Luna berdecak kesal mengetahui pintu ruangan ditutup, ia mencari celah lain agar bisa melihat ke dalam, beruntungnya ia menemukannya, ada satu kaca jendela yang tirainya tidak terlalu tertutup, tanpa berpikir panjang ia mengintip dari sana.
Starla yang memerhatikan, merasa gelisah melirik ke kanan dan ke kiri, takut-takut ada guru yang memergoki mereka.
"Whoa..." kata Luna kagum. "Sekarang aku mengerti kenapa kau bisa jatuh cinta padanya."
Starla berjalan mendekat, walaupun ia menentang ini namun, jika bisa melihat sekali lagi wajah pemuda itu terlebih lagi senyumannya, tentu mau. Ia berjinjit untuk melihat, detik kemudian degub jantungnya berdebar-debar aneh melihat wajah pemuda itu.
Berbeda dengan di bus, pemuda itu sudah menanggalkan topi, jaket serta maskernya.
Starla bahkan bisa melihat dengan jelas dagu yang terbelah pada pemuda itu.
"Sikumu tajam sekali, La. Punggungku sakit." keluh Luna yang berada di bawah.
"Maaf, aku hanya mencoba melihat lebih jelas lagi—"
"Ehem." seorang wanita muda berdeham pelan. "Apanya yang jelas, Starla, Luna?"
Luna dan Starla terkejut di tempat mereka berdiri, suara yang begitu mereka kenali, mereka saling memandang satu sama lain sebelum kemudian menoleh ke arah suara tersebut berada takut-takut, dan benar saja apa yang mereka takutkan, suara itu berasal dari Ibu Melati.
"Jadi?" tanya Ibu Melati sambil mengetuk-ngetukan sepatunya.
Mereka berdua tidak bisa menjawab, saling sikut satu sama lain.
"Ah, tidak Bu, kami hanya ada urusan dengan Kepala Sekolah," Starla yang membuka suara. "Ta-tapi nampaknya Ibu Sri kedatangan tamu jadi tidak usah saja."
"Hm," Ibu Melati merasa ada sesuatu yang aneh pada kedua gadis itu.
"Sudah ya Bu. Mau ke kelas dulu." Luna buru-buru menambahkan sebelum keadaan semakin gawat, sebelum pergi, ia mencium tangan Ibu Melati terlebih dahulu diikuti Starla. "Nanti kami terlambat."
"Belajar yang benar." Ibu Melati menasehati. "Akuntansi kalian masih belum memuaskan."
"Ya," Starla menyahut, setelahnya langsung berbalik pergi menuju kelasnya.
Setelah mereka berjalan cukup jauh dari ruangan kepala sekolah, Luna mengumpat. "Ukh! Ibu Melati selalu merusak keadaan!"
"Jangan seperti Iqbal, La." Starla menasehati.
"Kenapa kau tidak kesal? Karena Ibu Melati, kita jadi tidak bisa tahu lebih jauh soal lelaki pujaanmu." kata Luna jengkel.
Starla tentu saja kecewa namun, masih banyak waktu untuk bisa mengetahui pemuda itu. "Sudahlah, cepat atau lambat, pasti akan ada yang lihat, itu kan lorong sekolah."
"Kau membela Ibu Melati terus ya," sindir Luna halus.
"Aku bersikap netral di sini." kata Starla. "Nilai akuntasiku juga jelek, malah jauh di bawahmu, tahu itu."
Luna berpikir sebentar, sebelum akhirnya tertawa. "Benar. Nilaiku memang bukan yang tertinggi di kelas tapi bisa berada di atasmu begitu memuaskan, La."
"Sekarang, kau besar kepala." giliran Starla yang menyindir halus.
Luna tertawa lagi. "Misi tadi memang gagal, tetapi aku punya misi lain buat mengetahui identitas pemuda itu."
"Misi?" Starla merasa tidak enak mendengarnya.
"Tenang saja, serahkan padaku soal ini, La."
Justru Starla semakin curiga.