"Makanlah yang benar Mark." Suara bariton itu terdengar menakutkan sehingga Mark harus menyembunyikan wajahnya dibalik tubuh ibunya Jane yang duduk tepat disebelahnya.
Jackson Alexander, pria tua berumur enam puluh tiga tahun itu memandang tidak senang kearah Mark yang makan dengan berantakan.
Putranya itu memang berkebutuhan khusus sehingga membuatnya bertingkah seperti seorang anak kecil walaupun umurnya sudah dewasa sekarang namun sampai saat ini Jackson tidak dapat menerimanya dengan terus bersikap galak terhadap Mark.
"Lihat William, dia seusia mu tapi kamu tidak sedikitpun bersikap sepertinya." Omelnya lagi, kali ini ia membandingkan Mark dengan William yang membuat William merasa tidak nyaman seketika.
"Kamu harusnya mengajari putramu itu cara makan yang benar!" Ucap Jackson kali ini ia memarahi Jane yang hanya dapat diam menahan air matanya sebelum melangkah pergi meninggalkan meja makan.
"Ayah hanya bergurau, kamu tidak perlu takut." Ucap William menenangkan Mark.
Perlahan pria berambut coklat keemasan dengan mata coklat terangnya itu mengeluarkan wajahnya dari balik tubuh Jane.
"Bohong! Ayah memang tidak pernah sayang pada Mark, ia hanya sayang pada William." Ucapnya menangis sebelum berlari meninggalkan meja makan.
"Mark." Jane mencoba mengejarnya tapi William menahannya. "Biar aku saja Bu."
Jane pun hanya dapat terduduk lemas dan menangis, Mark akan selalu terluka setiap kali Jackson berada dirumah. Seperti itulah siklus yang selalu dihadapinya selama ini dan ia tidak pernah dapat berbuat apa-apa untuk menjaga perasaan Mark yang akhirnya selalu terluka.
....
William mengetuk pintu kamar Mark sebelum memasukinya, terlihat Mark tengah menangis sambil menyatukan manik-manik kristal kedalam benang pengait. Ia memang senang membuat aksesoris dan ia sangat berbakat untuk hal itu, sayangnya Jackson tidak pernah senang melihat Mark melakukan semua itu.
William kini duduk tepat disebelah Mark, terkadang ia merasa sangat bersalah pada Mark karena Jackson selalu membandingkan mereka dan membuat Mark terluka, terlebih ia menempati posisi yang seharusnya Mark tempati jika saja ia terlahir normal.
"Pergilah William, Mark tidak ingin berbicaracara dengan William." Usirnya, ia mendorong tubuh William yang duduk disebelahnya namun William tidak bergeming.
"Semua orang menyukai William, ayah, ibu dan Gwen juga, tapi tidak ada yang menyukai Mark!" Keluhnya sambil menyeka air matanya, walaupun ia berkebutuhan khusus tapi Mark tetaplah seorang manusia, ia selalu menangis jika ayahnya memarahinya dan membandingkan dirinya dengan William.
"Tidak ada yang tidak menyukai Mark, kamu tampan dan juga kreatif, semua orang menyukai Mark."
"Benarkah?" Mark mulai tenang kini, ia menyeka air matanya dan menatap William.
"Mark dan William lebih tampan siapa?" Tanyanya lagi.
William tersenyum sambil mengusap rambut Mark pelan "Tentu saja Mark lebih tampan." Jawabnya.
"Aku tentu saja lebih tampan dari kakak." William hanya dapat tersenyum kembali melihat wajah Mark yang kembali gembira, kata-kata yang dilontarkan oleh Mark mengingatkannya pada kalimat yang adiknya dulu sering ucapkan padanya. 'Aku tentu saja lebih tampan darimu.'
Tidak mau hanyut kembali dalam kesedihannya, William kemudian beranjak bangun "Mari kita makan kembali, kamu belum menghabiskan sarapanmu." Ajak William mengulurkan tangannya.
Mark menggeleng dan menjawab "Tidak mau. Mark sudah tidak lapar."
"Begitukah? Baiklah kalau begitu aku akan berangkat bekerja sekarang. Kamu harus baik-baik dirumah dan jaga ibu ya." Ucapnya berpamitan, tidak lupa ia berpesan pada Mark sebelum bergegas pergi.
Mark mengangguk dengan patuh, tidak lupa ia melambaikan tangannya kearah William yang sengaja berhenti diambang pintu untuk memastikan jika Mark benar-benar tidak bersedih lagi.
"Will..." Mark memanggil tepat ketika William baru akan menutup pintu kamarnya.
"Ya?"
"Apa William akan menemui Gwen hari ini?" Tanya Mark seraya beranjak bangun, ia bergerak meraih sebuah gelang diatas meja dan melangkah menghampiri William yang masih berdiri menunggu.
"Berikan ini pada Gwen."
William melihat kearah gelang yang disodorkan kepadanya, berwana merah terbuat dari manik-manik kristal. Sebuah hadiah yang entah sudah berapa kali Mark berikan untuk Gwen dan itu cukup jelas baginya mengetahui jika Mark memiliki perasaan istimewa untuk Gwen.
"Hanya untuk Gwen? Untukku tidak ada?" Tanya William setelah menerima gelang itu dengan sedikit bergurau.
Mark menggeleng "William tidak pantas mengenakan gelang, gelang ini hanya untuk wanita, ibu mengatakan seperti itu."
"Begitukah?" William tersenyum menggoda terlebih ketika ia menyadari jika di pergelangan tangan Mark terdapat gelang berwarna yang sama dengan manik-manik yang sama hanya saja ada satu manik yang berwarna hitam sebagai penanda mungkin? pikirnya dan gelang untuk Gwen ini memiliki satu manik berwarna putih bening berbentuk hati.
"Sangat indah, Gwen pasti akan sangat terkesan. Aku akan memberikan gelang ini padanya sepulang kerja nanti."
"Janji?"
William tertegun beberapa saat, hatinya selalu merasa terpukul ketika seseorang meminta janjinya.
Janji... Ia tidak dapat berjanji ketika ia tidak bisa menepati janjinya pada adik kandungnya dulu.
Tidak mau Mark menjadi kecewa, William hanya tersenyum simpul dan menyentuh bahu Mark sebelum berlalu pergi.
****
William melangkah keluar dari dalam rumahnya, Jane dengan penuh kasih sayang mengantarkan William hingga ambang pintu, ia sama sekali tidak terlihat seperti ibu angkat. Bagi William, Jane adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuknya sementara Jackson adalah iblis yang memenjarakannya.
"Hati-hati dijalan, dan jangan lewatkan makan siangmu." Jane berpesan sebelum memeluk William hangat.
"Baik ibuku yang cantik." Sahutnya sembari berkedip dan membuat Jane terkekeh pelan. William selalu saja dapat membuatnya melupakan kesedihannya akibat perlakuan Jackson kepada Mark.
William kemudian melangkah menuju mobilnya yang telah menunggu di depan teras rumah yang lebih terlihat seperti istana dengan pilar-pilar besar yang menopang menjulang tinggi.
"Kamu tidak mau masuk?" Jackson bertanya dengan dingin, ia telah duduk di kursi belakang tepat ketika sang supir membukakan pintu untuk William.
Jantungnya berdebar kencang, ia membenci pria yang berada dihadapannya ini dengan sepenuh jiwa dan raganya tapi sekali lagi, ia harus menutupinya dengan sebuah senyuman palsu dan ucapan hangat "Aku hanya sedikit terkejut." Ucapnya seraya duduk tepat disebelah Jackson "Ayah, telah lama menungguku?" Tanyanya setelah mobil mulai melaju.
"Cukup lama untuk membuat beberapa juta dolarku terbuang sia-sia hanya untuk menunggumu membuang waktu membujuk anak bodoh itu."
William menunduk, ia hanya dapat mengeratkan giginya, menahan kekesalannya karena Jackson menyebut Mark bodoh, padahal Mark adalah darah dagingnya sendiri.
"Apa ada hal penting?" William mengalihkan topik, ia tidak ingin Jackson kembali membicarakan tentang ketidak mampuan Mark memenuhi standar sempurnanya seperti apa yang telah Jackson lakukan pada dirinya sendiri, memonopoli dirinya dan menjadikannya sebuah boneka perang.
"Apa aku tidak boleh satu mobil dengan putraku sendiri?" Tanya Jackson, ia tersenyum tapi sorot matanya memancarkan hal picik yang sudah pasti akan ia lakukan kepada William.
"Kita selalu berbeda arah." Jawab William dengan sedikit nada dingin seolah memperingatkan.
"Ya memang." Jackson menyeringai "Kamu semakin mirip denganku setiap waktunya."
Bola mata William bergerak melirik, sedikit rasa penasaran sekaligus merasa kesal ketika mendengar Jackson mengatakan jika ia semakin mirip dengannya.
Dengan satu tarikan nafas berat, William akhirnya menoleh dan bertanya "Apa lagi sekarang?" Sorot matanya tajam seolah jika sorot matanya adalah sebuah pedang maka ia telah mencacak habis tubuh Jackson saya ini juga dengan tatapan matanya.
Tapi Jackson tidak gentar, ia kembali terkekeh "Kamu semakin berani padaku."
"Aku belajar banyak darimu!"
"Ya, aku suka itu, tapi tetap saja kamu tidak bisa melenyapkan ku dari hidupmu bukan?" Jackson kembali tertawa, kali ini tawanya terdengar lebih lantang dari sebelumnya.
Sebuah tawa yang sangat William kenal sebagai penanda jika Jackson akan menjadikannya kambing hitam lagi untuk menyelesaikan masalah yang ia perbuat, selalu seperti itu dan ia muak tapi ia tidak berdaya.
"Jangan menatapku seolah kamu ingin membunuhku Will, aku ini ayahmu, kamu akan menjadi anak durhaka jika menatapku seperti itu." Tukasnya setelah menghentikan tawanya, tapi nada suaranya masih terdengar mengolok. Tapi William tidak mengindahkan apa yang di ucapkan Jackson, entah itu sebuah lelucon atau apapun, tatapannya tetap tidak berubah dan kini Jackson mulai memasang raut wajah dingin dan berkata "Kembalilah ke negara asalmu."
....