"Hng?" Lila menoleh. Suara itu ... familiar namun serasa asing. Suara itu berat, lemah, dan mati.
Sudah jelas bahwa itu bukanlah suara Aliga. Saat ia menoleh ke arah Cia pun, gadis itu masih tertidur dengan tenang. Jika bukan kedua penyihir tersebut, suara ini sudah pasti merupakan milik pendampingnya, Nona Peony.
Ia menoleh dan menatap Nona Peony yang berada di sebelah kirinya. Wanita itu masih menunduk dan tidak menunjukkan aura-aura kehidupan. Lila kebingungan. Ia malah mulai mempertanyakan suara yang baru saja memanggil namanya dan menjadi ketakutan ketika menduga-duga bahwa yang memanggilnya bukanlah makhluk hidup.
Lila memutuskan untuk kembali menyapa Nona Peony. "Nona? Nona Peony, halo!" sapanya dengan semangat. Seperti yang ia duga, tidak ada respon dari wanita berwajah oval itu.
Lila sudah menyerah untuk memanggil pendampingnya itu. Ia akhirnya mengambil keputusan untuk mendiamkan wanita itu sendirian untuk saat ini. Barangkali, wanita itu memang butuh waktu untuk sendiri, pikir Lila pada akhirnya.
Yang bisa Lila lakukan saat ini hanyalah duduk diam dan menunggu. Bunyi marakas, drum tabuh, terompet, dan alat-alat musik festival lainnya terdengar saling beradu dengan seruan bahagia para goblin yang ada di sana. Makhluk-makhluk itu sedang menjalani masa-masa terbaik di hidupnya, sedangkan Lila dan rekannya sedang menjalani masa-masa paling buruk saat ini.
Kontradiktif.
Tapi, mau bagaimana lagi, memang begitulah adanya. Penyihir-penyihir itu hanya tinggal menunggu waktu sampai seorang goblin tiba-tiba menyeret salah satu dari mereka dan menceburkannya ke dalam lautan lava.
"Lila."
Hati Lila mendesir. Suara yang sama kembali terdengar memanggil namanya. Tapi, bersamaan dengan itu, ia mulai menyadari satu hal.
Ini jelas suara Nona Peony.
Ia kembali melirik ke arah Nona Peony. Wanita itu tidak lagi menunduk, namun pandangannya tetap kosong. Mata coklat wanita itu menatap lesu ke arah depan, entah menatap apa.
"N-nona?" tanya Lila. Ia tentu saja kebingungan luar biasa dengan perubahan sikap Nona Peony yang drastis dan panggilan-panggilan yang sedari tadi wanita itu tujukan padanya.
Nona Peony masih menatap lurus ke depan, namun bibirnya mulai membuka. "Peony ... gagal."
"Gagal?" Lila menaikkan sebelah alisnya. "Gagal apa?" sambungnya.
Nona Peony tersenyum getir dan kembali menundukkan kepalanya. "Peony gagal mendapatkan botol anggur merah itu. Peony gagal mengalahkan goblin tua itu. Peony gagal menyelamatkan kalian. Peony ... gagal menjadi seorang pemimpin. Peony sadar bahwa tujuan awal Peony setuju untuk menjadi pendamping kalian adalah karena bayaran yang ditawarkan oleh Tuan Moore. Tapi, sekarang, Peony benar-benar merasa bahwa kalian adalah tanggung jawab Peony ...."
".... Tapi Peony ... gagal."
Tepat setelah wanita itu menyelesaikan ucapannya, tetes air mata lolos dari pelupuk matanya. Ia sudah menahannya terlalu lama, jadi sekarang mungkin adalah waktu yang tepat untuk melepaskannya.
"Padahal, ini baru manuskrip yang pertama, namun kita sudah berada dalam bahaya besar seperti ini. Bagaimana ke depannya kelak? Baru satu hari-- ah, tidak, satu hari saja belum genap, namun Peony sudah mengalami tekanan mental seperti ini," lanjut wanita itu sambil terisak. "Peony ternyata memang tidak pantas menjadi seorang pendamping."
Wanita itu kembali menundukkan kepalanya lebih dalam. Lila .... Jujur, saat ini Lila tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Di satu sisi, ia merasa turut sedih dengan kondisi Nona Peony dan bisa mengerti betapa besar rasa kecewa wanita itu saat ini. Namun di sisi lain, ia juga lelah dengan semua ini. Ia tidak bisa menjadi bijak dan rasa-rasanya, keadaannya saat ini harusnya sama dengan Nona Peony.
Pada akhirnya, Lila hanya bisa mengembuskan napasnya kasar. Ia mendongak, menatap langit, lalu berkata, "Tidak apa, Nona."