang terpesona, terkagum, terpukau, jatuh cin—"
"Baiklah, baiklah, aku mengerti." Starla memotong. "Aku terlihat seperti itu?" tanyanya ragu-ragu.
Luna mengangguk. "Serius, kau sedang memikirkan apa? Kalau bisa menebak, biasanya kau mendapat ide bagus buat komikmu." katanya. "Walaupun biasanya tidak sampai memerah begitu, makanya aku bilang kau mungkin membayangkan artis idolamu, sebagai contoh komikmu... ?"
Starla tidak percaya mendengarnya, ia terlihat seperti itu di depan pemuda tadi—mata cokelatnya melebar, ia segera bangkit berdiri, mencari pemuda itu namun, tidak ada, ia mengembuskan napas kecewa.
Luna yang melihat keanehan Starla lagi, akhirnya tidak tahan. "Baiklah, cepat ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi."
Starla menggaruk lengannya gugup, bagaimana ia harus menjelaskannya; ia bertemu pemuda di apotek, esoknya bertemu lagi, dan ketika pemuda itu menampilkan wajahnya untuk memperkenalkan diri pada dirinya, jantungnya seperti terhenti seketika seakan ada yang menusuknya. "Um, kau tahu
"Tidak usah berkata lagi!" Luna memotong ucapan temannya. "Sekarang ayo kita keluar dari bus dan mengejar lelaki itu."
Mata Starla membulat. "Mengejar!?"
Luna mengangguk, tanpa menunggu lebih lama, ia menarik tangan Starla, menuntun keluar bus dengan cepat.
"Tetapi kenapa?" tanya Starla setelah mereka sampai di luar bus.
Luna yang masih menengok ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan pemuda yang duduk dengan Starla, menjawab. "Kau itu sungguh tumpul ya."
"Maksudmu?" Starla tidak mengerti, ia tidak merasa begitu jadi sedikit tersinggung.
Luna menyeringai kecil. "Aku bisa melihat benih-benih cinta di mata cokelatmu, Starla." godanya. "Bagaimana rasanya merasakan ucapanmu sendiri, kawan baikku?" katanya lagi sambil mengedipkan mata jahil.
"Apa?" jatuh cinta? Ia jatuh cinta? "Tidak mungkin aku jatuh cinta!" sergahnya galak.
Setidaknya itulah perkiraan Starla.
"Jelas sekali tadi, La." goda Luna keasyikan. "Coba ingat lelaki tadi lagi dan rasakan reaksi tubuhmu, tepatnya jantungmu." ia memberi saran.
Starla menuruti ucapan Luna tanpa pikir panjang, mengingat pemuda itu membuka maskernya, memperlihatkan wajahnya serta sebuah senyum lembut padanya, dan detik kemudian pipinya memanas kembali. "Hm..." gumamnya; itu senyuman yang begitu manis yang pernah dilihatnya.
"Jadi?" Luna menunggu tak sabar. "Jadi kapan tanggal pernikahannya?" godanya lagi.
Starla tertunduk malu memikirkan pernikahan dengan pemuda tadi. "Aku rasa bukan cinta!" katanya jengkel. "Aku akui dia memiliki senyum yang manis tetapi bukan berarti aku jatuh cinta, kan?" tanyanya, atau tanyanya pada dirinya sendiri.
"Tenanglah Starla Annora, jatuh cinta bukanlah sesuatu yang buruk, biarkan dia membimbingmu dan rasakan keajaibannya pada dirimu. Luar biasa loh." kata Luna.
Starla lagi-lagi memikirkan ucapan Luna. "Kau ini ya!" serunya malu.
"Sudah cukup berdebatnya." kata Luna tegas. "Cepat cari Dilan-mu sebelum dia benar-benar pergi!" lanjutnya semangat empat lima. "Dengan begitu aku bersedia menjadi pengiring wanita di pernikahanmu, La..." godanya lagi.
"Sudah kubilang... !" Starla tidak melanjutkan kata-katanya, menyerah jika Luna sudah menggodanya, satu-satunya cara yaitu mengikuti alur permainan, lantas ia mencari sosok pemuda itu, dan ketemu juga, pemuda itu berjalan ke arah ruang guru? "Apa urusan dia di ruang guru, ya?"
"Ruang guru?" mata Luna mengikuti arah pandangan Starla, di sana ia melihat seorang pemuda memakai seragam lengkap dengan topi, pandangan pertama ia sedikit bingung Starla memiliki selera pemuda rapih dan taat aturan namun, ia tidak peduli sebab selera orang memang berbeda-beda. "Ayo kita cari tahu!"
"Aku tidak yakin ini ide yang bagus." kata Starla, ia baru saja melihat pemuda itu memasuki ruangan kepala sekolah, ia merasa tidak enak dengan ini. "Kita bisa terlambat ke kelas, Luna."
"Jangan jadi membosankan." kata Luna sambil menguap kecil. "Aku yakin kau juga ingin tahu kenapa dia masuk ke sana."
Starla tidak menjawab, tentu saja ia penasaran.
"Ayo!" kata Luna, melenggang pergi menuju ruang kepala sekolah berada dengan penuh percaya diri.
"Kenapa aku bisa berteman dengan dia..." gumam Starla pelan, kemudian mengikuti dari belakang.