Dalam satu kedipan mata, tas besar yang tadinya berada di depan Nona Peony musnah menjadi debu. Kilatan cahaya itu menghanguskan benda yang dibidiknya dan memusnahkannya dalam sekejap mata.
Nona Peony langsung terjengkang ke belakang. Ia tidak menyangka bahwa barang yang seharusnya detik ini sudah berada di tangannya dalam sepersekian milidetik saja sudah menghilang dan melebur bersama angin.
Wanita itu menatap horor ke arah sumber dari kilatan cahaya tadi. Netranya bertumbuk dengan tatapan sinis si tetua goblin. Rambut panjangnya berkibar terbawa angin.
"Kau." Goblin tua itu menunjuk Nona Peony yang terduduk lemas di tanah menggunakan tongkat sihirnya. "Tega sekali menjadikan penyihir-penyihir junior itu sebagai umpan demi menyelamatkan dirimu sendiri," sambungnya kemudian.
Hati wanita itu mencelos. Rencananya gagal total. Goblin tua berkepala plontos itu mengetahui keberadaannya dan tidak segan-segan untuk memusnahkan barang-barang bawaannya.
Ia sudah menyerah. Nona Peony menyerah dan tidak lagi memikirkan keadaan di sekitarnya. Yang ia inginkan saat ini adalah mati secepatnya jika memang ia sudah dipastikan untuk mati hari ini.
Ia lebih memilih untuk mati dibandingkan harus mendengarkan kekecewaan yang dilontarkan oleh penyihir-penyihir dampingannya.
Ia lebih memilih untuk mati terlebih dahulu dibandingkan harus melihat teriakan sumbang dan kesakitan dari tiga penyihir junior itu.
Ia lebih memilih mati daripada harus melihat muka ketakutan Lila, Cia, dan Aliga.
Nona Peony yang ceria, enerjik, dan selalu menebarkan aura positif menghilang kali ini.
Nona Peony ... hanya ingin mati.
Keadaan Lila dan Aliga saat ini sama memprihatinkannya. Beberapa kali gadis itu berteriak untuk menyemangati dirinya sendiri. Namun nihil, usahanya sia-sia saja. Sekencang dan sekuat apapun ia berteriak, tidak akan ada energi sihir yang kembali. Yang ada, ia malah hanya akan memperlelah dirinya saja dengan berteriak seperti orang gila itu.
Pada akhirnya, di akhir hari, kelompok Lila harus mengalah pada kenyataan. Mereka kalah dan harus digiring sekali lagi oleh makhluk-makhluk hijau itu ke tengah lapangan.
Mereka kini tinggal menunggu siapa gerangan penyihir yang akan dibunuh pertama kali oleh si tetua goblin.
••••
Malam pada akhirnya datang. Gelap langsung menyelimuti perkampungan yang berada di tengah hutan antah berantah ini. Suara hembusan angin dan gesekan daun dari pepohonan rimbun di luar perkampungan masih santer terdengar. Riuh hilang timbul dari festival musik para goblin tak mau kalah dalam menunjukkan taringnya.
Lila tidak menyangka bahwa ia dan rekannya masih hidup hingga detik ini. Namun, yah ... keadaan mereka juga tidak bagus saat ini.
Tangan, kaki, dan leher mereka diikat menggunakan tali tambang dan badan mereka didudukkan dalam posisi melingkar dan saling membelakangi di sebuah tiang yang ada di tengah lapangan.
Jangan tanya seberapa besar rasa sakit yang Lila rasakan di lehernya saat ini. Ia kesulitan untuk memasukkan oksigen ke dalam paru-parunya. Ikatan tali tambang di lehernya juga terlalu kuat hingga ia merasa bahwa lehernya sudah lecet luar biasa saat ini.
Cia masih pingsan saat ini. Dari tadi sore, saat pertarungan antara Lila dan Aliga melawan satu pasukan besar goblin, yang gadis berkacamata itu lakukan hanya meringkuk di atas tanah.
Aliga diam saja. Ia bingung harus marah, sedih, kesal, atau putus asa saat ini. Namun, yang paling memprihatinkan adalah Nona Peony. Ia ... tidak berbicara apa-apa dari tadi.
"Nona." Akhirnya, Lila memutuskan untuk memanggil pendampingnya itu. Tidak digubris. Menoleh pun tidak.
Lila mendengus kesal. Nona Peony benar-benar berubah saat ini.
"Lila."