Mata Aliga terpejam. Napasnya memburu dan peluhnya bercucuran. Ia harus bisa membakar tali yang membebat tangannya tanpa menghasilkan asap dan bau gosong. Satu-satunya cara agar tidak ada asap dan bau gosong yang dihasilkan adalah dengan secepat mungkin menyalurkan panas dalam jumlah yang sebanyak mungkin.
Aliga, yang saat ini masih mendapat predikat sebagai penyihir junior belum bisa mengontrol kekuatan sihirnya sebaik para penyihir senior. Ia bahkan pernah membakar taman bunga akademi karena tidak bisa mengatur kekuatannya.
Hal tersebut tentu saja akan berubah menjadi berbahaya di saat-saat seperti ini. Jika salah sedikit saja, bukan hanya tali itu yang akan berubah menjadi abu, tetapi rekan-rekannya yang lain juga.
Karenanya, Aliga berusaha mati-matian agar bisa mengontrol kekuatan sihir alaminya. Setelah merasa cukup siap, ia mulai merapalkan mantra dan mulai mentransfer kalor ke tali itu.
Hawa mendadak berubah menjadi gerah. Terbilang wajar untuk sihir sekelas Aliga yang bisa saja langsung membakar penggunanya jika tidak berhati-hati.
Aliga memejamkan matanya. Guratan tajam tercetak jelas di dahinya. Giginya bergemeretak keras hingga membuat Cia yang berada di sebelahnya merasa ngeri.
Beberapa menit kemudian, tanpa disadari oleh satu pun penyihir yang ada di sana, tali yang mengekang mereka kini sudah melebur menjadi abu. Tidak ada asap mau pun bau gosong yang tercium selama proses tersebut.
Aliga berhasil.
Lelaki itu mengembuskan napasnya lega. Ia telah berhasil menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. Ia menoleh ke arah Nona Peony sambil tersenyum bangga. Ia senang karena ia bisa mengendalikan kekuatannya kali ini.
Entah lelaki itu sadari atau tidak, ucapan Nona Peony sebelumnya memberikan dampak yang cukup besar bagi kekuatannya. Emosinya menjadi stabil dan membuat aliran sihir di peredaran darahnya mengalir teratur. Jika bukan karena Nona Peony, ia pasti sudah kehilangan kontrol saat mengeluarkan kekuatan sihirnya.
Kali ini giliran Cia untuk beraksi. Setelah beberapa kali mendapat siraman semangat dari Lila, ia merasa bahwa dirinya sudah siap untuk merapalkan mantra andalannya.
Ia menarik napas panjang dan menangkupkan kedua tangannya yang bebas. Sorot matanya tajam menatap satu per satu goblin yang tengah menari dengan riang gembira di sekelilingnya.
"Soundera bliss," ucapnya pelan setelah merasa bahwa energinya sudah terisi ulang.
Perlahan tapi pasti, makhluk-makhluk hijau yang ada di lapangan tersebut mulai merasakan suatu keganjilan di indra pendengaran mereka. Telinga mereka mulai berdenging dan membuat mereka saling menghentikan kegiatan yang mereka lakukan.
Alunan musik festival berubah menjadi sepi. Tepukan tangan satu per satu tidak terdengar lagi. Tarian para goblin kini tergantikan dengan posisi diam mematung.
Makhluk-makhluk itu berpandangan satu sama lain. Mereka merasa aneh karena tiba-tiba saja gendang telinga mereka bagai ditabuh dari dalam. Beberapa goblin menatap curiga ke arah bagian pemain musik.
Lila, Aliga, dan Nona Peony terpana setelah melihat perubahan sikap yang dialami oleh goblin-goblin itu. Dalam sekejap mata, suasanya yang tadinya riuh bising mendadak berubah menjadi sunyi dan lengang.
Si tetua goblin tidak terdampak efek dari kekuatan sihir Cia. Tapi, ia tentu merasa aneh dan bingung ketika melihat sikap rakyatnya saat ini. Satu hal yang tidak ia tahu, tawanannya saat ini sudah berhasil melepaskan diri dan sedang menjalankan rencana balas dendam mereka.
Tak lama, dengungan itu berubah menjadi bising. Telinga goblin-goblin itu mulai merasa tidak nyaman dan makhluk-makhluk itu mulai menampar daun telinga mereka bergantian.
Mereka tinggal menunggu waktu saja sebelum telinga mereka meledak.
"Kerja bagus, Cia."