"Mata-mata?" Starla sama sekali tidak mempercayainya. "Maksudmu Kak Rendy kan?"
Pipi Luna lantas merona. "Hey, aku sedang membantumu, aku batalkan pesannya ya?"
Starla menggembungkan pipinya sebal, sungguh tidak adil memakai ancaman begitu padanya, ia kan juga mau menggoda.
Setelah selesai mengetik, Luna pun mengirim pesan pada Rendy, kemudian kembali fokus ke Starla. "Akan menguntungkan kalau Kak Rendy sudah dekat dengan dia. Biasanya kan ketua kelas selalu menangani hal penting, bisa juga Kak Rendy mencoba membuat dia nyaman sebagai teman pertamanya."
Starla tidak dapat berpendapat banyak, memang ketua kelas mengambil andil hal-hal yang penting tetapi mengingat pemuda itu berasal dari Jepang yang mayoritas warganya mandiri serta sudah terbiasa sendiri, ia tidak terlalu yakin.
Tetapi Starla tetap berpegang pada harapan kecil tersebut.
Pemuda itu bisa dekat dengan Rendy akan memudahkannya untuk mengenal atau mungkin bisa menjadi teman juga. Ia harap.
"Oh!"
Suara bunyi bel masuk memenuhi ruangan kelasnya.
Sebelum pelajaran dimulai, Starla memastikan sekali lagi. "Apa sudah dibalas?"
Luna mengecek ponselnya, wajahnya berubah murung seketika itu juga. "Belum, kurasa dia sibuk."
"Oh," sepertinya ia harus menunggu sedikit lama, Starla melahap makanannya, rasanya begitu hambar di lidahnya, mungkin efek dari kekecewaan di hati kecilnya.
"Kau tidak membuangnya?" tanya Luna.
Starla mengerutkan alisnya. "Aku bukanlah orang yang seperti itu, tidak bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan untukku."
"Santai saja, La. Aku juga begitu. Aku hanya menyarankan saja, kan sudah bel masuk."
"Aku hanya mempercepat makanku," kata Starla.
"Hati-hati nanti tersedak kalau makan terlalu cepat, La." Luna memperingatkan. "Kasihani juga lambungmu, La."
Starla mengangguk.
***
Starla merenggangkan ototnya yang terasa kaku.
Berbeda dengan pelajaran pertama serta keduanya, siang ini ia bisa konsentrasi, ia bahkan menjawab beberapa pertanyaan, mungkin karena Luna membantunya jadi beban dipikirannya sedikit ringan.
Guru bahkan memujinya karena ia seperti sedang mengikuti olimpiade, berani bersaing dengan murid pintar di kelasnya.
Starla memang tidak terlalu suka menonjolkan diri ketika ada kuis tebakan soal, jadi siang tadi sungguh-sungguh membuat murid serta guru terkejut akan sikapnya yang terkesan ambisius padahal ia hanya senang bisa berkonsentrasi lagi.
"Maaf ya La. Kak Rendy belum membalas pesanku." kata Luna. "Aku juga ada janji dengan Kak Sandy jadi kau pulang sendiri lagi ya?"
"Oh," Starla tidak dapat menyembunyikan kesedihannya; sendiri lagi pulang. "Tak apa. Cepat tentukan pilihanmu ya," sindirnya.
"Aku coba," kata Luna gugup, lalu segera keluar dari kelas.
Starla mengembuskan napasnya, membereskan alat tulisnya ke dalam tasnya, kemudian mengecek ponselnya, sedikit aneh tidak ada pesan dari Denis, ia sempat mengira ban mobil sudah kempis di perjalanan, dan ia akan mendapat omelan namun, ini tidak ada satu pun tanda keberadaan Denis.
Mungkin mobilnya bisa sampai ke sekolah sebelum benar-benar kempis? Atau memang sudah tetapi Denis tidak mau komplain karena ialah adiknya bisa membawa mobil ke sekolah?
Apa pun itu Starla aman sekarang ini, ia bangkit berdiri, merapikan seragamnya barulah berjalan keluar kelasnya dengan wajah sedikit tertunduk.
Starla menggenggam ponselnya, ragu-ragu apakah harus menelepon Arthur meminta dijemput, ia memang sudah bertekad ingin berbicara dengan Arthur namun, setelah insiden di bus tadi pagi, ia jadi ingin naik bus lagi.
Mungkin ia bisa bertemu pemuda bernama Ao itu, dan mereka berdua bisa mengobrol lagi.
Starla tersenyum kecil memikirkannya, di saat itulah mata cokelatnya tanpa sengaja menangkap sosok gadis dan pemuda sedang berdiri membelakanginya di bawah pohon bunga tanjung, matanya terbelalak lebar mengetahui pemuda itu adalah Ao, perasaan cemburu dengan cepat menyelimuti hatinya.
Padahal Ao tergolong murid baru tetapi sudah bermesraan begitu, gadis itu bahkan menyandarkan kepalanya di bahu Ao.