"Jelasin !"
Satu kata yang diucapkan Asni dengan tatapan menuntut. Raut wajahnya terlihat serius seperti seorang ibu yang sedang mengintrogasi anaknya yang baru saja kedapatan melakukan kesalahan.
Hufftt.
Aku menghembuskan nafas berat. Aku paham betul bahwa sesi ini akan menjadi sesi yang panjang dan berat. Asni dan segala rasa penasarannya pasti akan mencecarku dengan beragam pertanyaan yang membuatnya menemukan apa yang ia cari. Ia tak akan berhenti sebelum ia mendapatkan jawaban yang memuaskan dan bisa menutupi rasa penasarannya. Terkadang aku merasa ia lebih cocok menjadi seorang pengacara daripada menjadi guru.
"As..." Aku meminta sedikit pengertian darinya. Menurutku ini bukan saat yang tepat. Masih banyak waktu yang bisa kami gunakan untuk mengupas tuntas masalah ini mengingat kami tinggal di bawah atap yang sama. Selain itu ada Junsen dan Randy di luar sana menunggu kehadiran kami sebagai pemilik rumah. Aku hanya sempat menggelar permadani dan menyuguhkan kopi untuk Junsen dan susu kotak untuk Randy tadi sebelum Asni menarikku masuk ke dalam kamar.
"Gak usah banyak alasan ! Jelasin sekarang !" seru Asni tak menerima penolakan. Suaranya terdengar begitu tegas sehingga mau tak mau akhirnya aku pun mengalah.
"Gila lo !!!" sela Asni begitu aku mulai menceritakan kejadian pertama kali aku meminta Randy menganggapku ibunya.
"Ya elah belum kelar juga ceritanya udah dipotong aja. Bodo ah ! Gue mau keluar dulu."
"Duduk !" seru Asni dengan tegas saat melihatku mulai bangkit dari tempat dudukku. "Lanjutin !" sambungnya sambil menyandarkan tubuhnya di dinding dengan tangan bersidekap. Tatapan elangnya terus mengawasi setiap pergerakanku. Bak kerbau dicucuk hidungnya aku pun menurut.
Cerita demi cerita mengalir lancar dari mulutku. Mulai dari kejadian Randy memanggilku mami di hadapan ayahnya untuk pertama kalinya hingga kejadian di Taman safari beberapa waktu lalu. Tak satu pun kata terucap dari mulutnya saat cerita itu meluncur bebas dari mulutku. Wanita itu hanya menggeleng - gelengkan kepalanya. Terkadang Asni juga tersenyum aneh membuatku sedikit heran akan reaksinya itu. Bahkan Asni tak sadar sampai menunjukkan wajah konyolnya. Apalagi kalau bukan mulut menganga dan mata melotot. Hal itu terjadi ketika aku menceritakan kejadian dimana Randy membelikanku baju yang bertuliskan mama. Aku yakin sahabatku itu akan lebih syok jika aku menceritakan kejadian waktu di bus. Kejadian dimana ayah dari bocah berpipi montok itu menyelipkan karet di jariku dan berjanji akan menggantinya dengan yang asli. Aku memang sengaja tidak menceritakan semuanya karena menurutku tidak semua hal bisa kubagikan kepada orang lain. Terutama hal - hal yang menurutku berpotensi besar untuk menimbulkan tanda kesalah pahaman.
"Gila lo !!!" seru Asni begitu aku menyelesaikan ceritaku. Wanita itu terlihat frustasi. Bahkan dia berulangkali mengusap kasar wajahnya sembari menghembuskan nafas berat. Ini jugalah yang menjadi alasanku tidak menceritakan masalah ini sebelumnya kepada Asni. Menurutku tidak semua orang bisa menyelami niat baikku termasuk Asni. Meskipun kamu sudah bersahabat sejak lama bukan berarti dia bisa mengerti aku seratus persen.
"Udah sejauh ini dan lo sama sekali gak cerita sama gue ?" Asni tersenyum sinis memandangku. Reaksinya ini membuatku sama sekali tidak nyaman. Bukannya aku tak mau berbagi cerita dengannya. Hanya saja aku merasa tak ada yang spesial dari masalah ini hingga perlu kubagikan dengannya.
"Mama, papa, kids." ujar Asni dengan nada mengejek.
"Jangan - jangan lo udah punya hubungan spesial sama bokapnya tuh bocah di belakang gue?"
"Apaan sih? Gak usah nuduh sembarangan deh !" Aku menatapnya tajam. Aku mengakui aku salah tidak menceritakan masalah ini kepada Asni akan tetapi aku tidak terima jika dia menuduhku yang bukan - bukan. Meski hubunganku dengan kekasihku tak berjalan normal layaknya orang - orang yang sedang menjalin hubungan bukan berarti aku bebas mencari selingan. Bagiku kesetian itu sangat penting. Jadi jangan harap suatu saat aku menduakan Bang Arie.
"Sekarang gue mau tanya sama lo," gadis itu melangkah menuju meja rias lalu berhenti tepat di depanku sembari mendaratkan tubuhnya di kasur. "Lo mikir gak sih apa resiko dari semua yang lo lakuin ini ?"
Aku pun menggelengkan kepalaku. Sejujurnya aku tak melihat sesuatu yang berbahaya ke depannya dari apa yang sudah kulakukan. Niatku tulus yaitu menyayangi anak kecil yang sudah kehilangan figur seorang ibu bahkan sejak ia baru lahir. Salahkah aku jika aku menghadirkan figur itu untuknya?
"Kau itu pintar tapi bodoh ? Oh astaga gak ngerti lagi aku sama jalan pikiran kau itulah Vin. Cok kau pikir dulu nih ya Vin ! Mau sampai kapan lo biarin Randy nganggap lo ibunya ?"
Pertanyaan Asni memaksaku untuk merenung. Benar kata Asni. Mau sampai kapan ? Hal itu sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku. Semua yang terjadi sama sekali tidak pernah ku rencanakan sebelumnya jadi hal - hal seperti ini sama sekali tidak terlintas di otakku.
"Okelah bokap itu bocah gak masalah sama sekali kalau anaknya nganggap lo ibunya tapi gimana dengan keluarganya ? Apa mereka bisa terima ? Secara lo itu gak ada hubungan apa - apa, baik sama bokap tuh anak ataupun Randy."
Aku hanya bisa menunduk tak bisa menjawab satupun pertanyaan yang dilontarkan Asni. Aku tak menyangka jika hal sederhana ini bisa menjadi berat jika apa yang ditakutkan oleh Asni menjadi kenyataan.
"Lo gak mikir kalau suatu saat bokap bocah itu bakal nemu wanita yang cocok untuk pengganti ibunya Randy lalu menikah ? Apa semua akan tetap baik - baik aja ?"
Aku menyandarkan tubuhku di badan kursi dengan lemah. Sekarang aku merasa semakin gelisah. Kalimat demi kalimat yang dilontarkan Asni tanpa saringan membuka jalan pikiranku. Baru kusadari jika masalah ini tidak serumit yang kupikirkan.
"Bagaimana jika Randy terlanjur nyaman sama lo?"
Pertanyaan Asni mewakili pertanyaan yang melintas di otakku sekarang. Statusku sebagai seorang pelarian yang pasti akan terus dicari membuatku takut. Bisa jadi suatu saat Daddy menemukanku. Apa jadinya jika saat itu tiba Randy sudah terlanjur nyaman dan tidak bisa lepas dariku.
Arggh...
Aku meringis sembari meraup kasar wajahku.
"Gimana ? Udah sadar kan lo?" tanya Asni tanpa berperasaan. Sepertinya ia menyadari kegelisahan yang kini melandaku.
Hufftt....
"Udah terlanjur As. Mau gimana lagi coba?"
"Mumpung belum telalu jauh, lo bisa stop sekarang."
Gelengan kepalaku membuat Asni kembali melayangkan tatapan elangnya. Bukannya aku tak mau menerima saran dari Asni tapi rasanya aku tak sanggup melihat binar di wajah Randy saat aku mengijinkannya memanggilku mami kembali redup.
"Terserah lo."
Aku hanya bisa diam menatap punggung Asni yang berlalu meninggalkanku dengan raut wajah yang tak sedap dipandang mata. Aku tahu ia begitu kesal saat ini. Tapi biarlah mungkin lambat laun Asni akan mengerti jalan pemikiranku.
***